Rabu, 02 Mei 2012


ARRAKIS
Hal yang paling tidak boleh kulakukan adalah berharap. Walaupun harapan itu tampak begitu dekat untuk menjadi kenyataan, tetapi dalam hidup ini, aku lebih sering dikecewakan. Setiap kalimat yang keluar dari bibir lelaki yang kini memelukku dari belakang itu adalah harapan. Itu berarti, aku harus sadar bahwa setiap harapan dari kalimatnya itu akan menjadi janji-janji palsu belaka.
Orang-orang bilang, jika takdirmu lumayan, kau akan menjadi pemilik kedai kecil yang akan menutup usahanya di sore hari dan menghitung penghasilan di malam hari. Jika takdirmu baik, kau akan bertemu jenderal dan ia akan menikahimu, dan seumur hidup kau akan hidup dari penghargaan kerajaan kepadanya, walaupun kau akan sangat jarang bertemu dengannya karena perang. Jika takdirmu amat sangat baik, mungkin kau akan bisa hidup di kastil mewah di Kitala, dengan satu sisi menghadap ke laut dan sisi lainnya menghadap pepohonan hijau. Dayang-dayang akan mengurus dan membersihkan setiap jengkal lantai kastilmu dengan sukacita, karena mereka hidup berkecukupan. Kau dan suamimu akan dibicarakan orang-orang. Putramu akan dielu-elukan gadis-gadis, dan putrimu akan menjadi perebutan pangeran-pangeran.
Sebagai penari di rumah hiburan, mereka berkata, aku memiliki takdir terburuk dari yang buruk. Berharap adalah salah satu pantangan bagi mereka yang bertakdir buruk. Tapi takdir adalah perangkap: kita tidak bisa meminta, kita tidak bisa mengubah. Apa yang tersisa adalah menjalani.
Namun harus kuakui, aku sangat menyukai lelaki ini…. Perempuan mana yang tidak? Tidak ada yang peduli walau ia adalah pangeran yang gemar bermain wanita. Pangeran Alder yang memelukku dari belakang ini adalah pangeran yang tampan, menyenangkan, dan pemberani. Seberapapun aku menolak untuk terpesona, dan menjalani semuanya sebagai pekerjaan, aku telah terlena. Menolak untuk mengakuinya adalah hal yang tersisa untuk kujalani.
“Arrakis…, kau diam saja…. Apa kau meragukan aku?” Pangeran Alder bertanya, mengelus pipiku dengan punggung tangannya. “Aku tidak membual ketika mengatakan bahwa kau adalah kesukaanku…. Bukankah kau adalah penari yang kukunjungi setiap hari berturut-turut untuk satu minggu terakhir ini?”
Aku hanya tersenyum tipis, tanpa menoleh untuk melihat raut wajahnya. Langit malam di hadapan kami penuh dengan bintang, dan aku memilih untuk menujukan mataku ke sana. Pemandangan itu membuat hatiku sedikit lebih tenang ketika aku menukas, “Dan minggu depan kau akan berganti dengan penari lain karena kau bosan, atau mengunjungi rumah bordil untuk mencari pelacur cantik yang bisa melayanimu, pelacur yang bukan sepertiku yang hanya dapat menari untukmu…. Pada suatu hari, kau akan muak padaku.”
“Itu tidak benar,” Pangeran Alder berkata, suaranya terasa menggelitik di telinga. “Akuilah, kau juga telah terlena akan diriku. Mengapa begitu sulit untuk mengakui perasaanmu?”
“Pangeran,” aku berkata, “bukankah kau membeli tarian dan nyanyianku, bukan hatiku?”
“Aku menginginkan hatimu tanpa membelinya. Berikan… berikan untukku.”
Aku membalikkan badanku dan menoleh ke arahnya. Yang kulihat pertama kali dari dalam matanya yang memantulkan sinar lilin dan rembulan itu adalah keputusasaan. Apakah keputusasaan itu palsu… aku tidak tahu. Hatiku sakit melihatnya, mungkin sesakit ketika luka besar yang melintang di pipi kirinya ditorehkan. Apakah ini hanya permainan yang dimainkan lelaki, untuk mendapatkan perempuan yang mereka inginkan kemudian mencampakkan setelah mendapatkannya? Ataukah segala yang Pangeran Alder katakan adalah murni ketulusan? Aku tersesat di dalam berbagai pertanyaan, membiarkan kesunyian di antara kami merebak lebih lama lagi.
“Berjanjilah bahwa kau selamanya milikku, maka aku akan membawamu pergi dari tempat ini. Jika kau tidak menginginkanku, untuk apa semua itu? Aku menginginkanmu, karena tampaknya di daratan ini hanya kau yang bisa membuatku pergi dari kebosanan,” Pangeran Alder berkata lagi, kini mendesak.
Sekelibat pemandangan itu tercetak di kepalaku: kastil di pinggir laut, camar-camar yang beterbangan. Segalanya terlalu indah untuk dibayangkan…. Kali ini Pangeran Alder tidak menunggu jawabanku. Menyelipkan jemarinya ke dalam helaian rambut-rambutku yang hitam terurai, ia mengecupku lembut di bibir untuk yang entah keberapa kalinya malam itu.
***
Pangeran Alder Celbalrai dari Kitala jauh dari yang orang-orang bicarakan. Ia dibicarakan sangat serius, tegas, dan kuat, namun wajahnya lembut dan matanya biru jernih. Tidak ada di antara kata-kata itu yang benar. Pangeran Alder yang sebenarnya adalah pangeran yang seenaknya dan pemaksa, sedikit nakal, garis wajahnya tegas, dan matanya jauh dari warna biru. Tidak ada yang mengeluh tentang bagaimana perbedaan antara kenyataan dan rumor begitu jauh, karena Pangeran Alder yang asli memberikan aura yang begitu misterius, memikat, walaupun beda dengan apa yang dibayangkan.
Aku masih ingat ketika Pangeran Alder memanggilku ke kamarnya untuk pertama kali. Hatiku berdebam kencang, karena akan bertemu lelaki yang dielu-elukan wanita Algorab untuk satu bulan terakhir ini. Kanan-kiriku penuh dengan jejeran para pemain tambur dan seruling, kamar besar itu tampak meriah dan terang di tengah malam. Namun wajah Pangeran Alder tidak secerah itu — ia meneriakkan bahwa ia telah amat bosan untuk waktu yang sangat lama, dan tidak terkesan dengan penampilanku pada pandangan pertamanya. Ia berseru kesal saat itu, “Aku ke Algorab untuk hiburan! Untuk segalanya yang tidak ada di Kitala! Tapi kalian semua mengecewakanku. Satu bulan aku di sini, aku tidak merasa terhibur barang sedikit pun. Kini kalian mengirimkan padaku gadis yang kalian bilang penari unggul kalian. Gadis kurus pucat ini? Penari unggul kalian? Cih.”
Namun ia belum sempat melihatku menari saat itu. Ia hampir mengusirku dari kamar itu karena mengecewakannya namun aku menarik tangannya dan memohonnya untuk memberiku kesempatan. Dan itulah yang ia lakukan, memberiku kesempatan. Ia hanya membiarkan aku menunjukkan satu tarian dengan diiringi para pemusik. Aku mengeluarkan segala yang kupunya: jentikan-jentikan, goyangan perut, hentakan kaki yang bergemerincing, cadar yang berkibar-kibar…. Setelah satu tarian itu, ia mengusir semua pemusik di ruangan itu, mengambil seruling, kemudian mengiringi tarianku dengan tiupannya sendiri. Ia menyelesaikan tiupannya dengan tawa, menanyakan namaku, dan menjadi pengunjung tetapku untuk seminggu terakhir.
Mungkin ketika ia meniupkan nada pertamanya, dan kita berpandangan satu sama lain, kita sudah mengerti. Sisanya adalah keselarasan, yang tidak pernah aku dapatkan dengan pemusik lain. Ada sesuatu di antara kami yang membuat kami merasa, inilah tali merah pengikat itu. Sesuatu yang kami cari sejak dulu. Setidaknya, itu yang kurasakan namun kusangkal. Kilatan di matanya setelah kami menyelesaikan lagu pertama kami yang meyakinkanku, tetapi apapun dapat menipu.
Malam bergulir ketika tarian menjadi sentuhan, sentuhan menjadi belaian, belaian menjadi ciuman. Aku menikmati segalanya, walaupun aku tidak menjual tubuhku, hanya bertugas untuk menemaninya dan membuatnya terhibur. Ada saat-saat ketika ia berhenti berdekatan denganku, meraih tambur dan menepuknya, memulai lagu yang baru, mengedikkan kepalanya agar aku menari lagi. Rasa terpaksa karena lelah yang biasa kurasakan dengan tamu lain tidak ada, karena dengan sendirinya tubuhku telah mengikuti irama.
“Arrakis?” suara Kak Meissa memecah lamunanku. Ia mengangkat apel di tangannya, menaruhnya kembali ke keranjang penjual di hadapannya. Ia terlihat kesal ketika berkata lagi, “Apa, kau sedang melamuni Pangeran Alder-mu?”
Ia mendadak menjadi kecut ketika melihat ekspresiku yang mengiyakan. Seperti semua penari lainnya, ia menjadi kesal dan nada suaranya menjadi tinggi. Tidak ada yang menyukai Pangeran Alder didominasi, dan tampaknya aku telah mendapatkan Pangeran Alder untuk diriku sendiri satu minggu terakhir ini.
“Kau harus tahu,” kata Meissa cepat dan tajam seraya membayar anggur yang dibelinya, “Pangeran Alder memang sudah menghabiskan satu bulan di sini, tapi aku dengar dia tidak akan lama. Apa kau tidak tahu mengapa ia di sini dan bukan di Kitala? Kau belum dengar?”
Aku hanya mengangkat alis, dan Meissa tampak begitu puas ketika ia berkata, “Dalam waktu dekat ia harus pergi lagi.”
“Kembali ke Kitala?” aku bertanya, berusaha membuat suaraku terdengar biasa saja dan tenang.
“Tidak tahu. Ia kemari untuk menangkap bajak laut itu… siapa namanya…. Ah, Tarf dengan kapalnya ‘Kilat Hitam’…. Orang-orang bilang wajahnya telah hancur karena terbakar dan tubuhnya besar, berbulu, dan mengerikan…. Ikat kepalanya merah karena ternodai darah-darah korbannya. Pangeran Alder kemari untuk menunggunya dan menangkapnya… aku tidak bisa membayangkan betapa beraninya Pangeran.”
Meissa terus mengoceh tentang bagaimana Tarf akan datang dan Pangeran Alder akan menangkapnya, namun aku tidak tahu yang mana benar dan yang mana hanya tambahan cerita. Aku telah belajar bahwa perkataan orang-orang itu biasanya salah. Mata biru? Bagaimanapun kulihat, mata Pangeran Alder berwarna hitam.
***
Malam itu dilewatkan dengan agak sedikit lain. Lampu-lampu minyak dan lilin dinyalakan di kamar, membuat sekeliling kami terlihat lebih terang daripada biasanya. Seruling tergeletak begitu saja, tidak satu kali pun Pangeran Alder mengedikkan kepalanya dan memintaku menari. Ia hanya terduduk di sana, membiarkanku menyandarkan kepala pada pundaknya. Satu tangannya memainkan helaian panjang rambutku, pandangannya menerawang.
“Pangeran Alder?”
Ia tidak menjawab. Ini bukan pertama kalinya, dan aku mengulang untuk memanggilnya lagi seperti yang selalu kulakukan jika ia tidak menjawab. Pada panggilanku yang keempat ia tersentak dan menoleh ke arahku, bertanya, “Ada apa?”
“…Sebenarnya mengapa Pangeran berada di Algorab, meninggalkan Kitala untuk satu bulan terakhir ini?”
Pangeran Alder terdiam. Untuk sesaat ia tampak sedang berpikir, namun kemudian ia tersenyum nakal. “Kenapa kau menanyakannya? Kau khawatir aku akan pergi setelah pekerjaanku selesai?”
“Tidak,” aku menyangkal, namun ia jelas dapat membaca isi hatiku yang sebenarnya, karena ia kini menyeringai. “Aku hanya ingin tahu.”
“Aku memiliki urusan di sini, dan ya, sebentar lagi akan selesai jika segalanya berjalan dengan baik. Kau membuat waktu-waktu menungguku menjadi lebih menyenangkan. Kini aku berharap segalanya akan berjalan lebih lama lagi… aku bahkan berpikir untuk membawamu pergi setelah segalanya berakhir. Namun aku sendiri tidak yakin apa kau masih akan menyukaiku setelah semuanya berakhir.”
Ia bahkan tidak menanyakan lagi tentang perasaanku. Tanpa menunggu jawabanku, ia telah menyimpulkan segalanya sendiri, dan tidak membiarkan siapapun untuk mengoreksinya. Ia begitu yakin, ketika ia menggenggam tanganku, aku terlena pada dirinya, menjadi miliknya seutuhnya. Semakin hari, semakin ia mengatakannya, segalanya terasa semakin nyata — dan berkali-kali aku bertanya pada diriku sendiri, apa kini aku boleh berharap?
“Pangeran, aku terlalu sering dikecewakan. Berapa orang yang telah kemari, menggenggam tanganku, berkata akan membawaku pergi? Mereka tak pernah membeliku, dan begitu pula dengan dirimu,” kataku, membuang secercah harapan yang barusan muncul dalam hati. “Kau akan pergi begitu saja seperti mereka.”
“Kau mirip dengan adikku, walau aku tak menganggapmu seperti adik,” kata Pangeran Alder. “Mungkin kau bisa mengatakannya sebagai cinta pada pandangan pertama. Apa kau percaya akan hal itu?”
Pikiranku melayang pada alunan seruling pertama yang ia mainkan. Pada bagaimana jantungku berdegup kencang ketika ia pertama kali membelaiku. Namun aku menggeleng pelan, “Hal seperti itu tidak ada.”
“Apakah kau memang dibesarkan untuk tidak percaya apapun?” Pangeran Alder bertanya, tersenyum kagum. “Kau memang berbeda. Jika aku membawamu pergi, mungkin kau memang benar-benar bisa tahan akan kehidupan keras yang aku jalani.”
Kemudian ia tertawa masam sebelum aku sempat berkomentar apa-apa. Ia berbaring dan membuat kepalanya menindih pangkuanku. Ia menutup matanya yang tajam dan tersenyum. “Hanya untuk malam ini saja, hibur aku dengan belaianmu… waktunya sudah dekat, Arrakis. Aku akan merindukanmu.”
***
Hari itu pagi buta dan keributan di luar telah membuatku terbangun. Pangeran Alder melonjak kaget dari pangkuanku, waspada dengan apa yang ia dengar dari luar. Ia membuka pintu, melongok keluar, kemudian masuk lagi. Ia menarik tanganku kencang, mulai membawaku berlari, keluar dari rumah hiburan itu lewat pintu belakang.
Aku tidak sempat menanyakan apa-apa, atau bahkan meyakinkan diriku bahwa segalanya yang sedang terjadi bukanlah mimpi. Aku menggenggam erat tubuh Pangeran Alder, berusaha untuk tidak terjatuh, ketika ia menerjang angin dengan kudanya. Kami melaju dan terus melaju, ke pinggiran kota, dan dari kejauhan aku bisa melihat kita semakin dekat ke dermaga.
Ketika kuda kami berhenti di jalan berpasir tidak jauh dari dermaga, namun napas kami tidak berhenti melaju. Dari kejauhan berbagai kapal berjajar di sana, salah satu di antaranya begitu besar. Warna hitamnya mencolok dan menarik perhatianku. Sesaat setelahnya Pangeran Alder melompat turun dari kuda, mengangkat badanku dan membantuku turun. Kami menoleh ke belakang, mendapati sekelibat sosok kuda dan prajurit menembus kegelapan subuh yang baru akan disela sinar matahari. Kedua tangan Pangeran Alder meraih pundakku, mengguncangnya, “Apa kau akan ikut denganku?”
Aku terbata, menelan ludah. Aku tahu terlalu sedikit tentang apa yang menanti di hadapanku. Namun satu hal yang aku yakin, harapan yang ia berikan kali ini tidak palsu, dan Pangeran Alder memang benar-benar berniat untuk membawaku pergi.
Aku hampir berkata ‘ya’, namun derap langkah kuda yang begitu dekat menghentikanku. Satu sosok di atas kuda itu tiba jauh lebih cepat daripada para prajurit lain di belakangnya, dan dari jarak seperti ini, aku bisa melihat wajahnya. Sinar matahari pagi yang muncul dari belakangku, menyeruak dari lautan, membuat segalanya bertambah jelas.
Wajah prajurit tidak dikenal itu lembut dan cantik, matanya biru. Walaupun garis wajahnya halus, namun hanya dengan melihatnya kau akan tahu ia adalah lelaki yang tegas dan serius. Tangannya menggenggam pedang panjang, ia mengarahkannya pada Pangeran Alder di sampingku.
Pangeran Alder mencabut pisau kecil dari pinggangnya, balas mengarahkannya pada prajurit itu.
“Tarf, kita bertemu lagi. Kali ini aku akan mendapatkan kepalamu, atau aku akan benar-benar mengecewakan negeri ini. Kau adalah penyakit bagi kerajaan ini!”
Aku menoleh ke samping, berharap pendengaranku tidak membohongiku. Prajurit itu berkata tanpa ragu, dan ‘Tarf’ yang ia panggil kini menarik seutas tali berwarna merah, mengikatnya pada kepalanya. Ia menyeringai, membalas ucapan prajurit berkuda itu, “Alder…. Akhirnya kau datang juga.”
“Bukankah kau yang memintaku datang? Dengan berkeliling setiap rumah hiburan di Algorab dengan menggunakan namaku…,” mata Pangeran Alder yang asli menyipit penuh benci, kemudian ia melompat turun dari kudanya, tangannya tetap mengacungkan pedang.
Apa yang kurasakan saat itu? Aku tidak tahu. Apakah itu kekecewaan? Karena ternyata setiap detik yang kulalui dengannya ternyata adalah kebohongan. Bahkan nama aslinya pun aku tidak tahu, namun aku mengakui dalam hatiku bahwa aku mencintainya. Mencintainya? Mencintai siapa? Ia bukan Pangeran Alder. Bukankah itu berarti aku tidak mengenalnya? Aku tidak kenal siapa Tarf, selain dari kata-kata simpang siur Meissa.
“Membunuh adikku…. Tentu saja aku harus bertemu lagi denganmu, untuk menancapkan belati ini pada dadamu. Beraninya kau, membunuh adikku!” Tarf menggeram, suaranya yang keras di sampingku membuatku gemetar.
Segalanya seakan dipercepat, atau mungkin hanya pandanganku saja yang tidak bisa menangkap gerakan mereka. Saling mendorong, terjatuh, dan menebas, hanya beberapa saat kemudian tetes-tetes darah mengumpul di bawah mereka, menodai putihnya pasir.
“Tarf…,” aku memanggilnya, namun suaraku terlalu kecil untuk dapat didengarnya. Pasukan berkuda itu telah amat dekat, dan kini Tarf sedang terbaring di atas pasir, di atasnya Alder berusaha menusukkan pedangnya pada badan Tarf. Tangan Tarf yang menahan pedang itu dengan tangannya kelelahan, namun ia sempat menangkap pandangan akan diriku dari ujung matanya. Aku mengulang, memanggil namanya lebih keras, “Tarf!”
“Lari, Arrakis! Sebelum prajurit-prajurit itu datang! Kapal hitam itu milikku. Larilah ke sana dan aku akan menyusulmu!”
“Menyusulnya?” Alder mengulang, matanya menyipit. “Tarf, takkan kubiarkan kau pergi dari bawah pedangku, kecuali pedang ini telah tertancap pada dadamu! Dan tentang Kilat Hitam? Aku akan menghancurkannya, setiap jengkalnya, seperti yang kulakukan pada dirimu!”
Aku tidak bisa menggerakkan kakiku untuk pergi, namun derap langkah kuda yang begitu banyak itu semakin mendekat. Tarf mendorong kuat Alder, membuat mereka berdiri menghadap satu sama lain kini. Tangan kiri Tarf terkulai lunglai di pinggir tubuhnya, dan ada luka besar pada lengan Alder yang menganga mengerikan. Napas mereka terus berkejar-kejaran.
Entah keberanian dari mana yang membuatku maju ke depan untuk meraih tangan Tarf, menggenggamnya erat dan setengah menariknya. “Jika ingin kabur, kita lari berdua! Takkan kubiarkan kau mati di sini, setelah memberikanku harapan palsu. Bukankah kau berjanji akan membawaku pergi dari Algorab? Aku tidak peduli kau membawaku ke Kitala atau bukan… tetapi takkan kumaafkan jika kau mati di sini!”
“Kitala? Untuk apa ke tempat membosankan itu?” Tarf menyeringai, menggendong badanku dengan tangannya yang terluka. Alder terpaku akan apa yang terjadi akannya. Detik berikutnya, ia mendapati prajurit-prajuritnya telah tiba sangat dekat di belakang kami, namun kaki Tarf telah melaju cepat ke arah Kilat Hitam. Suara Tarf terdengar ke seluruh penjuru ketika ia berteriak, “Aku akan membawamu… keliling samudera!”
Bersamaan dengan teriakannya itu, terdengar suara terompet keras dari dalam kapal layar yang amat besar itu. Bayangannya tampak lebih hitam lagi ketika kini matahari pagi mulai meninggi. Kapal itu bergerak ke arah kami, dari atasnya awak-awaknya sigap menaikkan kaptennya. Aku terpana melihat pemandangan dari atas kapal, terutama bagaimana Alder berteriak murka dari kejauhan, “Pengecut, kembali ke sini! Bukankah kau melakukan semua ini untuk duel denganku?!”
Tarf hanya tertawa melihat Alder yang kesal. Ia berkata, hanya cukup keras untuk orang-orang di kapal mendengarnya, “Sampai jumpa, Alder. Dendamku akan kuambil lain kali. Untuk kali ini… aku ambil hadiahku dulu.”
Ia merangkul tangannya pada pinggangku, mengabaikan segalanya di bumi selain kebersamaan kami. Apakah ini akhir?
Aku percaya ini adalah awal dari hidupku yang sebenarnya. Apa yang akan menungguku setelah ini… aku tidak tahu. Namun jika lelaki ini ada di sampingku, maka tampaknya tidak ada yang tidak bisa kulewati.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar