THE
BAKUMPAI AND ISLAMIC CIVILIZATION OF KALIMANTAN (BORNEO)
As a part of Borneo
indigenous communities, the Bakumpai was also listed as a perpetrator who laid
the seeds of history on the island of Borneo. In history, The Bakumpai
arounding the range time, gave the impression that was interesting to be
learned, because of its role in the struggle history of Borneo heterogeneous
society, which has diverse cultures, and colorful traditions.
The Bakumpai dynamics in
the range of travel history, did not walked away without direction and purpose.
But they were based on the principle of kinship (harmony) and openness. They
always gave priority to active interaction on the surrounding of environment,
that’s one of factors why Bakumpai people have been held the reins of
civilization on the island of Borneo.
Talking about Bakumpai
society, certainly will not be separated from its role as a Muslim community
which have been living on the coast of Borneo Barito river to the northern part
of Central Kalimantan. It was got a centuries-old that Islamic community and
the Bakumpai built a civilization on the island of Borneo. Interestingly,
eventhough Bakumpai people were a society that did not have The Sultan, but
they were capable of holding the reins of civilization. This was whereby the
familial principle really applied escorting the dynamics of Bakumpai
historical journey to the peak of a dream. The principle of openness will be
seen when Bakumpai people interact with the surrounding of community,
such as Banjar society, particularly in South Kalimantan and society Siang,
especially on the north coast of river Barito in Central Kalimantan
Consciously or not, the
Islamic civilization of Bakumpai did not only finished “goods” in a single
process, or suddenly descended from the sky. But it was borned through a
gradual process, and patient evolution. In other words, they have been gone
hand in hand with the reality, and known as the community accommodating
to the values and upholding cultural.
But did not refer to “worship” culture.
In terms of the trust,
bakumpai society considered it as a part of social culture which must be
cultivated as a social identity and tribal identity. The level of faith, there
was no compromise with the word “culture” that was considered contrary to
Islamic teachings. If we take the term of Marshall S. Hodson in his book The Venture of Islam Vol II,
University of Chicago sociologist phenomenal, this situation is known as islamicate, namely a
combination of religious teachings and cultural values. Thus complexion, coloring people’s religious practices
become normative -Sufi.
Generally, Sufism is a
doctrine which seemed still most familiar with Bakumpai society. It seems be
very thick and fundamental change in society Bakumpai. Bakumpai people liked
the local culture is relatively nuanced mystique, made the teaching of Sufism
run very harmonious in the heart and soul of the Bakumpai community .
But, the cultural rituals
and religious practices in a specific activity seem difficult to distinguish.
Although Sufism (tasawuf) has became something familiar in the Bakumpai
community , it was not be consumpted by public and all elements
of Bakumpai society . It was only for certain people, which is capable,
and have sufficient capacity to accept this teaching.
In terms of historical,
Its story begins from someone that was known by the nickname “uluh bahadang balau eh” (a
redhead) and he had been settled in the coastal areas of Barito Kuala (ed:
Marabahan). “Uluh bahadang balau
eh” alleged lover of God is called “Khaidir”. Over time, the
occupied area had transformed into a region full of greenery, therefor it is
known as “Bakumpai” (grass). But in the other version, the story begins from
the wedding one of seven Dayak youths with a daughter Banjar kingdom. Their
breed had been became the nasab (breed)
Bakumpai people.
In terms of geography,
Bakumpai society was known as the original inhabitants of coastal communities
along the Barito River. Various historic of surau
and the mosque which was almost civilized, made the historical
value of the Barito river increasingly felt.
In the history of
Indonesia, the Bakumpai and the last Sultan of Banjar kingdom has been able
sinking the ships “Onrust” (the Dutch
possessions) in North coastal of Barito river (Muara Teweh). In fact ,
the vessel was known by the most advanced ship of its time, but with all the
limitations of existing armaments, and ceaseless struggle and the spirit of
love for homeland, Bakumpai community has been able beating the Netherlands.
That is a brief overview
of the Bakumpai role in building the Islamic civilization in Borneo. Actually
there were many other sides which Bakumpai had been donated in building
Borneo civilization.
BAKUMPAI DAN PERADABAN ISLAM KALIMANTAN
Sebagai bagian dari
masyarakat asli Kalimantan, masyarakat Bakumpai juga tercatat sebagai pelaku
yang meletakkan bibit-bibit sejarah di Pulau Kalimantan. Catatan masyarakat
Bakumpai dalam mengitari rentang waktu sejarah, memberikan kesan yang menarik
untuk dikaji, karena sepak terjangnya dalam pergumulan sejarah masyarakat
Kalimantan yang heterogen, dan memiliki ragam budaya, dan tradisi yang kian
berwarna.
Dinamika perjalanan
masyarakat Bakumpai dalam kisaran sejarah, bukanlah berjalan begitu saja tanpa
arah dan tujuan. Tetapi dinamika ini didasarkan pada prinsip kekeluargaan
(kerukunan) dan keterbukaan. Masyarakat Bakumpai selalu mengedepankan interaksi
aktif terhadap lingkungan sekitar, itulah salah satu faktor mengapa masyarakat
Bakumpai pernah memegang tampuk peradaban di Pulau Kalimantan.
Berbicara tentang
masyarakat Bakumpai, maka tentu tidak akan terlepas dari perannya sebagai
masyarakat muslim Kalimantan yang hidup di pesisir sungai Barito hingga bagian
utara Kalimantan Tengah. Sudah berabad-abad lamanya masyarakat Bakumpai
berjalan bersama Islam untuk membangun sebuah peradaban di Pulau Kalimantan.
Menariknya, masyarakat Bakumpai merupakan masyarakat tiada bersultan yang mampu
memegang tampuk peradaban. Di sinilah prinsip kekeluargaan benar-benar
diterapkan untuk mengawal dinamika perjalanan sejarah Bakumpai menuju puncak
yang diimpikan. Prinsip keterbukaan terlihat ketika masyarakat Bakumpai
berinteraksi dengan masyarakat sekitar, seperti masyarakat Banjar khususnya di
Kalimantan Selatan dan masyarakat Siang khususnya di pesisir utara sungai
Barito Kalimantan Tengah.
Sadar atau tidak,
peradaban Islam Bakumpai bukanlah barang jadi yang hanya selesai dalam satu
kali proses atau pun langsung turun dari langit secara mendadak. Akan
tetapi peradaban Islam Bakumpai lahir melalui proses bertahap, dan
evolutif. Dengan kata lain, peradaban Islam Bakumpai berjalan seiring dengan
realitas yang mengitarinya. Masyarakat Bakumpai dikenal masyarakat yang
akomodatif terhadap nilai-nilai yang menjunjung tinggi kebudayaan. Namun bukan
berarti “mengagungkan” kebudayaan.
Dari segi
kepercayaan, masyarakat bakumpai memandang kebudayaan hanyalah bagian dari
sosial kemasyarakatan yang harus dibudidayakan sebagai jati diri dan identitas
kesukuan. Dalam tataran akidah, masyarakat islam Bakumpai tidak mengenal kata
kompromi dengan “budaya” yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam. Kalau
mengambil istilah Marshall S. Hodson dalam bukunya The Venture of Islam jilid
II, sosiolog fenomenal dari Chicago University, keadaan ini dikenal dengan
istilah islamicate, yaitu perpaduan ajaran agama dan nilai
budaya. Corak demikian, mewarnai praktek keagamaan masyarakat Bakumpai menjadi
normatif-sufistik.
Secara garis besar,
Tasawuf merupakan ajaran yang nampaknya sampai saat ini masih paling akrab dengan
mayarakat Bakumpai. Ajaran ini nampaknya sangat kental dan fundamental dalam
masyarakat Bakumpai. Kegemaran masyarakat Bakumpai dengan budaya lokal yang
relatif bernuansa mistik, membuat ajaran Tasawuf ini semakin sangat serasi di
hati dan jiwa masyarakat Bakumpai. Sehingga ritual-ritual kebudayaan dan
praktek-praktek kegamaan pada kegitan tertentu agaknya sulit untuk
dibedakan. Sekalipun ajaran tasawuf ini sudah menjadi sesuatu yang tak
asing lagi di masyarakat Bakumpai, peradaban Tasawuf ini bukanlah menjadi bahan
konsumsi umum atau semua elemen masyarakat Bakumpai. Ajaran Tasawuf ini hanya
bagi orang-orang tertentu saja, yang sudah capable, dan memiliki
kapasitas yang sudah memadai untuk menerima ajaran ini.
Dari segi historis,
kisah masyarakat Bakumpai berawal dari hidupnya seseorang yang dikenal dengan
julukan “ uluh bahadang balau” (orang berambut merah) dan menetap di
daerah pesisir Barito Kuala (red : Marabahan). Uluh bahadang balau ini
diduga kekasih Allah yang bernama “Khaidir”. Seiring dengan perjalanan
waktu, daerah yang ditempati ini menjelma menjadi daerah yang penuh dengan
penghijauan, karena saking hijaunya, maka daerah ini dikenal dengan “Bakumpai”
(rumput). Namun di versi lain, cerita masyarakat Bakumpai berawal dari
menikahnya salah seorang tujuh pemuda Dayak dengan putri kerajaan Banjar.
Keturunannya inilah yang menjadi nasab orang-orang Bakumpai.
Dari segi geografis,
masyarakat Bakumpai dikenal sebagai penghuni asli masyarakat pesisir sepanjang
Sungai Barito. Berbagai surau dan masjid bersejarah yang berusia hampir beradab
lamanya, menjadikan nilai historis sungai Barito semakin terasa. Dalam catatan
sejarah bangsa Indonesia, masyarakat Bakumpai bekerja sama dengan Sultan
terakhir kerajaan Banjar telah mampu menenggelamkan kapal Onrust
milik Belanda di pesisir sungai Barito Utara (Muara Teweh). Padahal waktu
itu, kapal tersebut terkenal dengan kapal tercanggih pada masanya, dengan
segala keterbatasan peralatan perang yang ada, dan berkat perjuangan yang tiada
henti serta semangat cinta kepada Tanah air, masyarakat Bakumpai telah mampu
membuat Belanda kocar-kacir dan menenggelamkan kapal kebanggaan mereka.
Itulah sekilas peran
masyarakat Bakumpai dalam membangun peradaban Islam di Kalimantan. Sebenarnya
masih banyak lagi sisi lain yang disumbangkan oleh masyarakat Bakumpai
dalam membangun Kalimantan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar