Rabu, 02 Mei 2012

Cerpen


Lophelia

Pertama kali aku melihat Lophelia, ia sudah hampir meninggalkanku selamanya.
Kepalanya terkulai ke samping, helaian-helaian rambut pirang kusam lekat ke keningnya. Napasnya hampir tidak ada, begitu pula dengan jiwanya. Siapa dia, hingga aku harus peduli? Namun tubuhnya terbaring di sana, menghalangi satu-satunya jalan setapak ke arah desa yang kutuju.
Ia tidak membuka kelopak matanya, namun bibirnya yang pecah-pecah dan kering mulai menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Telingaku tidak bisa menangkap bisikan sunyi yang ia utarakan.
Setelah kekalahan dalam perang dengan kerajaan seberang, disusul kudeta dari dalam, kesulitan tambahan apa lagi yang aku perlukan? Aku tidak punya lagi istana untuk aku tinggali, takhta untuk aku duduki, mahkota yang menghiasi kepalaku. Yang tersisa, hanya gunung dan hutan untuk menyembunyikan diri, jenderal-jenderal pengkhianat yang menginginkanku mati, dan badan lemah bersimbah darah menemani.
Tapi aku tetap meraih kantung air minumku, menuangkannya ke dalam bibirnya. Kemudian ia berbisik, suaranya adalah suara termerdu yang pernah kudengar, memiliki notasi-notasi indah yang tidak cocok dengan rintihannya.
“Biarkan aku mati,” pintanya.
Jika aku mengikuti permintaannya saat itu, maka aku tidak akan mengenal Lophelia. Aku tidak akan tahu ternyata rambutnya panjang hingga pinggulnya, bulu-bulu matanya berwarna lumut, bersaing dengan biru matanya. Bahkan setelah keadaannya membaik dan ia telah tampak kuat dan sehat, bibirnya tetap berwarna senada dengan kulit pucatnya. Hal itu tidak mengurangi kecantikannya.
Malam itu Lophelia meringkuk di ujung, menolak untuk memanjat pembaringan yang disediakan para nelayan. Ia memeluk dirinya sendiri, jemarinya yang kurus melingkari lututnya. Matanya menatap ke arahku dan tidak berpaling. Itu pertama kali kudapat tatapan semacam itu. Sebelumnya orang-orang berbicara padaku dengan menunduk, kepala mereka menghadap karpet merah yang digelar ke setiap ujung kastilku.
Tatapan itu tidak menyuarakan benci, hanya murni kebingungan. Bingung mengapa aku membiarkannya hidup walaupun ia telah meminta untuk mati. Bingung akan identitasku. Mungkin tatapan yang kulontarkan balik padanya pun tidak berbeda.
“...Apa...,” ia mulai bertanya. “Apa... apa kau percaya pada kesempatan kedua?”
Aku terdiam, kami saling menatap. Dalam diam, itu adalah pertanyaan sama yang kulontarkan pada diriku sendiri.
Matahari terbit dan terbenam, waktu berlalu tanpa kami sadari. Entah keberuntungan apa yang membolehkan kami untuk tinggal di desa nelayan itu. Kami beruntung karena desa itu terpencil, di balik hutan, menghadap lautan yang masih liar dan belum terjamah — tidak seperti desa-desa yang kuubah menjadi pusat-pusat perdagangan dan pelabuhan-pelabuhan besar.  Beruntung karena selama kami hidup di sana, tidak ada prajurit pengkhianat yang ingin menangkapku untuk dipenggal.
Sebelum kekalahan perang dan kudeta, aku, Raja Dancherov yang Hidup Selamanya dan Berkuasa di Seluruh Daratan Lautan, adalah pria yang mengutus ksatria-ksatria untuk menaklukan daratan di seberang lautan, membunuh musuh dengan sekali tebasan. Aku mengirim orang ke seluruh sudut dunia untuk mencari ramuan awet muda dan hidup sepanjang masa, menghabiskan banyak waktu dan ambisi pada hal itu. Aku begitu terdistraksi hingga tidak menyadari kerajaan tetangga telah menjadi terlalu kuat untuk ditumbangkan, dan jenderal-jenderalku telah berbalik melawan diriku.
Di tengah hari-hari yang hanya dipenuhi dengan deburan ombak, mengeringkan ikan-ikan tangkapan nelayan di bawah matahari, dan aroma asin dari laut biru yang terbentang di hadapanku, apakah aku orang yang sama dengan Dancherov yang kutahu dulu?
Walau begitu, jika aku memang telah terlahir menjadi pria yang berbeda, aku tidak bisa berkata bahwa aku membenci diriku yang baru. Kini aku adalah Enrov... yang memiliki Lophelia yang selalu memandangku, pandangannya berubah seiring hari berjalan. Awalnya mata itu menyuarakan keinginan untuk menyendiri, hingga kini ketika mata itu jelas-jelas menginginkanku di sampingnya.
Kadang kala kulihat juga senyumnya. Ketika para istri nelayan melumuri ikan dengan garam dan menjemurnya, Lophelia akan berjalan ke pesisir pinggiran, di mana anak-anak desa mengumpulkan kerang warna-warni untuk dijadikan pemanis di rambut atau gelang. Ia akan bermain di sana dengan mereka hingga sore menjelang. Aku selalu menyempatkan diri untuk mengintip ke sana sebelum aku pergi melaut.
Aku bekerja keras untuk kami berdua. Secara berkala aku melaut dengan nelayan tua bernama Osran. Desa ini benar-benar membutuhkan bantuan tangan seorang pria muda.
Subuh ketika aku pulang, ia selalu menanti dengan kepulan uap nasi di hadapannya walau tak pernah ada perjanjian semacam itu di antara kita. Matanya menatapku, di antara kita ada pengertian yang tidak terucapkan.
“Terima kasih, Enrov,” dia berkata setiap hari. “Ayo makan selagi panas.”
Kami tinggal begitu lama bersama, namun tidak banyak yang terucapkan di antara kami. Kebanyakan hal tersampaikan dengan gestur tubuh dan sentuhan lembut. Seperti ketika hari-hari berubah menjadi menyulitkan, aku dan Osran selalu pulang dengan jala yang kosong. Nelayan-nelayan lain juga merasakan hal yang sama, dan tiba-tiba saja anak-anak desa tinggal di rumah, istri nelayan mengerjakan tugas mereka tanpa celoteh ceria. Hari itu aku kembali dan duduk di meja makan tanpa membalas sambutan Lophelia, kemudian membenamkan wajahku di dalam tangan.
Kedua tangan Lophelia menyeberangi meja kecil di antara kami, menggenggam kedua tanganku. Ia mengangkatnya dan  mengecup jemariku, menenangkanku.
Aku yang saat itu begitu kesal akan ketidakmampuanku melakukan apapun hanya menarik tanganku kembali. Aku pergi berbaring, berusaha untuk tidur. Ketika memejamkan mata aku mendengarnya membereskan meja. Bahkan malam itu ketika lengannya yang kurus memelukku dari belakang, aku tidak bisa terlelap.
Tengah malam kedua lengan itu melepaskan tubuhku, hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Aku melawan keinginan untuk membuka mata, tapi tetap tidak bergerak. Kemudian aku mendengar isakan pertamanya, lembut namun jelas, seakan bergema pelan ke seluruh penjuru pondok kecil kami.
Malam itu aku tidak bangkit dari tidurku dan memeluknya, seperti yang seharusnya aku lakukan. Entah mengapa aku menolak untuk mengakui bahwa perasaanku untuk Lophelia telah menjadi sangat besar. Ego Dancherov adalah ego raja yang tidak butuh orang lain. Sebagian dari diriku masih menginginkan potongan diri Dancherov, hanya untuk membuat diriku merasa waras.
Lophelia yang kutemui keesokan harinya tersenyum, menyambutku agar aku segera bangun. Segera setelah aku terduduk di kursi, ia menyodorkan sebuah kotak kayu ke arahku.
“Osran akan ke kota,” katanya memulai, membuatku menggenggam kotak yang disodorkannya. “Berikan ini padanya, katakan untuk menukarnya dengan makanan untuk seluruh desa.”
Aku menatap wajahnya dan kotak yang diberikannya bergantian. Kubuka tutup kotak itu perlahan. Sepuluh butir mutiara menggelinding pelan dalam kotak, teksturnya yang halus bagaikan sutera bersapuan satu dengan yang lain. Jariku dengan hati-hati mengapit salah satu butirnya.
“Mutiara-mutiara ini bukan yang paling berharga,” ia berkata, “tapi jika digadaikan akan cukup untuk makanan kita satu minggu.”
Aku melangkah keluar, perasaan lega meluap dalam hati, menyerukan kabar itu pada Osran. Untuk minggu itu, seluruh desa mendapatkan makanan dan air bersih yang cukup. Tiba-tiba saja pondok kami diisi dengan barang-barang pemberian orang-orang desa. Dan hari-hari di mana nelayan-nelayan kembali tanpa tangkapan, Lophelia selalu mengeluarkan sepuluh butir mutiara setiap minggunya, meminta Osran untuk menggadaikannya.
 Lophelia tidak pernah menangis lagi sejak malam itu, jadi saat itu kusimpulkan mungkin ia menangis untuk merelakan semua mutiara itu pergi. Sebagai gantinya ia mendapatkan hari-hari tenang di desa pinggiran ini, dan orang-orang yang semakin hari semakin menerima kami — seakan kami sudah tinggal di desa itu sedari awal.
Jauh dalam hatiku aku merasa nyaman di dalam semua kesederhanaan ini. Aku pun merasakan Lophelia berpendapat sama.
Aku meraih wajah Lophelia di dalam jemariku, menyapu pipinya dengan punggung tanganku. Aku mengecupnya pelan di pipi, kemudian melepaskannya.
Beberapa minggu terakhir, Lophelia sering berbaring dan terlihat kesakitan, seperti pertama kali aku melihatnya. Berapa banyak pun air yang ia teguk, ia tetap terlihat kering dan kesakitan. Kekesalanku ditambah dengan kabar raja baru yang akan naik takhta di ibukota. Segalanya hampir membuatku gila.
Tapi kemampuan Lophelia menenangkanku menyadarkanku bahwa Lophelia lebih penting daripada masa laluku. Kesadaran itu yang membuat satu lututku tertekuk di hadapannya suatu sore, seluruh desa mengelilingi kami. Mereka bersorak sorai sementara aku memohon Lophelia untuk bersamaku, muda atau tua, sakit atau sehat, miskin atau kaya, selamanya. Tanganku menengadahkan mahkota kerang-kerang rangkaian para anak desa. Aku bisa melihat wajahnya yang tersinar matahari tampak terkejut.
Aku hampir bisa membayangkan dirinya menangis terharu dan mengecupku, tapi ia hanya terdiam di sana hingga sorak sorai para penduduk redam. Badannya yang berbalik menyenggol mahkotaku hingga jatuh. Ia lalu berlari pergi tanpa berpaling.
Malam itu aku menolak untuk pergi melaut, juga tidak pulang ke pondok. Tapi aku baru tahu bahwa Lophelia juga tidak pulang, ketika aku mendengar sayup-sayup dari arah laut. Begitu sedih, namun begitu indah... bukan tangisan, tapi nyanyian.
Aku bersembunyi di balik pohon kelapa tanpa alasan jelas. Aku mendengarkan nyanyiannya, memperhatikan cahaya merah jambu bersinar redup di sekitarnya.

Adakah yang lebih membahagiakan daripada kuasa?
Mungkin jawabannya kasih tanpa kekang masa

Adakah yang lebih kejam daripada seorang pembunuh?
Seorang pengkhianat, musuh terbesar di antara musuh

Dan Lophelia telah menjadi salah satu
Pembunuh sekaligus seorang pengkhianatmu
Apakah ia sama dengan Ratu yang dulu?

Narlan suamiku...,
Apakah kau bisa mendengarkanku?
Apa mungkin kau bisa memaafkanku?

Dahulu kau bilang cintamu adalah semu
Tapi milikku masih ada untukmu

Seberapapun pemandangan indah itu membiusku, namun kata-kata dalam nyanyian itu membangunkanku kembali. Aku tidak mau mendengar lebih lanjut lagi. Banyak yang kutahu, namun satu kata membangunkanku. Alasan penolakan Lophelia pada lamaranku. Aku melempar mahkota kerang di tanganku ke tanah, membalikkan badan dan pergi. Aku meremas kekesalan dan amarah dalam hati, mengutuk wanita yang kucintai.
‘Dulu kau bilang cintamu adalah semu’? Suamimu berbuat begitu padamu. Lalu apa itu berarti kau bisa melakukan hal yang sama padaku? Aku berjanji dalam hati saat itu, walaupun aku telah jatuh agak jauh ke dalam lubang yang disebut cinta itu, aku bisa memanjat keluar sekarang, karena lubang itu tidak ada — semu.
Ketukan pada pintu pondokku membuatku terlonjak. Kokok ayam di luar menandai malam telah usai, dan tamu sepagi ini tidak terlalu sering kudapatkan. Usai membuka pintu, aku tidak terkejut ketika melihat wajah familiar itu berdiri di hadapanku.
Jenderal mudaku yang berbakat, Tarrutov, seketika berlutut pada satu kakinya ketika ia melihat diriku. Tanpa sadar aku adalah Dancherov lagi, merentangkan tanganku ke atas bahu kanannya, kemudian pindah ke bahu kirinya, mempersilakannya untuk bangkit.
“Ia yang Hidup Selamanya dan Berkuasa di Seluruh Daratan Lautan,” ia menyapa dengan kelegaan yang kentara, “Jika teropong anak buah hamba tidak kebetulan melihat Yang Mulia melaut tempo hari, mungkin selamanya hamba kira Yang Mulia telah raib. Namun tidak, Yang Mulia benar-benar Hidup Selamanya dan Berkuasa di Seluruh Daratan Lautan!”
Sanjungan yang dulu terdengar begitu menyenangkan dan merdu, kini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan setitik suara Lophelia.
“Katakan, untuk apa kau di sini, Tarrutov?” tanyaku. “Apa kau akan menyeretku dan membawaku ke hadapan para pengkhianat itu?”
“Tidak, Yang Mulia, kita akan merebut takhta kembali, dan hanya Yang Mulia yang bisa memulai segalanya.”
Tarrutov memaparkan situasi yang sedang terjadi — tentang bagaimana para prajurit dan jenderal setia berkubu di Pegunungan Timur, puluhan kelompok dikirim untuk berlomba-lomba menemukanku lebih dulu daripada para musuh. Kini bulan-bulan terlewati dan mereka telah terpecah, antara yang kukuh ingin menemukanku dan yang ingin menjadi raja sendiri. Aku mendengarkan semuanya dalam diam.
“Hanya jika Yang Mulia pergi bersamaku ke Pegunungan Timur, kita bisa menyatukan kubu yang terpecah-pecah ini,” ucap Tarrutov, “Kemudian menyusun rencana bersama untuk mengambil kembali takhta. Kami akan berangkat malam ini — Yang Mulia bisa bersiap-siap dan menemui kami di balik danau di utara sana.”
Aku keluar dari pondok ketika pagi menjelang, tas di pundakku, bersiap untuk pergi ke balik danau, mencari Lophelia sebelumnya. Aku masih menimang apakah mengucapkan selamat tinggal adalah ide yang baik ketika aku menangkap sosok Lophelia berdiri lunglai bawah pohon pekarangan. Satu tangannya masuk ke saku, yang lain menggenggam mahkota kerang yang kutinggalkan di pinggir pantai.
 Ia tampak pucat dan tidak bersemangat, membuatku bertanya-tanya apa angin semalaman membuatnya bertambah sakit. Namun aku menolak untuk khawatir, apalagi setelah mendengar nyanyiannya kemarin malam. Menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah bersuami membuatku gusar dan kesal. Kami saling tatap. Mataku lekat pada mahkotanya, matanya lekat pada tasku. Ia tidak terkejut, ia tahu aku akan pergi jauh.
“Ada yang harus kuberitahu tentang masa laluku, Enrov,” ucap Lophelia, mengangkat mahkota di tangannya, “...kau mendengar nyanyianku semalam, bukan?”
“Aku juga harus memberitahumu tentang masa laluku,” potongku.
Hanya selangkah lagi maka aku bisa mendapatkan yang kumau, yang paling kuinginkan sejak pertama kali aku bertemu Lophelia. Untuk menjadi raja kembali.
Tapi itukah yang kuinginkan sekarang?
“Aku mendengarnya, percakapanmu dengan jenderal itu subuh tadi. Aku sudah di sini sejak itu, menimang-nimang apakah...,” suaranya berubah menjadi keheningan. “Entah mengapa, aku serasa bisa menebaknya. Aku sudah tahu kau bukan orang biasa... tapi begitu pula diriku, dan kau harus tahu.”
Aku berdiri diam, bertanya-tanya akan maksud kata-katanya.
“Ayo,” Tangannya kini meraih milikku, menarikku pelan.
Ia berjalan terus. Matahari terbit, memantulkan cahayanya di garis cakrawala. Lophelia membasahi kakinya dengan air laut, menuntunku lebih jauh ke tengah.
“Lophelia, jika kau ingin bicara, di sini saja,” aku berkata. Ujung rambut Lophelia yang panjang menyentuh permukaan air. Laut menyapu pinggulku.
“Lophelia!”
Aku menarik tangannya, menahannya. Lophelia menoleh, matanya yang biru berkaca-kaca, menyerupai permukaan air di bawah kami. Air mata berjatuhan dari pipinya, cairan ketika meleleh di pipi, berubah menjadi butir-butir mutiara padat ketika menyentuh air laut.
Aku terpana.
Tangannya muncul dari dasar air, menunjukkan butir-butir mutiaranya. Ia terus menangis, bukan karena ingin menunjukkan keajaiban itu padaku, hanya karena murni ia merasa sedih.­
“Hanya ini yang bisa kuberikan, untuk dijual. Bagaimanapun juga, ikan-ikan itu tidak ada di perairan ini karena satu bisikan dariku,” suaranya sayu, namun tetap merdu. Tanganku meraih pipinya, mengusap air matanya. Di balik semua keterkejutanku, hatiku pilu, bertambah ngilu pada setiap bulir yang dihasilkannya.
“Jika kau tidak ingin mengatakannya padaku, maka jangan katakan,” kataku menggenggam wajahnya, melupakan semua kegusaranku karena penolakan lamaran. “Jika itu bisa membuatmu berhenti menangis, maka....”
“Tidak, Enrov,” Ia meraih tanganku dan menggenggamnya, “Kau akan pergi, kau harus pergi. Dan sebelum pergi, kau harus mendengar semuanya, dan paham benar bahwa aku... aku... memang benar-benar mencintaimu.”
Mata biru yang dibingkai bulu-bulu mata berwarna lumut, air mata yang secara ajaib berubah menjadi mutiara, dan suara yang lebih indah daripada alunan alat musik manapun....
Di hadapanku adalah jawaban mengapa Lophelia lebih indah daripada manusia biasa: ia memang bukan manusia.
Sirip Lophelia membuat kecipak air di antara kami. Sisiknya berkilau kehijauan. Lalu ia menyanyi.


Jauh, jauh di dalam,
Ketika suasana menjadi kelam
Dan siang terasa seperti malam

Sang Raja dan Ratu menitikkan air mata
Bertanya-tanya apakah Kerajaan Laut akan menjadi rata?
Pelindung kerajaan kami berkata,

Kuberikan kalian sebutir mutiara
Memiliki kekuatan untuk membuat  Pasukan Hitam jera
Tapi janganlah kita berpesta pora,

Karena hanya dengan pertukaran
Sebuah jiwa akan mati menjadi kekuatan
Tidak hanya itu yang dikhawatirkan

Hanya yang mencintai jiwa yang dikorbankan
Bisa menggunakan mutiara berkekuatan
Lalu siapa yang akan dikorbankan?


“Aku berikan jiwaku, menjadi kekuatannya,” pinta Sang Ratu tersiksa,
“Agar semua selamat dari serangan para pendosa.”
Sang Raja menggeleng, itu tidak bisa

“Sang Raja mencintaiku,” bibir Sang Ratu mulai kaku,
“Biar Raja Narlan menggunakan kekuatan dari jiwaku,
Untuk menyelamatkan kerajaanku.”

Sang Raja menggeleng kemudian menunduk
Pelindung kami mengulurkan tangan memeluk
Pada Sang Ratu yang mulai tersengguk

Jauh di dalam hati Ratu tahu
Cinta Raja tak pernah ada di situ
Sedari awal perjodohan itu berlaku

Namun untuk Ratu segalanya berbeda
Cintanya untuk bertumbuh untuk suaminya
Namun Raja tidak merasakan hal yang sama

Ketika Raja berkata, “Maafkan aku,
“Untuk jiwa itu biarkan pakai milikku,
Lophelia, bukankah kau mencintaiku?”

Di depan mata sang Ratu
Sang Raja dan mutiara menjadi satu
Menghilang menjadi buih abu-abu

Berkat mutiara Pasukan Hitam telah pergi
Namun Sang Ratu terus mengutuk dirinya sendiri
Dan  mengeringkan diri di daratan yang sepi

Kemudian ia bertemu pria asing
Menyelamatkannya sebelum ia mati
Lalu mulai hidup bersama menjalin kasih

Ratu mengkhianati cinta untuk Raja yang dulu ada
Karena cinta yang baru ia dapat
Terasa seperti cinta yang sesungguhnya

Suatu pagi jenderal setianya datang mengabarkan
Ternyata pria asing seorang Raja Daratan
Air laut tidak merubahnya menjadi duyung, ataupun nelayan

Pergilah ke Pegunungan Timur,
Karena Raja Daratan akan merebut
Kekuasaan yang pernah direnggut

Pada Raja Daratan Sang Ratu sangat mencintai
Ia ingin menikah, saling memiliki
Namun setelah lama di daratan Ratu akan mati

Ia berpikir Raja Daratan lebih baik pergi
Jangan ingat Ratu lagi
Jadilah penguasa yang bijak tidak tertandingi

Sang Ratu membawanya ke tepi pantai
Menceritakan masa lalu yang melilit bagai rantai
Agar Raja Daratan pergi dalam damai

“Bawa  pergi, ambil jiwaku, pakai kekuatanku,”
Sang Ratu membuat Raja Daratan terpaku
Tangannya mengeluarkan mutiara dari saku

“Bawa pergi, ambil kekuasaanmu, pakai mutiaraku,”
Sang Ratu percaya ia akan menjadi raja nomor satu
“Karena kau akan mendapatkan yang paling kaumau.”

Dalam tangan Lophelia, mutiara besar merah jambu itu menyala-nyala. Aku berteriak namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Tanganku ingin kuangkat dari benaman air dan meraih Lophelia, mencegahnya dari mencium mutiara itu, namun tubuhku mati rasa.
“Lophelia....”
Ia tersenyum, mengenakan mahkota kerang yang kuberikan padanya, kemudian mengecup keningku. Tubuhnya bersinar-sinar melebihi silaunya matahari, siripnya menjadi tipis dan transparan. Mataku tiba-tiba menjadi sangat berat. Aku melawannya, berusaha menggapai sosok di hadapanku.
“LOPHELIA!”
Tubuh Lophelia berubah menjadi cahaya dan masuk ke dalam mutiara. Debur air terdengar keras di telingaku. Di sekelilingku, sisa-sisa Lophelia, adalah buih-buih berwarna merah jambu. Aku berteriak namun tiada suara yang keluar.
Kemudian segalanya menjadi hitam, sesuatu serasa diambil dari pikiranku, memoriku.
Itu adalah terakhir kali aku melihat Lophelia.
 Sejarah mengatakan dalam satu tahun Dancherov Yang Agung kembali mendapatkan kekuasaannya dari tangan bawahan yang mengkudetanya. Gelar ‘Hidup Selamanya’-nya diganti, begitu pula seluruh kepribadiannya. Tidak ada yang tahu ke mana Dancherov menghilang selama enam bulan setelah kekalahannya, dan mengapa ia berubah dari seorang raja yang tidak peduli menjadi seorang yang bijaksana.
 Ada orang berkata, Dancherov yang memerintah sekarang tidak sama dengan Dancherov yang dulu. Mereka adalah orang serupa namun berbeda, dan Dancherov yang egois dulu telah dibunuh. Itulah mengapa kadang-kadang ia membiarkan orang memanggilnya ‘Enrov’, nama yang ia katakan muncul entah dari mana.
Ada orang berkata, Dancherov bertemu seorang dewi yang melakukan pertukaran dengannya. Jika ia mau menjadi raja bijaksana, maka Dancherov bisa mendapatkan kekuasaannya kembali. Mereka bilang Dancherov juga diharuskan menikahi dewi itu, menyebabkan Dancherov tidak pernah menikah seumur hidupnya.
Ada orang berkata, Dancherov mendapatkan jimat ajaib dari penyihir di hutan untuk mendapat kekuasaannya kembali. Jimat itu berbentuk mutiara merah jambu yang selalu ia gantung pada rantai kalungnya. Itulah mengapa ia tidak pernah mau melepas mutiara itu apapun yang ia lakukan.
Kenyataannya, Dancherov Yang Agung tidak pernah ingat mengapa ia memperbolehkan orang memanggilnya Enrov, tidak pernah bisa mencintai wanita lain, ataupun tidak pernah melepas kalung mutiaranya. Ada sebidang kosong dalam memorinya, bidang yang membuat hatinya lebih lembut dan hangat karena alasan yang tidak bisa dijelaskan. Bidang yang mengubah semua kepribadiannya.
Dancherov tidak pernah bisa mengingat Lophelia lagi, namun hatinya terus mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar