Rabu, 02 Mei 2012


ARRAKIS
Hal yang paling tidak boleh kulakukan adalah berharap. Walaupun harapan itu tampak begitu dekat untuk menjadi kenyataan, tetapi dalam hidup ini, aku lebih sering dikecewakan. Setiap kalimat yang keluar dari bibir lelaki yang kini memelukku dari belakang itu adalah harapan. Itu berarti, aku harus sadar bahwa setiap harapan dari kalimatnya itu akan menjadi janji-janji palsu belaka.
Orang-orang bilang, jika takdirmu lumayan, kau akan menjadi pemilik kedai kecil yang akan menutup usahanya di sore hari dan menghitung penghasilan di malam hari. Jika takdirmu baik, kau akan bertemu jenderal dan ia akan menikahimu, dan seumur hidup kau akan hidup dari penghargaan kerajaan kepadanya, walaupun kau akan sangat jarang bertemu dengannya karena perang. Jika takdirmu amat sangat baik, mungkin kau akan bisa hidup di kastil mewah di Kitala, dengan satu sisi menghadap ke laut dan sisi lainnya menghadap pepohonan hijau. Dayang-dayang akan mengurus dan membersihkan setiap jengkal lantai kastilmu dengan sukacita, karena mereka hidup berkecukupan. Kau dan suamimu akan dibicarakan orang-orang. Putramu akan dielu-elukan gadis-gadis, dan putrimu akan menjadi perebutan pangeran-pangeran.
Sebagai penari di rumah hiburan, mereka berkata, aku memiliki takdir terburuk dari yang buruk. Berharap adalah salah satu pantangan bagi mereka yang bertakdir buruk. Tapi takdir adalah perangkap: kita tidak bisa meminta, kita tidak bisa mengubah. Apa yang tersisa adalah menjalani.
Namun harus kuakui, aku sangat menyukai lelaki ini…. Perempuan mana yang tidak? Tidak ada yang peduli walau ia adalah pangeran yang gemar bermain wanita. Pangeran Alder yang memelukku dari belakang ini adalah pangeran yang tampan, menyenangkan, dan pemberani. Seberapapun aku menolak untuk terpesona, dan menjalani semuanya sebagai pekerjaan, aku telah terlena. Menolak untuk mengakuinya adalah hal yang tersisa untuk kujalani.
“Arrakis…, kau diam saja…. Apa kau meragukan aku?” Pangeran Alder bertanya, mengelus pipiku dengan punggung tangannya. “Aku tidak membual ketika mengatakan bahwa kau adalah kesukaanku…. Bukankah kau adalah penari yang kukunjungi setiap hari berturut-turut untuk satu minggu terakhir ini?”
Aku hanya tersenyum tipis, tanpa menoleh untuk melihat raut wajahnya. Langit malam di hadapan kami penuh dengan bintang, dan aku memilih untuk menujukan mataku ke sana. Pemandangan itu membuat hatiku sedikit lebih tenang ketika aku menukas, “Dan minggu depan kau akan berganti dengan penari lain karena kau bosan, atau mengunjungi rumah bordil untuk mencari pelacur cantik yang bisa melayanimu, pelacur yang bukan sepertiku yang hanya dapat menari untukmu…. Pada suatu hari, kau akan muak padaku.”
“Itu tidak benar,” Pangeran Alder berkata, suaranya terasa menggelitik di telinga. “Akuilah, kau juga telah terlena akan diriku. Mengapa begitu sulit untuk mengakui perasaanmu?”
“Pangeran,” aku berkata, “bukankah kau membeli tarian dan nyanyianku, bukan hatiku?”
“Aku menginginkan hatimu tanpa membelinya. Berikan… berikan untukku.”
Aku membalikkan badanku dan menoleh ke arahnya. Yang kulihat pertama kali dari dalam matanya yang memantulkan sinar lilin dan rembulan itu adalah keputusasaan. Apakah keputusasaan itu palsu… aku tidak tahu. Hatiku sakit melihatnya, mungkin sesakit ketika luka besar yang melintang di pipi kirinya ditorehkan. Apakah ini hanya permainan yang dimainkan lelaki, untuk mendapatkan perempuan yang mereka inginkan kemudian mencampakkan setelah mendapatkannya? Ataukah segala yang Pangeran Alder katakan adalah murni ketulusan? Aku tersesat di dalam berbagai pertanyaan, membiarkan kesunyian di antara kami merebak lebih lama lagi.
“Berjanjilah bahwa kau selamanya milikku, maka aku akan membawamu pergi dari tempat ini. Jika kau tidak menginginkanku, untuk apa semua itu? Aku menginginkanmu, karena tampaknya di daratan ini hanya kau yang bisa membuatku pergi dari kebosanan,” Pangeran Alder berkata lagi, kini mendesak.
Sekelibat pemandangan itu tercetak di kepalaku: kastil di pinggir laut, camar-camar yang beterbangan. Segalanya terlalu indah untuk dibayangkan…. Kali ini Pangeran Alder tidak menunggu jawabanku. Menyelipkan jemarinya ke dalam helaian rambut-rambutku yang hitam terurai, ia mengecupku lembut di bibir untuk yang entah keberapa kalinya malam itu.
***
Pangeran Alder Celbalrai dari Kitala jauh dari yang orang-orang bicarakan. Ia dibicarakan sangat serius, tegas, dan kuat, namun wajahnya lembut dan matanya biru jernih. Tidak ada di antara kata-kata itu yang benar. Pangeran Alder yang sebenarnya adalah pangeran yang seenaknya dan pemaksa, sedikit nakal, garis wajahnya tegas, dan matanya jauh dari warna biru. Tidak ada yang mengeluh tentang bagaimana perbedaan antara kenyataan dan rumor begitu jauh, karena Pangeran Alder yang asli memberikan aura yang begitu misterius, memikat, walaupun beda dengan apa yang dibayangkan.
Aku masih ingat ketika Pangeran Alder memanggilku ke kamarnya untuk pertama kali. Hatiku berdebam kencang, karena akan bertemu lelaki yang dielu-elukan wanita Algorab untuk satu bulan terakhir ini. Kanan-kiriku penuh dengan jejeran para pemain tambur dan seruling, kamar besar itu tampak meriah dan terang di tengah malam. Namun wajah Pangeran Alder tidak secerah itu — ia meneriakkan bahwa ia telah amat bosan untuk waktu yang sangat lama, dan tidak terkesan dengan penampilanku pada pandangan pertamanya. Ia berseru kesal saat itu, “Aku ke Algorab untuk hiburan! Untuk segalanya yang tidak ada di Kitala! Tapi kalian semua mengecewakanku. Satu bulan aku di sini, aku tidak merasa terhibur barang sedikit pun. Kini kalian mengirimkan padaku gadis yang kalian bilang penari unggul kalian. Gadis kurus pucat ini? Penari unggul kalian? Cih.”
Namun ia belum sempat melihatku menari saat itu. Ia hampir mengusirku dari kamar itu karena mengecewakannya namun aku menarik tangannya dan memohonnya untuk memberiku kesempatan. Dan itulah yang ia lakukan, memberiku kesempatan. Ia hanya membiarkan aku menunjukkan satu tarian dengan diiringi para pemusik. Aku mengeluarkan segala yang kupunya: jentikan-jentikan, goyangan perut, hentakan kaki yang bergemerincing, cadar yang berkibar-kibar…. Setelah satu tarian itu, ia mengusir semua pemusik di ruangan itu, mengambil seruling, kemudian mengiringi tarianku dengan tiupannya sendiri. Ia menyelesaikan tiupannya dengan tawa, menanyakan namaku, dan menjadi pengunjung tetapku untuk seminggu terakhir.
Mungkin ketika ia meniupkan nada pertamanya, dan kita berpandangan satu sama lain, kita sudah mengerti. Sisanya adalah keselarasan, yang tidak pernah aku dapatkan dengan pemusik lain. Ada sesuatu di antara kami yang membuat kami merasa, inilah tali merah pengikat itu. Sesuatu yang kami cari sejak dulu. Setidaknya, itu yang kurasakan namun kusangkal. Kilatan di matanya setelah kami menyelesaikan lagu pertama kami yang meyakinkanku, tetapi apapun dapat menipu.
Malam bergulir ketika tarian menjadi sentuhan, sentuhan menjadi belaian, belaian menjadi ciuman. Aku menikmati segalanya, walaupun aku tidak menjual tubuhku, hanya bertugas untuk menemaninya dan membuatnya terhibur. Ada saat-saat ketika ia berhenti berdekatan denganku, meraih tambur dan menepuknya, memulai lagu yang baru, mengedikkan kepalanya agar aku menari lagi. Rasa terpaksa karena lelah yang biasa kurasakan dengan tamu lain tidak ada, karena dengan sendirinya tubuhku telah mengikuti irama.
“Arrakis?” suara Kak Meissa memecah lamunanku. Ia mengangkat apel di tangannya, menaruhnya kembali ke keranjang penjual di hadapannya. Ia terlihat kesal ketika berkata lagi, “Apa, kau sedang melamuni Pangeran Alder-mu?”
Ia mendadak menjadi kecut ketika melihat ekspresiku yang mengiyakan. Seperti semua penari lainnya, ia menjadi kesal dan nada suaranya menjadi tinggi. Tidak ada yang menyukai Pangeran Alder didominasi, dan tampaknya aku telah mendapatkan Pangeran Alder untuk diriku sendiri satu minggu terakhir ini.
“Kau harus tahu,” kata Meissa cepat dan tajam seraya membayar anggur yang dibelinya, “Pangeran Alder memang sudah menghabiskan satu bulan di sini, tapi aku dengar dia tidak akan lama. Apa kau tidak tahu mengapa ia di sini dan bukan di Kitala? Kau belum dengar?”
Aku hanya mengangkat alis, dan Meissa tampak begitu puas ketika ia berkata, “Dalam waktu dekat ia harus pergi lagi.”
“Kembali ke Kitala?” aku bertanya, berusaha membuat suaraku terdengar biasa saja dan tenang.
“Tidak tahu. Ia kemari untuk menangkap bajak laut itu… siapa namanya…. Ah, Tarf dengan kapalnya ‘Kilat Hitam’…. Orang-orang bilang wajahnya telah hancur karena terbakar dan tubuhnya besar, berbulu, dan mengerikan…. Ikat kepalanya merah karena ternodai darah-darah korbannya. Pangeran Alder kemari untuk menunggunya dan menangkapnya… aku tidak bisa membayangkan betapa beraninya Pangeran.”
Meissa terus mengoceh tentang bagaimana Tarf akan datang dan Pangeran Alder akan menangkapnya, namun aku tidak tahu yang mana benar dan yang mana hanya tambahan cerita. Aku telah belajar bahwa perkataan orang-orang itu biasanya salah. Mata biru? Bagaimanapun kulihat, mata Pangeran Alder berwarna hitam.
***
Malam itu dilewatkan dengan agak sedikit lain. Lampu-lampu minyak dan lilin dinyalakan di kamar, membuat sekeliling kami terlihat lebih terang daripada biasanya. Seruling tergeletak begitu saja, tidak satu kali pun Pangeran Alder mengedikkan kepalanya dan memintaku menari. Ia hanya terduduk di sana, membiarkanku menyandarkan kepala pada pundaknya. Satu tangannya memainkan helaian panjang rambutku, pandangannya menerawang.
“Pangeran Alder?”
Ia tidak menjawab. Ini bukan pertama kalinya, dan aku mengulang untuk memanggilnya lagi seperti yang selalu kulakukan jika ia tidak menjawab. Pada panggilanku yang keempat ia tersentak dan menoleh ke arahku, bertanya, “Ada apa?”
“…Sebenarnya mengapa Pangeran berada di Algorab, meninggalkan Kitala untuk satu bulan terakhir ini?”
Pangeran Alder terdiam. Untuk sesaat ia tampak sedang berpikir, namun kemudian ia tersenyum nakal. “Kenapa kau menanyakannya? Kau khawatir aku akan pergi setelah pekerjaanku selesai?”
“Tidak,” aku menyangkal, namun ia jelas dapat membaca isi hatiku yang sebenarnya, karena ia kini menyeringai. “Aku hanya ingin tahu.”
“Aku memiliki urusan di sini, dan ya, sebentar lagi akan selesai jika segalanya berjalan dengan baik. Kau membuat waktu-waktu menungguku menjadi lebih menyenangkan. Kini aku berharap segalanya akan berjalan lebih lama lagi… aku bahkan berpikir untuk membawamu pergi setelah segalanya berakhir. Namun aku sendiri tidak yakin apa kau masih akan menyukaiku setelah semuanya berakhir.”
Ia bahkan tidak menanyakan lagi tentang perasaanku. Tanpa menunggu jawabanku, ia telah menyimpulkan segalanya sendiri, dan tidak membiarkan siapapun untuk mengoreksinya. Ia begitu yakin, ketika ia menggenggam tanganku, aku terlena pada dirinya, menjadi miliknya seutuhnya. Semakin hari, semakin ia mengatakannya, segalanya terasa semakin nyata — dan berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri, apa kini aku boleh berharap?
“Pangeran, aku terlalu sering dikecewakan. Berapa orang yang telah kemari, menggenggam tanganku, berkata akan membawaku pergi? Mereka tak pernah membeliku, dan begitu pula dengan dirimu,” kataku, membuang secercah harapan yang barusan muncul dalam hati. “Kau akan pergi begitu saja seperti mereka.”
“Kau mirip dengan adikku, walau aku tak menganggapmu seperti adik,” kata Pangeran Alder. “Mungkin kau bisa mengatakannya sebagai cinta pada pandangan pertama. Apa kau percaya akan hal itu?”
Pikiranku melayang pada alunan seruling pertama yang ia mainkan. Pada bagaimana jantungku berdegup kencang ketika ia pertama kali membelaiku. Namun aku menggeleng pelan, “Hal seperti itu tidak ada.”
“Apakah kau memang dibesarkan untuk tidak percaya apapun?” Pangeran Alder bertanya, tersenyum kagum. “Kau memang berbeda. Jika aku membawamu pergi, mungkin kau memang benar-benar bisa tahan akan kehidupan keras yang aku jalani.”
Kemudian ia tertawa masam sebelum aku sempat berkomentar apa-apa. Ia berbaring dan membuat kepalanya menindih pangkuanku. Ia menutup matanya yang tajam dan tersenyum. “Hanya untuk malam ini saja, hibur aku dengan belaianmu… waktunya sudah dekat, Arrakis. Aku akan merindukanmu.”
***
Hari itu pagi buta dan keributan di luar telah membuatku terbangun. Pangeran Alder melonjak kaget dari pangkuanku, waspada dengan apa yang ia dengar dari luar. Ia membuka pintu, melongok keluar, kemudian masuk lagi. Ia menarik tanganku kencang, mulai membawaku berlari, keluar dari rumah hiburan itu lewat pintu belakang.
Aku tidak sempat menanyakan apa-apa, atau bahkan meyakinkan diriku bahwa segalanya yang sedang terjadi bukanlah mimpi. Aku menggenggam erat tubuh Pangeran Alder, berusaha untuk tidak terjatuh, ketika ia menerjang angin dengan kudanya. Kami melaju dan terus melaju, ke pinggiran kota, dan dari kejauhan aku bisa melihat kita semakin dekat ke dermaga.
Ketika kuda kami berhenti di jalan berpasir tidak jauh dari dermaga, namun napas kami tidak berhenti melaju. Dari kejauhan berbagai kapal berjajar di sana, salah satu di antaranya begitu besar. Warna hitamnya mencolok dan menarik perhatianku. Sesaat setelahnya Pangeran Alder melompat turun dari kuda, mengangkat badanku dan membantuku turun. Kami menoleh ke belakang, mendapati sekelibat sosok kuda dan prajurit menembus kegelapan subuh yang baru akan disela sinar matahari. Kedua tangan Pangeran Alder meraih pundakku, mengguncangnya, “Apa kau akan ikut denganku?”
Aku terbata, menelan ludah. Aku tahu terlalu sedikit tentang apa yang menanti di hadapanku. Namun satu hal yang aku yakin, harapan yang ia berikan kali ini tidak palsu, dan Pangeran Alder memang benar-benar berniat untuk membawaku pergi.
Aku hampir berkata ‘ya’, namun derap langkah kuda yang begitu dekat menghentikanku. Satu sosok di atas kuda itu tiba jauh lebih cepat daripada para prajurit lain di belakangnya, dan dari jarak seperti ini, aku bisa melihat wajahnya. Sinar matahari pagi yang muncul dari belakangku, menyeruak dari lautan, membuat segalanya bertambah jelas.
Wajah prajurit tidak dikenal itu lembut dan cantik, matanya biru. Walaupun garis wajahnya halus, namun hanya dengan melihatnya kau akan tahu ia adalah lelaki yang tegas dan serius. Tangannya menggenggam pedang panjang, ia mengarahkannya pada Pangeran Alder di sampingku.
Pangeran Alder mencabut pisau kecil dari pinggangnya, balas mengarahkannya pada prajurit itu.
“Tarf, kita bertemu lagi. Kali ini aku akan mendapatkan kepalamu, atau aku akan benar-benar mengecewakan negeri ini. Kau adalah penyakit bagi kerajaan ini!”
Aku menoleh ke samping, berharap pendengaranku tidak membohongiku. Prajurit itu berkata tanpa ragu, dan ‘Tarf’ yang ia panggil kini menarik seutas tali berwarna merah, mengikatnya pada kepalanya. Ia menyeringai, membalas ucapan prajurit berkuda itu, “Alder…. Akhirnya kau datang juga.”
“Bukankah kau yang memintaku datang? Dengan berkeliling setiap rumah hiburan di Algorab dengan menggunakan namaku…,” mata Pangeran Alder yang asli menyipit penuh benci, kemudian ia melompat turun dari kudanya, tangannya tetap mengacungkan pedang.
Apa yang kurasakan saat itu? Aku tidak tahu. Apakah itu kekecewaan? Karena ternyata setiap detik yang kulalui dengannya ternyata adalah kebohongan. Bahkan nama aslinya pun aku tidak tahu, namun aku mengakui dalam hatiku bahwa aku mencintainya. Mencintainya? Mencintai siapa? Ia bukan Pangeran Alder. Bukankah itu berarti aku tidak mengenalnya? Aku tidak kenal siapa Tarf, selain dari kata-kata simpang siur Meissa.
“Membunuh adikku…. Tentu saja aku harus bertemu lagi denganmu, untuk menancapkan belati ini pada dadamu. Beraninya kau, membunuh adikku!” Tarf menggeram, suaranya yang keras di sampingku membuatku gemetar.
Segalanya seakan dipercepat, atau mungkin hanya pandanganku saja yang tidak bisa menangkap gerakan mereka. Saling mendorong, terjatuh, dan menebas, hanya beberapa saat kemudian tetes-tetes darah mengumpul di bawah mereka, menodai putihnya pasir.
“Tarf…,” aku memanggilnya, namun suaraku terlalu kecil untuk dapat didengarnya. Pasukan berkuda itu telah amat dekat, dan kini Tarf sedang terbaring di atas pasir, di atasnya Alder berusaha menusukkan pedangnya pada badan Tarf. Tangan Tarf yang menahan pedang itu dengan tangannya kelelahan, namun ia sempat menangkap pandangan akan diriku dari ujung matanya. Aku mengulang, memanggil namanya lebih keras, “Tarf!”
“Lari, Arrakis! Sebelum prajurit-prajurit itu datang! Kapal hitam itu milikku. Larilah ke sana dan aku akan menyusulmu!”
“Menyusulnya?” Alder mengulang, matanya menyipit. “Tarf, takkan kubiarkan kau pergi dari bawah pedangku, kecuali pedang ini telah tertancap pada dadamu! Dan tentang Kilat Hitam? Aku akan menghancurkannya, setiap jengkalnya, seperti yang kulakukan pada dirimu!”
Aku tidak bisa menggerakkan kakiku untuk pergi, namun derap langkah kuda yang begitu banyak itu semakin mendekat. Tarf mendorong kuat Alder, membuat mereka berdiri menghadap satu sama lain kini. Tangan kiri Tarf terkulai lunglai di pinggir tubuhnya, dan ada luka besar pada lengan Alder yang menganga mengerikan. Napas mereka terus berkejar-kejaran.
Entah keberanian dari mana yang membuatku maju ke depan untuk meraih tangan Tarf, menggenggamnya erat dan setengah menariknya. “Jika ingin kabur, kita lari berdua! Takkan kubiarkan kau mati di sini, setelah memberikanku harapan palsu. Bukankah kau berjanji akan membawaku pergi dari Algorab? Aku tidak peduli kau membawaku ke Kitala atau bukan… tetapi takkan kumaafkan jika kau mati di sini!”
“Kitala? Untuk apa ke tempat membosankan itu?” Tarf menyeringai, menggendong badanku dengan tangannya yang terluka. Alder terpaku akan apa yang terjadi akannya. Detik berikutnya, ia mendapati prajurit-prajuritnya telah tiba sangat dekat di belakang kami, namun kaki Tarf telah melaju cepat ke arah Kilat Hitam. Suara Tarf terdengar ke seluruh penjuru ketika ia berteriak, “Aku akan membawamu… keliling samudera!”
Bersamaan dengan teriakannya itu, terdengar suara terompet keras dari dalam kapal layar yang amat besar itu. Bayangannya tampak lebih hitam lagi ketika kini matahari pagi mulai meninggi. Kapal itu bergerak ke arah kami, dari atasnya awak-awaknya sigap menaikkan kaptennya. Aku terpana melihat pemandangan dari atas kapal, terutama bagaimana Alder berteriak murka dari kejauhan, “Pengecut, kembali ke sini! Bukankah kau melakukan semua ini untuk duel denganku?!”
Tarf hanya tertawa melihat Alder yang kesal. Ia berkata, hanya cukup keras untuk orang-orang di kapal mendengarnya, “Sampai jumpa, Alder. Dendamku akan kuambil lain kali. Untuk kali ini… aku ambil hadiahku dulu.”
Ia merangkul tangannya pada pinggangku, mengabaikan segalanya di bumi selain kebersamaan kami. Apakah ini akhir?
Aku percaya ini adalah awal dari hidupku yang sebenarnya. Apa yang akan menungguku setelah ini… aku tidak tahu. Namun jika lelaki ini ada di sampingku, maka tampaknya tidak ada yang tidak bisa kulewati.
***

Selasa, 01 Mei 2012

Cerpen


                   Kehilangannya bukan akhir segalanya

Perjalanan cinta tak selamanya mulus, semua punya alur ceritanya sendiri-sendiri, ada suka, ada juga duka. Begitu juga dengan kisah cintaku, pernah dilukai dan merasakan sakitnya di khianati.
Hubungan yang telah berjalan lama, bahkan sudah ku gadang-gadangkan untuk menetapkan dia sebagai yang terakhir dari pencarian cintaku, tempat ku labuhkan seluruh kasih sayangku, dan menjadikanya sebagai tahta dihatiku selamanya.
Namun ternyata semua harus kandas begitu saja, berakhir tanpa ada kesempatan untuk memintainya penjelasan, dia minggat bersama laki-laki yang tak lain adalah sahabat ku sendiri, mereka ternyata sudah lama menikam ku, mereka sudah lama menjadi racun dalam hidup ku, mereka telah bersandiwara dengan apik dalam drama percintaan ku. siapa yang tak lantas sakit hati? Siapa yang tak kecewa? Siapa yang tak marah?
Bohong, Bohong kala itu kalo aku begitu saja bilang aku baik-baik saja, bohong kalo aku ikhlas menerima semua itu, bohong kalo aku tegar menerima kenyataan itu. Sumpah aku tak sanggup rasanya melihat dunia, aku disulut benci dan amarah yang membakar logikaku. aku sakit hati.
Sakit yang teramat dalam yang tak akan mampu seorangpun mengerti, bahkan tak akan mempu aku uraikan dalam jabaran kata, tak akan mampu aku lukis secara gamblang dalam secarik kanfas, tak akan mampu aku tuangkan dalam ceceran air mata, semua teramat menyedihkan.
Sakit hati membuat ku menjadi terlalu tertutup dan terlalu berhati-hati membuka perasaan terhadap cinta yang datang, bahkan dengan terang-terangan menolaknya untuk sekedar mengintip dalam tirai hatiku karena aku takut terluka lagi.
Kegagalan itu tak lantas membuat ku membenci cinta, cinta tak salah, cinta tak pernah membuat aku terluka, sejatinya cinta itu suci, cinta itu tulus dan cinta itu tanpa pamrih, cinta itu jujur, cinta itu setia.
Yang salah saat itu adalah orang yang telah aku percayakan cintaku, ya… aku salah mencintai seseorang, aku telah keliru menilainya sebagai orang yang tepat untuk menjaga hatiku. Untuk itu, aku harus lebih selektif dan lebih bijak lagi dalam memilih siapa yang layak untuk mendapatkan kesungguhan ku.
Waktu, ya hanya waktu yang mampu secara perlahan meluruhkan ingatan akan sakit hati ini, dukungan dan kasih sayang dari keluarga dan sahabat menjadi obat mujarab untuk cepat mengakhiri cerita kelam itu, memantapkan diri sendiri untuk merubah dan menata kembali hari yang rapuh menjadi bara penyemangat untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda, kini perlahan dunia kurasa tak semendung dulu, sudah ada pelangi setelah derai hujan, dan aku yakin mentari akan bersinar dan kembali menghangatkan ranah hatiku.
Bangkit dan menikmati wangi dunia meski tanpanya bukan akhir dari segalanya, dunia terlalu indah jika hanya menangisinya lebih lama lagi. Saatnya kembali berkarya dan mewarnai hari dengan senyuman bukan lagi air mata.
Aku percaya di balik setiap peristiwa akan ada hikmah yang bisa dipetik, walau mungkin sampai saat ini, hikmah apa dari peristiwa ini belum jelas mampu ku baca. Yang ku yakini Tuhan sayang sama aku maka DIA menjauhkannya dari Hidupku.

Cerpen


Aku pernah datang dan aku sangat patuh

Kisah tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun. Satu kata terakhir yang ia tinggalkan adalah saya pernah datang dan saya sangat penurut.

Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dan membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.

Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya.
Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya. Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.

Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, "saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan". Kemudian papanya memberikan dia nama Yu Yan.

Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.

Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur
lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.

Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi di sekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya.

Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia.

Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu
pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengerluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah. Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung
Yu Yuan.

Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000 $. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang
kesanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit. Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.

Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. "Papa saya ingin mati". Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, "Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati". "Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini."

Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannya sendiri. Hari itu juga setelah pulang kerumah,
Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: "Setelah saya tidak ada,
kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini". Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya. Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisa menahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.

Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara
detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamakannya
sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satu Negara bahkan sampai keseluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini". Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.

Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan tetapi dana terus
mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan.

Ada seorang teman di-email bahkan menulis: "Yu Yuan anakku yang tercinta saya mengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta."

Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan
menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah
terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring di ranjang untuk diinfus. Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertama kali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Pada saat dokter Shii Min menawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perermpuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.

Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu
memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, "Anak yang baik". Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah
berjuang menerobos sembilan pintu maut. Pernah mengalami pendarahan
dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun
menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.

Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah
menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain.
Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut
fisik Yu Yuan semakin lemah.

Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: "Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati". Yu Yuan kemudia berkata : "Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati". Wartawan itupun menjawab, "Kamu memang orang yang baik. Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik". Yu yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. "Tante ini adalah surat wasiat saya."

Fu yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu
Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dan diatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.

Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada
sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas
sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,..... .. Dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. "Sampai jumpa tante, kita
berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakana ini juga pada pemimpin palang merah. Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh". Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya.

Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan
dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan di pencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis. Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa
membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut
akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima
kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi kedunia lain.

Dikecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar
kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita
dengan karangan bunga yang ditumupuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan "Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit, kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah.. ......... ...." demikian kata-kata dari seorang pemuda
tersebut.

Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.

Didepan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa.
Diatas batu nisannya tertulis, "Aku pernah datang dan aku sangat patuh" (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerima kehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.

Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.

Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu
Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang
mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. "Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kami diatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata "Aku pernah datang dan aku sangat patuh".

Kesimpulan:
Demikianlah sebuah kisah yang sangat menggugah hati kita. Seorang anak
kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia. Walaupun hidup serba kekuarangan, Dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang Pengasih.

Hati yang Tersakiti


Hati yang Tersakiti
Aku di sini, duduk terdiam bersama serpihan perihku. Sakit ku mengingat saat kau di sisiku. Dulu, kau memberiku sebuah senyuman yang belum pernah ku dapatkan sebelumnya. Rasa itu terukir dalam dengan indah. Tapi tak ku sangka, rasa sayang yang selama ini kau beri hanyalah kebahagiaan yang semu. Kau mengagungkan sesuatu yang kau sebut cinta dengan topengmu, yang dibaliknya tersembunyi seribu bilah pisau yang siap menyerangku dan menusuk jantungku. Atas nama cinta, kau bersandiwara di depanku.
Saat kau bercerita tentang peran baikmu dalam sandiwara yang berbeda. Begitu lihai kau merangkai kata dan mengucap janji manis yang sangat indah terdengar. Awalnya aku bisa mengabaikan semua rayuan manismu, tapi kau memang takmau menyerah. Bagaimanapun juga aku seorang wanita yang selalu terbawa perasaan, akhitnya hatiku luluh saat kau berkata “Kaulah pelabuhan cinta terakhirku…”

waktu terasa berjalan begitu cepat hingga membuatku terjatuh dan tak sadarkan diri lagi. Bodoh aku yang percaya dengan ucapanmu. Kau membuatku berkorban hanya untuk dirimu. Diam-diam kau menusukku dari belakang dengan belati dibalik topengmu yang terukir indah. Kata-kata cinta yang kau beri racun, membuatku tidak menyadari sakit yang begitu dalam.
Apa kau masih menjunjung tinggi janji yang pernah kau berikan untukku? Janji bahwa kau takkan pernah meninggalkanku.
Mengapa hati ini masih menyimpan kenangan bersamamu? Setiap detik di sisimu terekam jelas dan tersimpan indah di sudut hati kecilku. Tapi semua itu hanyalah sandiwaramu, kau adalah seorang pemain yang memiliku seribu topeng dan beribu tipu muslihat untuk mendapatkan apa yang kau mau.
Kau mendekatiku dengan bualanmu untuk menjadikanku permainan. Setelah kau mendapatkan kesenangan yang kau cari, kau membuangku dan menganggapku tak pernah ada dalam hidupmu. Entah apa yang membuatmu melakukan semua itu. Apa rasa sakit yang pernah kau ceritakan itu yang membuatmu tak punya perasaan lagi seperti ini? Atau memang inilah dirimu yang sebenarnya?
Seharusnya aku mendengan apa kata mereka, tapi aku terlalu angkuh dengan perasaan itu. Ya…hatiku terlalu meninggikanmu karena terlalu mudah aku terbuai oleh setiap katamu. Salah ku memberimu kesempatan untuk bermain api dibelakangku. Sekarang aku hanya bisa menyesali kepolosanku berhadapan dengan orang sepertimu.
Tapi apa gunanya rasa sesal itu? Aku telah tersakiti, perih yang sangat dalam dan aku harus membuang perasaan yang dulu kubanggakan. Aku malu dengan diriku.
Tak ada lagi kata yang bisa menggambarkan rasa sakitku yang begitu dalam. Kini ku merasa, kau adalah orang terjahat yang pernah ku temui selama hidupku.