Rabu, 30 Mei 2012

Cerpen


             Ranting Sakura Mekar di Taman Sastra

Novel-novel populer yang semakin banyak bertebaran di rak-rak buku kini semakin ramai dihiasi dengan karya-karya baru dari ‘rahim’ para PRT (Pekerja Rumah Tangga).

Pekerja Rumah Tangga yang bekerja di sektor informal kian menyadari pentingnya buku dalam kehidupan mereka. Peristiwa bersejarah dalam hidup mereka yang selama ini hanya diungkapkan dalam buku harian, kertas kalender bekas, dan tisu kini mulai didokumentasikan dalam bentuk sebuah naskah yang akan ditawarkan ke penerbit untuk dipublikasikan.

Keberanian ini patut diacungkan jempol karena tidak sedikit orang yang memandang sebelah mata kini justeru menggeleng-gelengkan kepala berulang kali karena takjub melihat semangat juang para pekerja rumah tangga (PRT) ini.

Buku novel yang berjudul Ranting Sakura ini seakan ingin menceritakan kepada kita seputar fenomena yang dihadapi oleh seorang tenaga kerja Indonesia (dalam hal ini perempuan) yang bekerja di luar negeri.

Amei, tokoh utama dalam novel ini diceritakan oleh Maria Bo Niok sebagai seorang perempuan Indonesia yang terlahir dari seorang ayah, asli suku Jawa, dan seorang ibu, warga negara Indonesia keturunan China. Amei merantau ke negara Taiwan dan Hongkong untuk bekerja di sektor informal. Pada saat berada di Taiwan, Amei menjumpai beberapa hal menarik yang ada kesamaan dengan yang dijumpainya di Indonesia. Nasi rames yang sering dijual di pulau Jawa ternyata dijumpai juga oleh Amei di negara Taiwan, namun nasi rames di Taiwan dikenal dengan sebutan nasi bentang. Selain nasi rames, Amei juga menjumpai resep masakan baru yang menyerupai resep masakan Indonesia. Orang Taiwan mengenal masakan itu dengan sebutan Phouyi Thang. Phouyi thang adalah ikan (jenis yang biasa dimasak yaitu ikan emas, ikan kakap, ikan gabus) yang digoreng setengah matang dan dimasukan ke dalam sup setengah mendidih yang dicampur dengan matcho (kurma yang dikeringkan). Sup ini sedap dimakan dan menimbulkan aroma yang membangkitkan rasa lapar. Ketela bakar ternyata juga menjadi makanan favorit di negara Taiwan. Ketela tidak dibakar di perapian tetapi hanya dibenamkan di dalam pasir panas yang ditaruh di dalam wajan besar. Demikian juga ketika berada di negara Hongkong, Amei mengenal budaya baru yang tidak dijumpainya selama di Indonesia. Hongkong memberi rasa percaya diri dan membuat Amei dapat mengasah keterampilan dan pengetahuannya.

Selain wisata kuliner, objek wisata yang ada di negara Taiwan, Hongkong dan Thailand juga dideskripsikan oleh Maria Bo Niok dengan bahasa yang lugas dan transparan sehingga saat membaca novel ”Ranting Sakura” kita akan dibawa terbang menjelajahi negara-negara yang ditawarkannya. Novel ”Ranting Sakura” juga memotret situasi sosial negara Indonesia yang sering menjadi sorotan para turis mancanegara yang berkunjung ke Indonesia. Potret sosial tentang Negara Indonesia sering kali diberitakan tidak seimbang di luar negeri.

Dalam novel ini, Maria Bo Niok dengan bahasa yang sederhana juga mengungkap fenomena kaum urban kota, permasalahan kawin antar negara, kasus yang sering dialami oleh pekerja rumah tangga yang kerja di luar negeri dan perjuangan seorang penulis untuk menyampaikan kegelisahan hatinya ke masyarakat umum.

Kisah cinta yang indah tiba-tiba berubah menjadi kisah pengkhianatan dan perebutan anak hanya karena berawal dari susahnya mewujudkan mahligai rumah tangga bagi sepasang manusia yang berasal dari suku, negara dan budaya yang berbeda.

Menurut Ahmad Tohari (penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk), pengalaman-pengalaman yang didapat oleh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi pengalaman yang sangat menarik dan menjadi sesuatu yang baru bagi Pembaca.

Ranting Sakura ini adalah novel pertama yang dihasilkan oleh pekerja rumah tangga yang pernah bekerja di negara Hongkong dan Taiwan. Maria Bo Niok yang bernama asli Siti Mariam Ghozali menyusun buku ini sebagai wujud kecintaannya terhadap dunia sastra dan keinginannya untuk memberikan penyadaran kepada kaumnya yang saat ini sering menjadi komoditas industri di luar negeri. Ia tidak ingin berdemonstrasi. Ia hanya ingin menebar benih-benih kemanusiaan melalui taman sastra.

Buku ini hadir untuk mematahkan tanggapan orang bahwa PRT adalah kaum marginal yang berpendidikan rendah. Maria Bo Niok justeru berpandangan lain. Baginya, pendidikan tertinggi dari para pekerja rumah tangga adalah pengalaman hidup dan pengalaman hidup ini mampu mengangkat harkat para pekerja rumah tangga. Pengajaran tidak didapatkan mereka dari bangku sekolahan tapi pengajaran diperoleh mereka dari berguru dengan lingkungan sekitar, alam semesta dan praktisi yang mungkin adalah majikan, sahabat atau guru mereka. (stevi sundah)







 
Perempuan di Negeri Beton

Pagi masih gelap. Angin dingin dari sisa malam menghembuskannya pada sebuah rintik pagi. Tak biasanya. Musim dingin selalu berkawan kering. Tapi bau tanah basah begitu menyengat. Kubuka seinci kelopak mataku, melirik ke samping pada benda yang selalu menjadi penjaga tidurku. Jam beker. Kembali kutarik selimut tebalku, usai mematikan alarm yang berdering kencang membuyarkan semua mimpi.

Para malaikat bergegas turun meneriakkan panggilan suci, tapi para setan juga tak kalah lincah meninabobokkan orang-orang yang beriman lemah. Ketika ada suamiku di sebelah, ia biasanya akan mengecup keningku, menirukan suara adzan dan membisikkannya di telingaku. Sesegera mungkin aku keluar dari selimut tipis, karena berada di sebelahnya sudah memberiku kehangatan lebih dari cukup. Suamiku akan menyusulku berwudhu dan bersamanya kutunaikan shalat Subuh berjamaah.
……………………. (bagian awal dari Bingkai Pagi)

Jam, suara adzan dan selimut adalah tiga hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari seorang pekerja rumah tangga (PRT), terutama pekerja rumah tangga yang merantau ke negeri jauh yang terasing dari kehidupan keluarga. Ibarat tiga saudara kembar, ke tiga hal ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Jika salah satu hal itu hilang atau terabaikan maka kehidupan mereka akan mengalami kejenuhan dan hilang kemudi.

Kisah yang terurai dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul Perempuan di negeri beton ini seakan ingin memberitahu kita tentang kehidupan dan gejolak emosi yang dihadapi oleh para buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di luar negeri.

Buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri harus mampu menyimpan dan mempertahankan jam, suara adzan dan selimut selama mereka bekerja. Mereka, para BMI, ini tidak boleh membiarkan budaya, majikan dan orang lain mengambil bekal mereka tersebut.

Bagaimana jadinya jika seorang buruh migran kehilangan salah satu dari ke tiga hal tersebut ? Itulah yang coba disampaikan oleh Penulis kepada Pembaca. Dengan bahasanya yang sederhana dan mengalir lancar, Penulis tidak ingin sungkan-sungkan memberitahukan kepada Pembaca bahwa banyak hal dapat terjadi pada diri seorang buruh migran dan Penulis tidak ingin memberatkan Pembaca dengan bahasa-bahasa simbolik dan nyastra yang memusingkan kepala. Penulis hanya ingin bercerita seputar kehidupan dirinya, diri kawannya dan diri orang-orang yang berada di dekatnya. Semua proses pengamatan inderawi yang dialami Penulis selama menjalankan proses sebagai seorang buruh migran Indonesia berusaha disampaikan Penulis kepada Pembaca yang ingin mengetahuinya.

Penulis yakin bahwa banyak orang yang ingin mengetahui dunia teman-teman seprofesinya dan Penulis juga ingin mengatakan bahwa sebenarnya berita-berita dan kejadian yang menimpa beberapa teman seprofesinya tidaklah seperti apa yang mereka lihat dan baca. Semua kejadian itu adalah akumulasi dari proses kejadian yang dialami oleh para pekerja rumah tangga yang menjadi buruh migran di luar Indonesia, khususnya Hongkong dalam hal ini.

Victoria Park itulah tempat dari semua tempat yang dapat memberi kisah dan kesaksian kepada Pembaca tentang dunia buruh migran yang bekerja di negara Hongkong. Jika Victoria Park itu adalah seorang Penulis yang cantik tentu dia sudah dapat bertutur kepada kita tentang perjalanan hidup dari hampir 100.000 perempuan Indonesia yang berprofesi sebagai buruh migran atau bahasa kerennya domestic worker. Victoria Park menjadi saksi mati dari kehidupan orang-orang Indonesia yang terlempar ke negeri asing demi sesuap nasi dan berkelit dengan kehidupan yang semakin liar menggerogoti dunia mereka.

......... Lantai di Victoria Park hampir semuanya bersemen, kecuali lapangan rumput yang dibiarkan menghijau alami. Tidak seperti tiga tahun lalu, sebelum direnovasi, banyak rerumputan menghampar. Pekerja Migran Indonesia yang sebagian besar menjadikan Victoria Park sebagai “kampus” tak seleluasa dulu. Mereka tak lagi bergerombol di bawah pohon-pohon yang lebat dan rindang. Para penjual ilegal yang berdagang nasi atau majalah dan kartu telepon juga makanan kecil itu selalu terancam oleh petugas. Bahkan banyak dari mereka yang tertangkap basah. ...............

Petikan dari cerita pendek yang berjudul Perempuan dalam beton memberitahu Pembaca bahwa inilah taman eden bagi buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong. Kini, lambat laun, taman eden itu berganti menjadi tempat perdagangan ilegal bagi perempuan Indonesia. Wajah taman itu berubah dan berganti-ganti seturut penghuni yang menginjakkan kaki dan menduduki hamparan permadaninya. Taman itu kadang menghijau, membiru, menguning bahkan mungkin layu sebelum berkembang.

Wina Karnie, sebagai Penulis yang juga buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong merasa prihatin melihat hal ini. Dengan bekal jam (disiplin diri), suara adzan (panggilan untuk menghadap Tuhan) dan selimut (kehangatan keluarga dan orang-orang yang dekat di hatinya) yang masih dapat dipertahankannya hingga sekarang, Wina Karnie berusaha menjadikan kisah ini sebagai referensi bagi kaum perempuan seprofesinya atau perempuan lain di negara Indonesia yang ingin mencoba bertaruh dengan keras lembutnya kehidupan Hongkong, negara seribu satu cinta. Cinta mudah didapatkan di Hongkong dan cinta juga mudah dilepaskan di negara ini. Cinta dapat menjadi benci yang sewaktu-waktu mengoyak dan mencuri bekal yang dibawa sejak dari Indonesia. Kehilangan cinta, keterasingan diri, keterpurukan hidup dan kejenuhan iman membuat kita menjadi tidak mengenali diri sendiri.

Wina Karnie bukanlah perempuan biasa tapi perempuan dalam beton. Himpitan-himpitan dan kesukaran hidup yang dialaminya selama di negara Hongkong tidak membuatnya jerah dan menyerah. Ia tetap mempertahankan bekal hidup yang dibawanya sejak dari Indonesia. Budaya, majikan dan orang lain tidak mampu menundukkannya. Ia lemah tapi ia merupakan perpaduan dari air dan semen, sehingga godaan dan ujian dunia tidak mampu menghancurkan beton yang diciptakannya selain dia sendiri yang menghancurkan betonnya dan beton-beton lain yang ingin merampok bekal hidupnya.

“ Saya pernah terlibat dalam workshop penulisan di Hong Kong sebagai moderator bersama Asma Nadia di Islamic Union Wan Chai pada Juni 2005, workshop penulisan cerpen dan esai bersama Kuswinarto dan Bonari Nabonenar di Hong Kong City University pada Juli 2005. Saya juga sempat mendampingi Helvy Tiana Rosa dalam Workshop Kiat Penulisan Fiksi di Hong Kong City University pada September 2005. Nama Wina Karnie (baca : saya) juga ada di antara antologi kisah (non fiksi) bersama Asma Nadia dan kawan-kawan dengan judul Galz Please Don't Cry, keluaran Lingkar Pena Publishing yang terbit Februari 2006, “ ujarnya dalam buku perempuan dalam beton ini.

Kumpulan cerita pendek ini layak dibaca oleh siapa saja, baik itu kaum akademis, wanita karier, sastrawan, kritikus, budayawan yang mungkin pernah menjadi majikan maupun babu, pekerja rumah tangga, pelayan, calon TKW (tenaga kerja wanita) yang mungkin berprofesi sebagai dosen, penulis, pedagang dan atau aktifis perempuan. Dua belas cerita pendek yang ditulis oleh Wina Karnie sangatlah menarik untuk menambah referensi bagi Pembaca karena angka-angka statistik dan berita-berita seputar pemerkosaan, pelecehan dan penindasan kaum perempuan, khususnya pekerja rumah tangga yang sering kita jumpai di surat kabar, televisi dan radio menjadi hidup dalam cerita pendek ini. Wina mencoba memberi kesaksian dari kisah yang pernah dihadapinya sendiri maupun kisah yang dihadapi oleh teman-teman seprofesinya sehingga Pembaca merasa tidak asing dengan dunia para babu dan perempuan Indonesia yang rela menjadi babu demi menafkahi keluarga juga tidak asing tatkala kembali ke negeri tercinta yang selalu mereka rindukan selama dalam pengasingan dan perantauannya.

Cerita pendek yang berjumlah 158 halaman dan diterbitkan oleh Hanif Press ini bertutur dengan menggunakan bahasa Jawa, Inggris, Kantonese yang diselakan antara bahasa Indonesia yang baku. Walaupun di sisi lain ditentang oleh kaum akademis dan beberapa sastrawan terkemuka tapi hal ini justeru memudahkan Pembaca untuk menghayati bahasa sederhana yang disampaikan oleh salah seorang babu yang menjadi Penulis. Babu jadi penulis ? Tanyak
an apa!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar