Rabu, 02 Mei 2012

THE BAKUMPAI AND ISLAMIC CIVILIZATION OF KALIMANTAN (BORNEO)


     THE BAKUMPAI AND ISLAMIC CIVILIZATION OF KALIMANTAN (BORNEO)

As a part of Borneo indigenous communities, the Bakumpai was also listed as a perpetrator who laid the seeds of history on the island of Borneo. In history, The Bakumpai arounding the range time, gave the impression that was interesting to be learned, because of its role in the struggle history of Borneo heterogeneous society, which has diverse cultures, and colorful traditions.
The Bakumpai dynamics in the range of travel history, did not walked away without direction and purpose. But they were based on the principle of kinship (harmony) and openness. They always gave priority to active interaction on the surrounding of environment, that’s one of factors why Bakumpai people have been held the reins of civilization on the island of Borneo.
Talking about Bakumpai society, certainly will not be separated from its role as a Muslim community which have been living on the coast of Borneo Barito river to the northern part of Central Kalimantan. It was got a centuries-old that Islamic community and the Bakumpai built a civilization on the island of Borneo. Interestingly, eventhough Bakumpai people were a society that did not have The Sultan, but they were capable of holding the reins of civilization. This was whereby the familial principle really applied  escorting the dynamics of Bakumpai historical journey to the peak of a dream. The principle of openness will be seen when Bakumpai people  interact with the surrounding of community, such as Banjar society, particularly in South Kalimantan and society Siang, especially on the north coast of river Barito in Central Kalimantan
Consciously or not, the Islamic civilization of Bakumpai did not only finished “goods” in a single process, or suddenly descended from the sky. But it was borned through a gradual process, and patient evolution. In other words, they have been gone hand in hand with the reality, and  known as the community accommodating to the values ​​and upholding cultural. But did not refer to “worship” culture.
In terms of the trust, bakumpai society considered it as a part of social culture which must be cultivated as a social identity and tribal identity. The level of faith, there was no compromise with the word “culture” that was considered contrary to Islamic teachings. If we take the term of Marshall S. Hodson in his book The Venture of Islam Vol II, University of Chicago sociologist phenomenal, this situation is known as islamicate, namely a combination of religious teachings and cultural values​​. Thus complexion, coloring people’s religious practices become normative -Sufi.
Generally, Sufism is a doctrine which seemed still most familiar with Bakumpai society. It seems be very thick and fundamental change in society Bakumpai. Bakumpai people liked the local culture is relatively nuanced mystique, made the teaching of Sufism run very harmonious in the heart and soul of the Bakumpai community .
But, the cultural rituals and religious practices in a specific activity seem difficult to distinguish. Although Sufism (tasawuf) has became something familiar in the Bakumpai community , it was not be consumpted by public and  all elements of Bakumpai society . It was only for certain people, which is capable, and have sufficient capacity to accept this teaching.
In terms of historical, Its story begins from someone that was known by the nickname “uluh bahadang balau eh” (a redhead) and he had been settled in the coastal areas of Barito Kuala (ed: Marabahan). “Uluh bahadang balau eh” alleged lover of God is called “Khaidir”. Over time, the occupied area had transformed into a region full of greenery, therefor it is known as “Bakumpai” (grass). But in the other version, the story begins from the wedding one of seven Dayak youths with a daughter Banjar kingdom. Their breed had been became the nasab (breed) Bakumpai people.
In terms of geography, Bakumpai society was known as the original inhabitants of coastal communities along the Barito River. Various historic of surau and the mosque which was almost civilized, made the historical value of the Barito  river increasingly felt.
In the history of Indonesia, the Bakumpai and the last Sultan of Banjar kingdom has been able sinking the ships “Onrust”  (the Dutch possessions)  in North coastal of Barito river (Muara Teweh). In fact , the vessel was known by the most advanced ship of its time, but with all the limitations of existing armaments, and ceaseless struggle and the spirit of love for homeland, Bakumpai community has been able beating the Netherlands.
That is a brief overview of the Bakumpai role in building the Islamic civilization in Borneo. Actually there were many other sides which Bakumpai had been donated in building  Borneo civilization.

BAKUMPAI DAN PERADABAN ISLAM KALIMANTAN

Sebagai bagian dari masyarakat asli Kalimantan, masyarakat Bakumpai juga tercatat sebagai pelaku yang meletakkan bibit-bibit sejarah di Pulau Kalimantan. Catatan masyarakat Bakumpai dalam mengitari rentang waktu sejarah, memberikan kesan yang menarik untuk dikaji, karena sepak terjangnya dalam pergumulan sejarah  masyarakat Kalimantan yang heterogen, dan memiliki ragam budaya, dan tradisi yang kian berwarna.
Dinamika perjalanan masyarakat Bakumpai dalam kisaran sejarah, bukanlah berjalan begitu saja tanpa arah dan tujuan. Tetapi dinamika ini didasarkan pada prinsip kekeluargaan (kerukunan) dan keterbukaan. Masyarakat Bakumpai selalu mengedepankan interaksi aktif terhadap lingkungan sekitar, itulah salah satu faktor mengapa masyarakat Bakumpai pernah memegang tampuk peradaban di Pulau Kalimantan.
Berbicara tentang masyarakat Bakumpai, maka tentu tidak akan terlepas dari perannya sebagai masyarakat muslim Kalimantan yang hidup di pesisir sungai Barito hingga bagian utara Kalimantan Tengah. Sudah berabad-abad  lamanya masyarakat Bakumpai berjalan bersama Islam untuk membangun sebuah peradaban di Pulau Kalimantan. Menariknya, masyarakat Bakumpai merupakan masyarakat tiada bersultan yang mampu memegang tampuk peradaban. Di sinilah prinsip kekeluargaan benar-benar diterapkan untuk mengawal dinamika perjalanan sejarah Bakumpai menuju puncak yang diimpikan. Prinsip keterbukaan terlihat ketika masyarakat Bakumpai berinteraksi dengan masyarakat sekitar, seperti masyarakat Banjar khususnya di Kalimantan Selatan dan masyarakat Siang khususnya di pesisir utara sungai Barito Kalimantan Tengah.
Sadar atau tidak, peradaban Islam Bakumpai bukanlah barang jadi yang hanya selesai dalam satu kali proses atau pun langsung turun dari langit secara mendadak. Akan tetapi  peradaban Islam Bakumpai lahir melalui proses bertahap, dan evolutif. Dengan kata lain, peradaban Islam Bakumpai berjalan seiring dengan realitas yang mengitarinya. Masyarakat Bakumpai dikenal masyarakat yang akomodatif terhadap nilai-nilai yang menjunjung tinggi kebudayaan.  Namun  bukan berarti “mengagungkan” kebudayaan.
Dari segi kepercayaan, masyarakat bakumpai memandang kebudayaan hanyalah bagian dari sosial kemasyarakatan yang harus dibudidayakan sebagai jati diri dan identitas kesukuan. Dalam tataran akidah, masyarakat islam Bakumpai tidak mengenal kata kompromi dengan “budaya” yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam. Kalau mengambil istilah Marshall S. Hodson dalam bukunya The Venture of Islam jilid II, sosiolog fenomenal dari Chicago University,  keadaan ini dikenal dengan istilah  islamicate, yaitu perpaduan ajaran agama dan nilai budaya. Corak demikian, mewarnai praktek keagamaan masyarakat Bakumpai menjadi normatif-sufistik.
Secara garis besar, Tasawuf merupakan ajaran yang nampaknya sampai saat ini masih paling akrab dengan mayarakat Bakumpai. Ajaran ini nampaknya sangat kental dan fundamental dalam masyarakat Bakumpai. Kegemaran masyarakat Bakumpai dengan budaya lokal yang relatif bernuansa mistik, membuat ajaran Tasawuf ini semakin sangat serasi di hati dan jiwa masyarakat Bakumpai. Sehingga ritual-ritual kebudayaan dan praktek-praktek kegamaan pada kegitan tertentu agaknya sulit untuk dibedakan.  Sekalipun ajaran tasawuf ini sudah menjadi sesuatu yang tak asing lagi di masyarakat Bakumpai, peradaban Tasawuf ini bukanlah menjadi bahan konsumsi umum atau semua elemen masyarakat Bakumpai. Ajaran Tasawuf ini hanya bagi orang-orang tertentu saja, yang sudah capable, dan memiliki kapasitas yang sudah memadai untuk menerima ajaran ini.
Dari segi historis, kisah masyarakat Bakumpai berawal dari hidupnya seseorang yang dikenal dengan julukan “ uluh bahadang balau” (orang berambut merah) dan menetap di daerah pesisir Barito Kuala (red : Marabahan). Uluh bahadang balau ini diduga kekasih Allah yang bernama  “Khaidir”. Seiring dengan perjalanan waktu, daerah yang ditempati ini menjelma menjadi daerah yang penuh dengan penghijauan, karena saking hijaunya, maka daerah ini dikenal dengan “Bakumpai” (rumput). Namun di versi lain, cerita masyarakat Bakumpai berawal dari menikahnya salah seorang tujuh pemuda Dayak dengan putri kerajaan Banjar. Keturunannya inilah yang menjadi nasab orang-orang Bakumpai.
Dari segi geografis, masyarakat Bakumpai dikenal sebagai penghuni asli masyarakat pesisir sepanjang Sungai Barito. Berbagai surau dan masjid bersejarah yang berusia hampir beradab lamanya, menjadikan nilai historis sungai Barito semakin terasa. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, masyarakat Bakumpai bekerja sama dengan Sultan terakhir kerajaan Banjar telah mampu menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di pesisir sungai Barito Utara (Muara Teweh). Padahal waktu itu, kapal tersebut terkenal dengan kapal tercanggih pada masanya, dengan segala keterbatasan peralatan perang yang ada, dan berkat perjuangan yang tiada henti serta semangat cinta kepada Tanah air, masyarakat Bakumpai telah mampu  membuat Belanda kocar-kacir dan menenggelamkan kapal kebanggaan mereka.
Itulah sekilas peran masyarakat Bakumpai dalam membangun peradaban Islam di Kalimantan. Sebenarnya masih banyak lagi  sisi lain yang disumbangkan oleh masyarakat Bakumpai dalam membangun Kalimantan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar