Maraknya kasus kekerasan di sekolah makin
membuat kita mengelus dada. Banyak kasus berawal dari hal sepele, seperti
mengejek. Nah, apa dan bagaimana mengantisipasi tindakan yang kerap disebut
bullying ini?
Beberapa hari terakhir ini, berbagai media massa riuh
rendah memberitakan kasus kekerasan yang menimpa Muhammad Fadil Sirath, siswa
kelas X SMA 34 (kelas 1 SMA), Pondok Labu, Jakarta Selatan. Fadhil menderita
retak tangan kanan akibat dianiaya para senior di sekolahnya. Pemicunya adalah
soal senioritas yang konon sudah menjadi tradisi di sekolah.
Untunglah, kasus ini segera ditangani polisi. Alhasil, para pelaku diamankan petugas. Kegiatan yang awalnya hanya ajang main-main pun tumbuh menjadi bibit kekerasan dan bisa berujung sel tahanan bagi para pelakunya. Sementara si korban, mengalami trauma mendalam. Bagaimana ini bisa terjadi ?
BERAWAL DARI LEDEKAN
“Kekerasan di sekolah berawal dari bullying,” tegas Diena Haryana, Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA), yayasan yang concern pada bidang pendidikan. Arti kata bullying memang belum ada dalam terminologi Bahasa Indonesia. Definisinya adalah segala tindakan yang berdampak pada korban berupa rasa terintimidasi, takut, dan tertekan karena dilakukan oleh pelaku menggunakan kekuasaan secara berulang kali.
Bullying bisa dilakukan secara verbal (mengatai, menjuluki, menghina, mencela, memfitnah, memaki, atau mengancam, fisik (menendang, mencubit, menghukum dengan lari keliling lapangan, dll), dan mental (menjauhi, meneror, mengintimidasi, diskriminasi, mengabaikan, memelototi, dll). Dalam kaitannya dengan bullying di sekolah, ini bisa dilakukan oleh individu ke individu, kelompok ke individu atau kelompok ke kelompok. Tak jarang pula terjadi dari guru ke siswa. Tujuannya adalah si pelaku ingin menunjukkan power kepada yang lain.
“Misalnya, seperti kasus Fadhil, para seniornya ingin menunjukkan power-nya pada junior dengan cara menggencet dan uji fisik. Bisa jadi dalam pandangan si senior, adik kelasnya ini cupu (culun punya), pendiam, banyak tingkah, atau mengabaikan kehendak senior. Dan pada akhirnya karena kebablasan, terjadilah penganiayaan yang sudah masuk kategori kriminal,” beber Diena.
Untunglah, kasus ini segera ditangani polisi. Alhasil, para pelaku diamankan petugas. Kegiatan yang awalnya hanya ajang main-main pun tumbuh menjadi bibit kekerasan dan bisa berujung sel tahanan bagi para pelakunya. Sementara si korban, mengalami trauma mendalam. Bagaimana ini bisa terjadi ?
BERAWAL DARI LEDEKAN
“Kekerasan di sekolah berawal dari bullying,” tegas Diena Haryana, Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA), yayasan yang concern pada bidang pendidikan. Arti kata bullying memang belum ada dalam terminologi Bahasa Indonesia. Definisinya adalah segala tindakan yang berdampak pada korban berupa rasa terintimidasi, takut, dan tertekan karena dilakukan oleh pelaku menggunakan kekuasaan secara berulang kali.
Bullying bisa dilakukan secara verbal (mengatai, menjuluki, menghina, mencela, memfitnah, memaki, atau mengancam, fisik (menendang, mencubit, menghukum dengan lari keliling lapangan, dll), dan mental (menjauhi, meneror, mengintimidasi, diskriminasi, mengabaikan, memelototi, dll). Dalam kaitannya dengan bullying di sekolah, ini bisa dilakukan oleh individu ke individu, kelompok ke individu atau kelompok ke kelompok. Tak jarang pula terjadi dari guru ke siswa. Tujuannya adalah si pelaku ingin menunjukkan power kepada yang lain.
“Misalnya, seperti kasus Fadhil, para seniornya ingin menunjukkan power-nya pada junior dengan cara menggencet dan uji fisik. Bisa jadi dalam pandangan si senior, adik kelasnya ini cupu (culun punya), pendiam, banyak tingkah, atau mengabaikan kehendak senior. Dan pada akhirnya karena kebablasan, terjadilah penganiayaan yang sudah masuk kategori kriminal,” beber Diena.
Mengapa bullying bisa terjadi? Banyak faktor pemicu. Bisa
jadi, sambung Diena, karena faktor orangtua di rumah yang tipe suka memaki,
membandingkan atau melakukan kekerasan fisik. Anak pun menganggap benar bahasa
kekerasan.
“Output-nya, si anak bisa menjadi individu yang merasa rendah diri ataupun pemarah. Di sekolah dia bisa menjadi pembuli (pelaku bullying) atau dibuli (korban bullying). Batas antara pasif dan agresif, kan, demikian tipis. Contohnya, kasus Cho Seung Hui, mahasiswa yang melakukan penembakan sekitar 32 orang di kampus Virginia Tech, Amerika Serikat, 16 April 2007. Ternyata di rumah orangtuanya selalu membandingkan dia dengan kakaknya, lalu di kampus dia diolok-olok terus karena dianggap aneh. Dalam kondisi marah dan tertekan, muncullah sifat agresif negatif dalam dirinya,” papar Diena.
Selain faktor orangtua, teman-teman juga bisa menjadi pemicu. Supaya dianggap cool, anak-anak ikut-ikutan menjadi pembuli. Bisa juga, faktor anak-anak yang sangat dimanja di rumah, sehingga semua orang harus tunduk pada dia. Atau, sambungnya, faktor media yang banyak menayangkan tontonan kekerasan.
“Guru juga bisa menjadi pembuli. Misalnya, dengan memberikan hukuman atau mengatai. Belum lama ada kasus anak bunuh diri karena malu tak bisa menggunakan seragam yang disuruh gurunya. Atau tradisi ospek yang belum ditetapkan jelas oleh sekolah aturan mainnya. Misalnya, siswa diminta mengumpulkan tanda tangan seniornya dan para senior boleh melakukan apa saja. Nah, itu semua memperlihatkan betapa parahnya akibat bullying itu,” sambungnya.
Dalam kasus Fadhil, walaupun sudah ditangani secara hukum, Diena berharap dilakukan pendampingan bagi para pelaku (konsultan atau orangtua). Jika memang mereka sampai ditahan, jangan sampai mereka langsung kontak dengan kriminal-kriminal yang bisa tambah memicu keagresifannya. “Untuk Fadhil sendiri, pastinya sangat depresi dan traumatik. Hal ini dikhawatirkan mempengaruhi perilaku saat dewasa nanti. Maka itu, perlu juga pendampingan sampai kepercayaan dirinya tumbuh kembali.”
“Output-nya, si anak bisa menjadi individu yang merasa rendah diri ataupun pemarah. Di sekolah dia bisa menjadi pembuli (pelaku bullying) atau dibuli (korban bullying). Batas antara pasif dan agresif, kan, demikian tipis. Contohnya, kasus Cho Seung Hui, mahasiswa yang melakukan penembakan sekitar 32 orang di kampus Virginia Tech, Amerika Serikat, 16 April 2007. Ternyata di rumah orangtuanya selalu membandingkan dia dengan kakaknya, lalu di kampus dia diolok-olok terus karena dianggap aneh. Dalam kondisi marah dan tertekan, muncullah sifat agresif negatif dalam dirinya,” papar Diena.
Selain faktor orangtua, teman-teman juga bisa menjadi pemicu. Supaya dianggap cool, anak-anak ikut-ikutan menjadi pembuli. Bisa juga, faktor anak-anak yang sangat dimanja di rumah, sehingga semua orang harus tunduk pada dia. Atau, sambungnya, faktor media yang banyak menayangkan tontonan kekerasan.
“Guru juga bisa menjadi pembuli. Misalnya, dengan memberikan hukuman atau mengatai. Belum lama ada kasus anak bunuh diri karena malu tak bisa menggunakan seragam yang disuruh gurunya. Atau tradisi ospek yang belum ditetapkan jelas oleh sekolah aturan mainnya. Misalnya, siswa diminta mengumpulkan tanda tangan seniornya dan para senior boleh melakukan apa saja. Nah, itu semua memperlihatkan betapa parahnya akibat bullying itu,” sambungnya.
Dalam kasus Fadhil, walaupun sudah ditangani secara hukum, Diena berharap dilakukan pendampingan bagi para pelaku (konsultan atau orangtua). Jika memang mereka sampai ditahan, jangan sampai mereka langsung kontak dengan kriminal-kriminal yang bisa tambah memicu keagresifannya. “Untuk Fadhil sendiri, pastinya sangat depresi dan traumatik. Hal ini dikhawatirkan mempengaruhi perilaku saat dewasa nanti. Maka itu, perlu juga pendampingan sampai kepercayaan dirinya tumbuh kembali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar