ARRAKIS
Hal yang paling tidak boleh kulakukan adalah berharap.
Walaupun harapan itu tampak begitu dekat untuk menjadi kenyataan, tetapi dalam
hidup ini, aku lebih sering dikecewakan. Setiap kalimat yang keluar dari bibir
lelaki yang kini memelukku dari belakang itu adalah harapan. Itu berarti, aku
harus sadar bahwa setiap harapan dari kalimatnya itu akan menjadi janji-janji
palsu belaka.
Orang-orang bilang, jika takdirmu lumayan, kau akan menjadi
pemilik kedai kecil yang akan menutup usahanya di sore hari dan menghitung
penghasilan di malam hari. Jika takdirmu baik, kau akan bertemu jenderal dan ia
akan menikahimu, dan seumur hidup kau akan hidup dari penghargaan kerajaan
kepadanya, walaupun kau akan sangat jarang bertemu dengannya karena perang.
Jika takdirmu amat sangat baik, mungkin kau akan bisa hidup di kastil mewah di
Kitala, dengan satu sisi menghadap ke laut dan sisi lainnya menghadap pepohonan
hijau. Dayang-dayang akan mengurus dan membersihkan setiap jengkal lantai
kastilmu dengan sukacita, karena mereka hidup berkecukupan. Kau dan suamimu
akan dibicarakan orang-orang. Putramu akan dielu-elukan gadis-gadis, dan
putrimu akan menjadi perebutan pangeran-pangeran.
Sebagai penari di rumah hiburan, mereka berkata, aku memiliki
takdir terburuk dari yang buruk. Berharap adalah salah satu pantangan bagi
mereka yang bertakdir buruk. Tapi takdir adalah perangkap: kita tidak bisa
meminta, kita tidak bisa mengubah. Apa yang tersisa adalah menjalani.
Namun harus kuakui, aku sangat menyukai lelaki ini…. Perempuan
mana yang tidak? Tidak ada yang peduli walau ia adalah pangeran yang gemar
bermain wanita. Pangeran Alder yang memelukku dari belakang ini adalah pangeran
yang tampan, menyenangkan, dan pemberani. Seberapapun aku menolak untuk
terpesona, dan menjalani semuanya sebagai pekerjaan, aku telah terlena. Menolak
untuk mengakuinya adalah hal yang tersisa untuk kujalani.
“Arrakis…, kau diam saja…. Apa kau meragukan aku?” Pangeran
Alder bertanya, mengelus pipiku dengan punggung tangannya. “Aku tidak membual
ketika mengatakan bahwa kau adalah kesukaanku…. Bukankah kau adalah penari yang
kukunjungi setiap hari berturut-turut untuk satu minggu terakhir ini?”
Aku hanya tersenyum tipis, tanpa menoleh untuk melihat raut
wajahnya. Langit malam di hadapan kami penuh dengan bintang, dan aku memilih
untuk menujukan mataku ke sana. Pemandangan itu membuat hatiku sedikit lebih
tenang ketika aku menukas, “Dan minggu depan kau akan berganti dengan penari
lain karena kau bosan, atau mengunjungi rumah bordil untuk mencari pelacur cantik
yang bisa melayanimu, pelacur yang bukan sepertiku yang hanya dapat menari
untukmu…. Pada suatu hari, kau akan muak padaku.”
“Itu tidak benar,” Pangeran Alder berkata, suaranya terasa
menggelitik di telinga. “Akuilah, kau juga telah terlena akan diriku. Mengapa
begitu sulit untuk mengakui perasaanmu?”
“Pangeran,” aku berkata, “bukankah kau membeli tarian dan
nyanyianku, bukan hatiku?”
“Aku menginginkan hatimu tanpa membelinya. Berikan… berikan
untukku.”
Aku membalikkan badanku dan menoleh ke arahnya. Yang kulihat
pertama kali dari dalam matanya yang memantulkan sinar lilin dan rembulan itu
adalah keputusasaan. Apakah keputusasaan itu palsu… aku tidak tahu. Hatiku
sakit melihatnya, mungkin sesakit ketika luka besar yang melintang di pipi
kirinya ditorehkan. Apakah ini hanya permainan yang dimainkan lelaki, untuk
mendapatkan perempuan yang mereka inginkan kemudian mencampakkan setelah
mendapatkannya? Ataukah segala yang Pangeran Alder katakan adalah murni
ketulusan? Aku tersesat di dalam berbagai pertanyaan, membiarkan kesunyian di
antara kami merebak lebih lama lagi.
“Berjanjilah bahwa kau selamanya milikku, maka aku akan
membawamu pergi dari tempat ini. Jika kau tidak menginginkanku, untuk apa semua
itu? Aku menginginkanmu, karena tampaknya di daratan ini hanya kau yang bisa
membuatku pergi dari kebosanan,” Pangeran Alder berkata lagi, kini mendesak.
Sekelibat pemandangan itu tercetak di kepalaku: kastil di
pinggir laut, camar-camar yang beterbangan. Segalanya terlalu indah untuk
dibayangkan…. Kali ini Pangeran Alder tidak menunggu jawabanku. Menyelipkan
jemarinya ke dalam helaian rambut-rambutku yang hitam terurai, ia mengecupku
lembut di bibir untuk yang entah keberapa kalinya malam itu.
***
Pangeran Alder Celbalrai dari Kitala jauh dari yang
orang-orang bicarakan. Ia dibicarakan sangat serius, tegas, dan kuat, namun
wajahnya lembut dan matanya biru jernih. Tidak ada di antara kata-kata itu yang
benar. Pangeran Alder yang sebenarnya adalah pangeran yang seenaknya dan
pemaksa, sedikit nakal, garis wajahnya tegas, dan matanya jauh dari warna biru.
Tidak ada yang mengeluh tentang bagaimana perbedaan antara kenyataan dan rumor
begitu jauh, karena Pangeran Alder yang asli memberikan aura yang begitu
misterius, memikat, walaupun beda dengan apa yang dibayangkan.
Aku masih ingat ketika Pangeran Alder memanggilku ke kamarnya
untuk pertama kali. Hatiku berdebam kencang, karena akan bertemu lelaki yang
dielu-elukan wanita Algorab untuk satu bulan terakhir ini. Kanan-kiriku penuh
dengan jejeran para pemain tambur dan seruling, kamar besar itu tampak meriah
dan terang di tengah malam. Namun wajah Pangeran Alder tidak secerah itu — ia
meneriakkan bahwa ia telah amat bosan untuk waktu yang sangat lama, dan tidak
terkesan dengan penampilanku pada pandangan pertamanya. Ia berseru kesal saat
itu, “Aku ke Algorab untuk hiburan! Untuk segalanya yang tidak ada di Kitala!
Tapi kalian semua mengecewakanku. Satu bulan aku di sini, aku tidak merasa
terhibur barang sedikit pun. Kini kalian mengirimkan padaku gadis yang kalian
bilang penari unggul kalian. Gadis kurus pucat ini? Penari unggul kalian? Cih.”
Namun ia belum sempat melihatku menari saat itu. Ia hampir
mengusirku dari kamar itu karena mengecewakannya namun aku menarik tangannya
dan memohonnya untuk memberiku kesempatan. Dan itulah yang ia lakukan,
memberiku kesempatan. Ia hanya membiarkan aku menunjukkan satu tarian dengan
diiringi para pemusik. Aku mengeluarkan segala yang kupunya: jentikan-jentikan,
goyangan perut, hentakan kaki yang bergemerincing, cadar yang berkibar-kibar….
Setelah satu tarian itu, ia mengusir semua pemusik di ruangan itu, mengambil
seruling, kemudian mengiringi tarianku dengan tiupannya sendiri. Ia
menyelesaikan tiupannya dengan tawa, menanyakan namaku, dan menjadi pengunjung
tetapku untuk seminggu terakhir.
Mungkin ketika ia meniupkan nada pertamanya, dan kita
berpandangan satu sama lain, kita sudah mengerti. Sisanya adalah keselarasan,
yang tidak pernah aku dapatkan dengan pemusik lain. Ada sesuatu di antara kami
yang membuat kami merasa, inilah tali merah pengikat itu. Sesuatu yang kami
cari sejak dulu. Setidaknya, itu yang kurasakan namun kusangkal. Kilatan di
matanya setelah kami menyelesaikan lagu pertama kami yang meyakinkanku, tetapi
apapun dapat menipu.
Malam bergulir ketika tarian menjadi sentuhan, sentuhan
menjadi belaian, belaian menjadi ciuman. Aku menikmati segalanya, walaupun aku
tidak menjual tubuhku, hanya bertugas untuk menemaninya dan membuatnya
terhibur. Ada saat-saat ketika ia berhenti berdekatan denganku, meraih tambur
dan menepuknya, memulai lagu yang baru, mengedikkan kepalanya agar aku menari
lagi. Rasa terpaksa karena lelah yang biasa kurasakan dengan tamu lain tidak
ada, karena dengan sendirinya tubuhku telah mengikuti irama.
“Arrakis?” suara Kak Meissa memecah lamunanku. Ia mengangkat
apel di tangannya, menaruhnya kembali ke keranjang penjual di hadapannya. Ia
terlihat kesal ketika berkata lagi, “Apa, kau sedang melamuni Pangeran
Alder-mu?”
Ia mendadak menjadi kecut ketika melihat ekspresiku yang
mengiyakan. Seperti semua penari lainnya, ia menjadi kesal dan nada suaranya
menjadi tinggi. Tidak ada yang menyukai Pangeran Alder didominasi, dan
tampaknya aku telah mendapatkan Pangeran Alder untuk diriku sendiri satu minggu
terakhir ini.
“Kau harus tahu,” kata Meissa cepat dan tajam seraya membayar
anggur yang dibelinya, “Pangeran Alder memang sudah menghabiskan satu bulan di
sini, tapi aku dengar dia tidak akan lama. Apa kau tidak tahu mengapa ia di
sini dan bukan di Kitala? Kau belum dengar?”
Aku hanya mengangkat alis, dan Meissa tampak begitu puas
ketika ia berkata, “Dalam waktu dekat ia harus pergi lagi.”
“Kembali ke Kitala?” aku bertanya, berusaha membuat suaraku
terdengar biasa saja dan tenang.
“Tidak tahu. Ia kemari untuk menangkap bajak laut itu… siapa
namanya…. Ah, Tarf dengan kapalnya ‘Kilat Hitam’…. Orang-orang bilang wajahnya
telah hancur karena terbakar dan tubuhnya besar, berbulu, dan mengerikan…. Ikat
kepalanya merah karena ternodai darah-darah korbannya. Pangeran Alder kemari
untuk menunggunya dan menangkapnya… aku tidak bisa membayangkan betapa
beraninya Pangeran.”
Meissa terus mengoceh tentang bagaimana Tarf akan datang dan
Pangeran Alder akan menangkapnya, namun aku tidak tahu yang mana benar dan yang
mana hanya tambahan cerita. Aku telah belajar bahwa perkataan orang-orang itu
biasanya salah. Mata biru? Bagaimanapun kulihat, mata Pangeran Alder berwarna
hitam.
***
Malam itu dilewatkan dengan agak sedikit lain. Lampu-lampu
minyak dan lilin dinyalakan di kamar, membuat sekeliling kami terlihat lebih
terang daripada biasanya. Seruling tergeletak begitu saja, tidak satu kali pun
Pangeran Alder mengedikkan kepalanya dan memintaku menari. Ia hanya terduduk di
sana, membiarkanku menyandarkan kepala pada pundaknya. Satu tangannya memainkan
helaian panjang rambutku, pandangannya menerawang.
“Pangeran Alder?”
Ia tidak menjawab. Ini bukan pertama kalinya, dan aku
mengulang untuk memanggilnya lagi seperti yang selalu kulakukan jika ia tidak
menjawab. Pada panggilanku yang keempat ia tersentak dan menoleh ke arahku,
bertanya, “Ada apa?”
“…Sebenarnya mengapa Pangeran berada di Algorab, meninggalkan
Kitala untuk satu bulan terakhir ini?”
Pangeran Alder terdiam. Untuk sesaat ia tampak sedang
berpikir, namun kemudian ia tersenyum nakal. “Kenapa kau menanyakannya? Kau
khawatir aku akan pergi setelah pekerjaanku selesai?”
“Tidak,” aku menyangkal, namun ia jelas dapat membaca isi
hatiku yang sebenarnya, karena ia kini menyeringai. “Aku hanya ingin tahu.”
“Aku memiliki urusan di sini, dan ya, sebentar lagi akan
selesai jika segalanya berjalan dengan baik. Kau membuat waktu-waktu menungguku
menjadi lebih menyenangkan. Kini aku berharap segalanya akan berjalan lebih
lama lagi… aku bahkan berpikir untuk membawamu pergi setelah segalanya
berakhir. Namun aku sendiri tidak yakin apa kau masih akan menyukaiku setelah
semuanya berakhir.”
Ia bahkan tidak menanyakan lagi tentang perasaanku. Tanpa
menunggu jawabanku, ia telah menyimpulkan segalanya sendiri, dan tidak
membiarkan siapapun untuk mengoreksinya. Ia begitu yakin, ketika ia menggenggam
tanganku, aku terlena pada dirinya, menjadi miliknya seutuhnya. Semakin hari,
semakin ia mengatakannya, segalanya terasa semakin nyata — dan berkali-kali aku
bertanya pada diriku sendiri, apa kini aku boleh berharap?
“Pangeran, aku terlalu sering dikecewakan. Berapa orang yang
telah kemari, menggenggam tanganku, berkata akan membawaku pergi? Mereka tak
pernah membeliku, dan begitu pula dengan dirimu,” kataku, membuang secercah
harapan yang barusan muncul dalam hati. “Kau akan pergi begitu saja seperti
mereka.”
“Kau mirip dengan adikku, walau aku tak menganggapmu seperti
adik,” kata Pangeran Alder. “Mungkin kau bisa mengatakannya sebagai cinta pada
pandangan pertama. Apa kau percaya akan hal itu?”
Pikiranku melayang pada alunan seruling pertama yang ia
mainkan. Pada bagaimana jantungku berdegup kencang ketika ia pertama kali
membelaiku. Namun aku menggeleng pelan, “Hal seperti itu tidak ada.”
“Apakah kau memang dibesarkan untuk tidak percaya apapun?”
Pangeran Alder bertanya, tersenyum kagum. “Kau memang berbeda. Jika aku membawamu
pergi, mungkin kau memang benar-benar bisa tahan akan kehidupan keras yang aku
jalani.”
Kemudian ia tertawa masam sebelum aku sempat berkomentar
apa-apa. Ia berbaring dan membuat kepalanya menindih pangkuanku. Ia menutup
matanya yang tajam dan tersenyum. “Hanya untuk malam ini saja, hibur aku dengan
belaianmu… waktunya sudah dekat, Arrakis. Aku akan merindukanmu.”
***
Hari itu pagi buta dan keributan di luar telah membuatku
terbangun. Pangeran Alder melonjak kaget dari pangkuanku, waspada dengan apa yang
ia dengar dari luar. Ia membuka pintu, melongok keluar, kemudian masuk lagi. Ia
menarik tanganku kencang, mulai membawaku berlari, keluar dari rumah hiburan
itu lewat pintu belakang.
Aku tidak sempat menanyakan apa-apa, atau bahkan meyakinkan
diriku bahwa segalanya yang sedang terjadi bukanlah mimpi. Aku menggenggam erat
tubuh Pangeran Alder, berusaha untuk tidak terjatuh, ketika ia menerjang angin
dengan kudanya. Kami melaju dan terus melaju, ke pinggiran kota, dan dari
kejauhan aku bisa melihat kita semakin dekat ke dermaga.
Ketika kuda kami berhenti di jalan berpasir tidak jauh dari
dermaga, namun napas kami tidak berhenti melaju. Dari kejauhan berbagai kapal
berjajar di sana, salah satu di antaranya begitu besar. Warna hitamnya mencolok
dan menarik perhatianku. Sesaat setelahnya Pangeran Alder melompat turun dari
kuda, mengangkat badanku dan membantuku turun. Kami menoleh ke belakang,
mendapati sekelibat sosok kuda dan prajurit menembus kegelapan subuh yang baru
akan disela sinar matahari. Kedua tangan Pangeran Alder meraih pundakku,
mengguncangnya, “Apa kau akan ikut denganku?”
Aku terbata, menelan ludah. Aku tahu terlalu sedikit tentang
apa yang menanti di hadapanku. Namun satu hal yang aku yakin, harapan yang ia
berikan kali ini tidak palsu, dan Pangeran Alder memang benar-benar berniat
untuk membawaku pergi.
Aku hampir berkata ‘ya’, namun derap langkah kuda yang begitu
dekat menghentikanku. Satu sosok di atas kuda itu tiba jauh lebih cepat
daripada para prajurit lain di belakangnya, dan dari jarak seperti ini, aku
bisa melihat wajahnya. Sinar matahari pagi yang muncul dari belakangku,
menyeruak dari lautan, membuat segalanya bertambah jelas.
Wajah prajurit tidak dikenal itu lembut dan cantik, matanya
biru. Walaupun garis wajahnya halus, namun hanya dengan melihatnya kau akan
tahu ia adalah lelaki yang tegas dan serius. Tangannya menggenggam pedang
panjang, ia mengarahkannya pada Pangeran Alder di sampingku.
Pangeran Alder mencabut pisau kecil dari pinggangnya, balas
mengarahkannya pada prajurit itu.
“Tarf, kita bertemu lagi. Kali ini aku akan mendapatkan
kepalamu, atau aku akan benar-benar mengecewakan negeri ini. Kau adalah
penyakit bagi kerajaan ini!”
Aku menoleh ke samping, berharap pendengaranku tidak
membohongiku. Prajurit itu berkata tanpa ragu, dan ‘Tarf’ yang ia panggil kini
menarik seutas tali berwarna merah, mengikatnya pada kepalanya. Ia menyeringai,
membalas ucapan prajurit berkuda itu, “Alder…. Akhirnya kau datang juga.”
“Bukankah kau yang memintaku datang? Dengan berkeliling setiap
rumah hiburan di Algorab dengan menggunakan namaku…,” mata Pangeran
Alder yang asli menyipit penuh benci, kemudian ia melompat turun dari kudanya,
tangannya tetap mengacungkan pedang.
Apa yang kurasakan saat itu? Aku tidak tahu. Apakah itu
kekecewaan? Karena ternyata setiap detik yang kulalui dengannya ternyata adalah
kebohongan. Bahkan nama aslinya pun aku tidak tahu, namun aku mengakui dalam
hatiku bahwa aku mencintainya. Mencintainya? Mencintai siapa? Ia bukan Pangeran
Alder. Bukankah itu berarti aku tidak mengenalnya? Aku tidak kenal siapa Tarf,
selain dari kata-kata simpang siur Meissa.
“Membunuh adikku…. Tentu saja aku harus bertemu lagi denganmu,
untuk menancapkan belati ini pada dadamu. Beraninya kau, membunuh adikku!” Tarf
menggeram, suaranya yang keras di sampingku membuatku gemetar.
Segalanya seakan dipercepat, atau mungkin hanya pandanganku
saja yang tidak bisa menangkap gerakan mereka. Saling mendorong, terjatuh, dan
menebas, hanya beberapa saat kemudian tetes-tetes darah mengumpul di bawah
mereka, menodai putihnya pasir.
“Tarf…,” aku memanggilnya, namun suaraku terlalu kecil untuk
dapat didengarnya. Pasukan berkuda itu telah amat dekat, dan kini Tarf sedang
terbaring di atas pasir, di atasnya Alder berusaha menusukkan pedangnya pada
badan Tarf. Tangan Tarf yang menahan pedang itu dengan tangannya kelelahan,
namun ia sempat menangkap pandangan akan diriku dari ujung matanya. Aku
mengulang, memanggil namanya lebih keras, “Tarf!”
“Lari, Arrakis! Sebelum prajurit-prajurit itu datang! Kapal
hitam itu milikku. Larilah ke sana dan aku akan menyusulmu!”
“Menyusulnya?” Alder mengulang, matanya menyipit. “Tarf,
takkan kubiarkan kau pergi dari bawah pedangku, kecuali pedang ini telah
tertancap pada dadamu! Dan tentang Kilat Hitam? Aku akan menghancurkannya, setiap
jengkalnya, seperti yang kulakukan pada dirimu!”
Aku tidak bisa menggerakkan kakiku untuk pergi, namun derap
langkah kuda yang begitu banyak itu semakin mendekat. Tarf mendorong kuat
Alder, membuat mereka berdiri menghadap satu sama lain kini. Tangan kiri Tarf
terkulai lunglai di pinggir tubuhnya, dan ada luka besar pada lengan Alder yang
menganga mengerikan. Napas mereka terus berkejar-kejaran.
Entah keberanian dari mana yang membuatku maju ke depan untuk
meraih tangan Tarf, menggenggamnya erat dan setengah menariknya. “Jika ingin
kabur, kita lari berdua! Takkan kubiarkan kau mati di sini, setelah
memberikanku harapan palsu. Bukankah kau berjanji akan membawaku pergi dari
Algorab? Aku tidak peduli kau membawaku ke Kitala atau bukan… tetapi takkan kumaafkan
jika kau mati di sini!”
“Kitala? Untuk apa ke tempat membosankan itu?” Tarf
menyeringai, menggendong badanku dengan tangannya yang terluka. Alder terpaku
akan apa yang terjadi akannya. Detik berikutnya, ia mendapati
prajurit-prajuritnya telah tiba sangat dekat di belakang kami, namun kaki Tarf
telah melaju cepat ke arah Kilat Hitam. Suara Tarf terdengar ke seluruh penjuru
ketika ia berteriak, “Aku akan membawamu… keliling samudera!”
Bersamaan dengan teriakannya itu, terdengar suara terompet
keras dari dalam kapal layar yang amat besar itu. Bayangannya tampak lebih
hitam lagi ketika kini matahari pagi mulai meninggi. Kapal itu bergerak ke arah
kami, dari atasnya awak-awaknya sigap menaikkan kaptennya. Aku terpana melihat
pemandangan dari atas kapal, terutama bagaimana Alder berteriak murka dari
kejauhan, “Pengecut, kembali ke sini! Bukankah kau melakukan semua ini untuk
duel denganku?!”
Tarf hanya tertawa melihat Alder yang kesal. Ia berkata, hanya
cukup keras untuk orang-orang di kapal mendengarnya, “Sampai jumpa, Alder.
Dendamku akan kuambil lain kali. Untuk kali ini… aku ambil hadiahku dulu.”
Ia merangkul tangannya pada pinggangku, mengabaikan segalanya
di bumi selain kebersamaan kami. Apakah ini akhir?
Aku percaya ini adalah awal dari hidupku yang sebenarnya. Apa
yang akan menungguku setelah ini… aku tidak tahu. Namun jika lelaki ini ada di
sampingku, maka tampaknya tidak ada yang tidak bisa kulewati.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar