Lophelia
Pertama kali aku
melihat Lophelia, ia sudah hampir meninggalkanku selamanya.
Kepalanya terkulai ke
samping, helaian-helaian rambut pirang kusam lekat ke keningnya. Napasnya
hampir tidak ada, begitu pula dengan jiwanya. Siapa dia, hingga aku harus
peduli? Namun tubuhnya terbaring di sana, menghalangi satu-satunya jalan
setapak ke arah desa yang kutuju.
Ia tidak membuka
kelopak matanya, namun bibirnya yang pecah-pecah dan kering mulai menggumamkan
sesuatu yang tidak jelas. Telingaku tidak bisa menangkap bisikan sunyi yang ia
utarakan.
Setelah kekalahan
dalam perang dengan kerajaan seberang, disusul kudeta dari dalam, kesulitan
tambahan apa lagi yang aku perlukan? Aku tidak punya lagi istana untuk aku
tinggali, takhta untuk aku duduki, mahkota yang menghiasi kepalaku. Yang
tersisa, hanya gunung dan hutan untuk menyembunyikan diri, jenderal-jenderal
pengkhianat yang menginginkanku mati, dan badan lemah bersimbah darah menemani.
Tapi aku tetap meraih
kantung air minumku, menuangkannya ke dalam bibirnya. Kemudian ia berbisik,
suaranya adalah suara termerdu yang pernah kudengar, memiliki notasi-notasi
indah yang tidak cocok dengan rintihannya.
Jika aku mengikuti
permintaannya saat itu, maka aku tidak akan mengenal Lophelia. Aku tidak akan
tahu ternyata rambutnya panjang hingga pinggulnya, bulu-bulu matanya berwarna
lumut, bersaing dengan biru matanya. Bahkan setelah keadaannya membaik dan ia
telah tampak kuat dan sehat, bibirnya tetap berwarna senada dengan kulit
pucatnya. Hal itu tidak mengurangi kecantikannya.
Malam itu Lophelia
meringkuk di ujung, menolak untuk memanjat pembaringan yang disediakan para
nelayan. Ia memeluk dirinya sendiri, jemarinya yang kurus melingkari lututnya.
Matanya menatap ke arahku dan tidak berpaling. Itu pertama kali kudapat tatapan
semacam itu. Sebelumnya orang-orang berbicara padaku dengan menunduk, kepala
mereka menghadap karpet merah yang digelar ke setiap ujung kastilku.
Tatapan itu tidak
menyuarakan benci, hanya murni kebingungan. Bingung mengapa aku membiarkannya
hidup walaupun ia telah meminta untuk mati. Bingung akan identitasku. Mungkin
tatapan yang kulontarkan balik padanya pun tidak berbeda.
“...Apa...,” ia mulai
bertanya. “Apa... apa kau percaya pada kesempatan kedua?”
Aku terdiam, kami
saling menatap. Dalam diam, itu adalah pertanyaan sama yang kulontarkan pada
diriku sendiri.
Matahari terbit dan
terbenam, waktu berlalu tanpa kami sadari. Entah keberuntungan apa yang
membolehkan kami untuk tinggal di desa nelayan itu. Kami beruntung karena desa
itu terpencil, di balik hutan, menghadap lautan yang masih liar dan belum
terjamah — tidak seperti desa-desa yang kuubah menjadi pusat-pusat perdagangan
dan pelabuhan-pelabuhan besar. Beruntung karena selama kami hidup di
sana, tidak ada prajurit pengkhianat yang ingin menangkapku untuk dipenggal.
Sebelum kekalahan
perang dan kudeta, aku, Raja Dancherov yang Hidup Selamanya dan Berkuasa di
Seluruh Daratan Lautan, adalah pria yang mengutus ksatria-ksatria untuk
menaklukan daratan di seberang lautan, membunuh musuh dengan sekali tebasan.
Aku mengirim orang ke seluruh sudut dunia untuk mencari ramuan awet muda dan
hidup sepanjang masa, menghabiskan banyak waktu dan ambisi pada hal itu. Aku
begitu terdistraksi hingga tidak menyadari kerajaan tetangga telah menjadi
terlalu kuat untuk ditumbangkan, dan jenderal-jenderalku telah berbalik melawan
diriku.
Di tengah hari-hari
yang hanya dipenuhi dengan deburan ombak, mengeringkan ikan-ikan tangkapan
nelayan di bawah matahari, dan aroma asin dari laut biru yang terbentang di
hadapanku, apakah aku orang yang sama dengan Dancherov yang kutahu dulu?
Walau begitu, jika
aku memang telah terlahir menjadi pria yang berbeda, aku tidak bisa berkata
bahwa aku membenci diriku yang baru. Kini aku adalah Enrov... yang memiliki
Lophelia yang selalu memandangku, pandangannya berubah seiring hari berjalan.
Awalnya mata itu menyuarakan keinginan untuk menyendiri, hingga kini ketika
mata itu jelas-jelas menginginkanku di sampingnya.
Kadang kala kulihat
juga senyumnya. Ketika para istri nelayan melumuri ikan dengan garam dan
menjemurnya, Lophelia akan berjalan ke pesisir pinggiran, di mana anak-anak
desa mengumpulkan kerang warna-warni untuk dijadikan pemanis di rambut atau
gelang. Ia akan bermain di sana dengan mereka hingga sore menjelang. Aku selalu
menyempatkan diri untuk mengintip ke sana sebelum aku pergi melaut.
Aku bekerja keras
untuk kami berdua. Secara berkala aku melaut dengan nelayan tua bernama Osran.
Desa ini benar-benar membutuhkan bantuan tangan seorang pria muda.
Subuh ketika aku
pulang, ia selalu menanti dengan kepulan uap nasi di hadapannya walau tak
pernah ada perjanjian semacam itu di antara kita. Matanya menatapku, di antara
kita ada pengertian yang tidak terucapkan.
“Terima kasih,
Enrov,” dia berkata setiap hari. “Ayo makan selagi panas.”
Kami tinggal begitu
lama bersama, namun tidak banyak yang terucapkan di antara kami. Kebanyakan hal
tersampaikan dengan gestur tubuh dan sentuhan lembut. Seperti ketika hari-hari
berubah menjadi menyulitkan, aku dan Osran selalu pulang dengan jala yang
kosong. Nelayan-nelayan lain juga merasakan hal yang sama, dan tiba-tiba saja
anak-anak desa tinggal di rumah, istri nelayan mengerjakan tugas mereka tanpa
celoteh ceria. Hari itu aku kembali dan duduk di meja makan tanpa membalas
sambutan Lophelia, kemudian membenamkan wajahku di dalam tangan.
Kedua tangan Lophelia
menyeberangi meja kecil di antara kami, menggenggam kedua tanganku. Ia
mengangkatnya dan mengecup jemariku, menenangkanku.
Aku yang saat itu
begitu kesal akan ketidakmampuanku melakukan apapun hanya menarik tanganku
kembali. Aku pergi berbaring, berusaha untuk tidur. Ketika memejamkan mata aku
mendengarnya membereskan meja. Bahkan malam itu ketika lengannya yang kurus
memelukku dari belakang, aku tidak bisa terlelap.
Tengah malam kedua
lengan itu melepaskan tubuhku, hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Aku
melawan keinginan untuk membuka mata, tapi tetap tidak bergerak. Kemudian aku
mendengar isakan pertamanya, lembut namun jelas, seakan bergema pelan ke seluruh
penjuru pondok kecil kami.
Malam itu aku tidak
bangkit dari tidurku dan memeluknya, seperti yang seharusnya aku lakukan. Entah
mengapa aku menolak untuk mengakui bahwa perasaanku untuk Lophelia telah
menjadi sangat besar. Ego Dancherov adalah ego raja yang tidak butuh orang
lain. Sebagian dari diriku masih menginginkan potongan diri Dancherov, hanya
untuk membuat diriku merasa waras.
Lophelia yang kutemui
keesokan harinya tersenyum, menyambutku agar aku segera bangun. Segera setelah
aku terduduk di kursi, ia menyodorkan sebuah kotak kayu ke arahku.
“Osran akan ke kota,”
katanya memulai, membuatku menggenggam kotak yang disodorkannya. “Berikan ini
padanya, katakan untuk menukarnya dengan makanan untuk seluruh desa.”
Aku menatap wajahnya
dan kotak yang diberikannya bergantian. Kubuka tutup kotak itu perlahan. Sepuluh
butir mutiara menggelinding pelan dalam kotak, teksturnya yang halus bagaikan
sutera bersapuan satu dengan yang lain. Jariku dengan hati-hati mengapit salah
satu butirnya.
“Mutiara-mutiara ini
bukan yang paling berharga,” ia berkata, “tapi jika digadaikan akan cukup untuk
makanan kita satu minggu.”
Aku melangkah keluar,
perasaan lega meluap dalam hati, menyerukan kabar itu pada Osran. Untuk minggu
itu, seluruh desa mendapatkan makanan dan air bersih yang cukup. Tiba-tiba saja
pondok kami diisi dengan barang-barang pemberian orang-orang desa. Dan
hari-hari di mana nelayan-nelayan kembali tanpa tangkapan, Lophelia selalu
mengeluarkan sepuluh butir mutiara setiap minggunya, meminta Osran untuk menggadaikannya.
Lophelia tidak
pernah menangis lagi sejak malam itu, jadi saat itu kusimpulkan mungkin ia
menangis untuk merelakan semua mutiara itu pergi. Sebagai gantinya ia
mendapatkan hari-hari tenang di desa pinggiran ini, dan orang-orang yang
semakin hari semakin menerima kami — seakan kami sudah tinggal di desa itu
sedari awal.
Jauh dalam hatiku aku
merasa nyaman di dalam semua kesederhanaan ini. Aku pun merasakan Lophelia
berpendapat sama.
Aku meraih wajah
Lophelia di dalam jemariku, menyapu pipinya dengan punggung tanganku. Aku
mengecupnya pelan di pipi, kemudian melepaskannya.
Beberapa minggu
terakhir, Lophelia sering berbaring dan terlihat kesakitan, seperti pertama
kali aku melihatnya. Berapa banyak pun air yang ia teguk, ia tetap terlihat
kering dan kesakitan. Kekesalanku ditambah dengan kabar raja baru yang akan
naik takhta di ibukota. Segalanya hampir membuatku gila.
Tapi kemampuan
Lophelia menenangkanku menyadarkanku bahwa Lophelia lebih penting daripada masa
laluku. Kesadaran itu yang membuat satu lututku tertekuk di hadapannya suatu
sore, seluruh desa mengelilingi kami. Mereka bersorak sorai sementara aku
memohon Lophelia untuk bersamaku, muda atau tua, sakit atau sehat, miskin atau
kaya, selamanya. Tanganku menengadahkan mahkota kerang-kerang rangkaian para
anak desa. Aku bisa melihat wajahnya yang tersinar matahari tampak terkejut.
Aku hampir bisa
membayangkan dirinya menangis terharu dan mengecupku, tapi ia hanya terdiam di
sana hingga sorak sorai para penduduk redam. Badannya yang berbalik menyenggol
mahkotaku hingga jatuh. Ia lalu berlari pergi tanpa berpaling.
Malam itu aku menolak
untuk pergi melaut, juga tidak pulang ke pondok. Tapi aku baru tahu bahwa
Lophelia juga tidak pulang, ketika aku mendengar sayup-sayup dari arah laut.
Begitu sedih, namun begitu indah... bukan tangisan, tapi nyanyian.
Aku bersembunyi di
balik pohon kelapa tanpa alasan jelas. Aku mendengarkan nyanyiannya,
memperhatikan cahaya merah jambu bersinar redup di sekitarnya.
Adakah
yang lebih membahagiakan daripada kuasa?
Mungkin
jawabannya kasih tanpa kekang masa
Adakah
yang lebih kejam daripada seorang pembunuh?
Seorang
pengkhianat, musuh terbesar di antara musuh
Dan
Lophelia telah menjadi salah satu
Pembunuh
sekaligus seorang pengkhianatmu
Apakah
ia sama dengan Ratu yang dulu?
Narlan
suamiku...,
Apakah
kau bisa mendengarkanku?
Apa
mungkin kau bisa memaafkanku?
Dahulu
kau bilang cintamu adalah semu
Tapi
milikku masih ada untukmu
Seberapapun
pemandangan indah itu membiusku, namun kata-kata dalam nyanyian itu membangunkanku
kembali. Aku tidak mau mendengar lebih lanjut lagi. Banyak yang kutahu, namun
satu kata membangunkanku. Alasan penolakan Lophelia pada lamaranku. Aku
melempar mahkota kerang di tanganku ke tanah, membalikkan badan dan pergi. Aku
meremas kekesalan dan amarah dalam hati, mengutuk wanita yang kucintai.
‘Dulu kau bilang
cintamu adalah semu’? Suamimu berbuat begitu padamu. Lalu apa itu berarti kau
bisa melakukan hal yang sama padaku? Aku berjanji dalam hati saat itu, walaupun
aku telah jatuh agak jauh ke dalam lubang yang disebut cinta itu, aku bisa
memanjat keluar sekarang, karena lubang itu tidak ada — semu.
Ketukan pada pintu
pondokku membuatku terlonjak. Kokok ayam di luar menandai malam telah usai, dan
tamu sepagi ini tidak terlalu sering kudapatkan. Usai membuka pintu, aku tidak
terkejut ketika melihat wajah familiar itu berdiri di hadapanku.
Jenderal mudaku yang
berbakat, Tarrutov, seketika berlutut pada satu kakinya ketika ia melihat
diriku. Tanpa sadar aku adalah Dancherov lagi, merentangkan tanganku ke atas
bahu kanannya, kemudian pindah ke bahu kirinya, mempersilakannya untuk bangkit.
“Ia yang Hidup
Selamanya dan Berkuasa di Seluruh Daratan Lautan,” ia menyapa dengan kelegaan
yang kentara, “Jika teropong anak buah hamba tidak kebetulan melihat Yang Mulia
melaut tempo hari, mungkin selamanya hamba kira Yang Mulia telah raib. Namun
tidak, Yang Mulia benar-benar Hidup Selamanya dan Berkuasa di Seluruh Daratan
Lautan!”
Sanjungan yang dulu
terdengar begitu menyenangkan dan merdu, kini tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan setitik suara Lophelia.
“Katakan, untuk apa
kau di sini, Tarrutov?” tanyaku. “Apa kau akan menyeretku dan membawaku ke
hadapan para pengkhianat itu?”
“Tidak, Yang Mulia,
kita akan merebut takhta kembali, dan hanya Yang Mulia yang bisa memulai
segalanya.”
Tarrutov memaparkan
situasi yang sedang terjadi — tentang bagaimana para prajurit dan jenderal
setia berkubu di Pegunungan Timur, puluhan kelompok dikirim untuk
berlomba-lomba menemukanku lebih dulu daripada para musuh. Kini bulan-bulan
terlewati dan mereka telah terpecah, antara yang kukuh ingin menemukanku dan
yang ingin menjadi raja sendiri. Aku mendengarkan semuanya dalam diam.
“Hanya jika Yang
Mulia pergi bersamaku ke Pegunungan Timur, kita bisa menyatukan kubu yang
terpecah-pecah ini,” ucap Tarrutov, “Kemudian menyusun rencana bersama untuk
mengambil kembali takhta. Kami akan berangkat malam ini — Yang Mulia bisa
bersiap-siap dan menemui kami di balik danau di utara sana.”
Aku keluar dari
pondok ketika pagi menjelang, tas di pundakku, bersiap untuk pergi ke balik
danau, mencari Lophelia sebelumnya. Aku masih menimang apakah mengucapkan
selamat tinggal adalah ide yang baik ketika aku menangkap sosok Lophelia
berdiri lunglai bawah pohon pekarangan. Satu tangannya masuk ke saku, yang lain
menggenggam mahkota kerang yang kutinggalkan di pinggir pantai.
Ia tampak pucat
dan tidak bersemangat, membuatku bertanya-tanya apa angin semalaman membuatnya
bertambah sakit. Namun aku menolak untuk khawatir, apalagi setelah mendengar
nyanyiannya kemarin malam. Menyembunyikan kenyataan bahwa ia telah bersuami
membuatku gusar dan kesal. Kami saling tatap. Mataku lekat pada mahkotanya,
matanya lekat pada tasku. Ia tidak terkejut, ia tahu aku akan pergi jauh.
“Ada yang harus
kuberitahu tentang masa laluku, Enrov,” ucap Lophelia, mengangkat mahkota di
tangannya, “...kau mendengar nyanyianku semalam, bukan?”
“Aku juga harus
memberitahumu tentang masa laluku,” potongku.
Hanya selangkah lagi
maka aku bisa mendapatkan yang kumau, yang paling kuinginkan sejak pertama kali
aku bertemu Lophelia. Untuk menjadi raja kembali.
Tapi itukah yang
kuinginkan sekarang?
“Aku mendengarnya,
percakapanmu dengan jenderal itu subuh tadi. Aku sudah di sini sejak itu,
menimang-nimang apakah...,” suaranya berubah menjadi keheningan. “Entah
mengapa, aku serasa bisa menebaknya. Aku sudah tahu kau bukan orang biasa...
tapi begitu pula diriku, dan kau harus tahu.”
Aku berdiri diam,
bertanya-tanya akan maksud kata-katanya.
“Ayo,” Tangannya kini
meraih milikku, menarikku pelan.
Ia berjalan terus.
Matahari terbit, memantulkan cahayanya di garis cakrawala. Lophelia membasahi
kakinya dengan air laut, menuntunku lebih jauh ke tengah.
“Lophelia, jika kau
ingin bicara, di sini saja,” aku berkata. Ujung rambut Lophelia yang panjang
menyentuh permukaan air. Laut menyapu pinggulku.
“Lophelia!”
Aku menarik
tangannya, menahannya. Lophelia menoleh, matanya yang biru berkaca-kaca,
menyerupai permukaan air di bawah kami. Air mata berjatuhan dari pipinya,
cairan ketika meleleh di pipi, berubah menjadi butir-butir mutiara padat ketika
menyentuh air laut.
Aku terpana.
Tangannya muncul dari
dasar air, menunjukkan butir-butir mutiaranya. Ia terus menangis, bukan karena
ingin menunjukkan keajaiban itu padaku, hanya karena murni ia merasa sedih.
“Hanya ini yang bisa
kuberikan, untuk dijual. Bagaimanapun juga, ikan-ikan itu tidak ada di perairan
ini karena satu bisikan dariku,” suaranya sayu, namun tetap merdu. Tanganku
meraih pipinya, mengusap air matanya. Di balik semua keterkejutanku, hatiku
pilu, bertambah ngilu pada setiap bulir yang dihasilkannya.
“Jika kau tidak ingin
mengatakannya padaku, maka jangan katakan,” kataku menggenggam wajahnya,
melupakan semua kegusaranku karena penolakan lamaran. “Jika itu bisa membuatmu
berhenti menangis, maka....”
“Tidak, Enrov,” Ia
meraih tanganku dan menggenggamnya, “Kau akan pergi, kau harus pergi. Dan
sebelum pergi, kau harus mendengar semuanya, dan paham benar bahwa aku...
aku... memang benar-benar mencintaimu.”
Mata biru yang
dibingkai bulu-bulu mata berwarna lumut, air mata yang secara ajaib berubah
menjadi mutiara, dan suara yang lebih indah daripada alunan alat musik
manapun....
Di hadapanku adalah
jawaban mengapa Lophelia lebih indah daripada manusia biasa: ia memang bukan
manusia.
Sirip Lophelia
membuat kecipak air di antara kami. Sisiknya berkilau kehijauan. Lalu ia
menyanyi.
Jauh,
jauh di dalam,
Ketika
suasana menjadi kelam
Dan
siang terasa seperti malam
Sang
Raja dan Ratu menitikkan air mata
Bertanya-tanya
apakah Kerajaan Laut akan menjadi rata?
Pelindung
kerajaan kami berkata,
Kuberikan
kalian sebutir mutiara
Memiliki
kekuatan untuk membuat Pasukan Hitam jera
Tapi
janganlah kita berpesta pora,
Karena
hanya dengan pertukaran
Sebuah
jiwa akan mati menjadi kekuatan
Tidak
hanya itu yang dikhawatirkan
Hanya
yang mencintai jiwa yang dikorbankan
Bisa
menggunakan mutiara berkekuatan
Lalu
siapa yang akan dikorbankan?
“Aku
berikan jiwaku, menjadi kekuatannya,” pinta Sang Ratu tersiksa,
“Agar
semua selamat dari serangan para pendosa.”
Sang
Raja menggeleng, itu tidak bisa
“Sang
Raja mencintaiku,” bibir Sang Ratu mulai kaku,
“Biar
Raja Narlan menggunakan kekuatan dari jiwaku,
Untuk
menyelamatkan kerajaanku.”
Sang
Raja menggeleng kemudian menunduk
Pelindung
kami mengulurkan tangan memeluk
Pada
Sang Ratu yang mulai tersengguk
Jauh
di dalam hati Ratu tahu
Cinta
Raja tak pernah ada di situ
Sedari
awal perjodohan itu berlaku
Namun
untuk Ratu segalanya berbeda
Cintanya
untuk bertumbuh untuk suaminya
Namun
Raja tidak merasakan hal yang sama
Ketika
Raja berkata, “Maafkan aku,
“Untuk
jiwa itu biarkan pakai milikku,
Lophelia,
bukankah kau mencintaiku?”
Di
depan mata sang Ratu
Sang
Raja dan mutiara menjadi satu
Menghilang
menjadi buih abu-abu
Berkat
mutiara Pasukan Hitam telah pergi
Namun
Sang Ratu terus mengutuk dirinya sendiri
Dan
mengeringkan diri di daratan yang sepi
Kemudian
ia bertemu pria asing
Menyelamatkannya
sebelum ia mati
Lalu
mulai hidup bersama menjalin kasih
Ratu
mengkhianati cinta untuk Raja yang dulu ada
Karena
cinta yang baru ia dapat
Terasa
seperti cinta yang sesungguhnya
Suatu
pagi jenderal setianya datang mengabarkan
Ternyata
pria asing seorang Raja Daratan
Air
laut tidak merubahnya menjadi duyung, ataupun nelayan
Pergilah
ke Pegunungan Timur,
Karena
Raja Daratan akan merebut
Kekuasaan
yang pernah direnggut
Pada
Raja Daratan Sang Ratu sangat mencintai
Ia
ingin menikah, saling memiliki
Namun
setelah lama di daratan Ratu akan mati
Ia
berpikir Raja Daratan lebih baik pergi
Jangan
ingat Ratu lagi
Jadilah
penguasa yang bijak tidak tertandingi
Sang
Ratu membawanya ke tepi pantai
Menceritakan
masa lalu yang melilit bagai rantai
Agar
Raja Daratan pergi dalam damai
“Bawa
pergi, ambil jiwaku, pakai kekuatanku,”
Sang
Ratu membuat Raja Daratan terpaku
Tangannya
mengeluarkan mutiara dari saku
“Bawa
pergi, ambil kekuasaanmu, pakai mutiaraku,”
Sang
Ratu percaya ia akan menjadi raja nomor satu
“Karena
kau akan mendapatkan yang paling kaumau.”
Dalam tangan
Lophelia, mutiara besar merah jambu itu menyala-nyala. Aku berteriak namun
tidak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Tanganku ingin kuangkat dari
benaman air dan meraih Lophelia, mencegahnya dari mencium mutiara itu, namun
tubuhku mati rasa.
“Lophelia....”
Ia tersenyum,
mengenakan mahkota kerang yang kuberikan padanya, kemudian mengecup keningku.
Tubuhnya bersinar-sinar melebihi silaunya matahari, siripnya menjadi tipis dan
transparan. Mataku tiba-tiba menjadi sangat berat. Aku melawannya, berusaha
menggapai sosok di hadapanku.
“LOPHELIA!”
Tubuh Lophelia
berubah menjadi cahaya dan masuk ke dalam mutiara. Debur air terdengar keras di
telingaku. Di sekelilingku, sisa-sisa Lophelia, adalah buih-buih berwarna merah
jambu. Aku berteriak namun tiada suara yang keluar.
Kemudian segalanya
menjadi hitam, sesuatu serasa diambil dari pikiranku, memoriku.
Itu adalah terakhir
kali aku melihat Lophelia.
Sejarah
mengatakan dalam satu tahun Dancherov Yang Agung kembali mendapatkan
kekuasaannya dari tangan bawahan yang mengkudetanya. Gelar ‘Hidup
Selamanya’-nya diganti, begitu pula seluruh kepribadiannya. Tidak ada yang tahu
ke mana Dancherov menghilang selama enam bulan setelah kekalahannya, dan
mengapa ia berubah dari seorang raja yang tidak peduli menjadi seorang yang
bijaksana.
Ada orang
berkata, Dancherov yang memerintah sekarang tidak sama dengan Dancherov yang
dulu. Mereka adalah orang serupa namun berbeda, dan Dancherov yang egois dulu
telah dibunuh. Itulah mengapa kadang-kadang ia membiarkan orang memanggilnya
‘Enrov’, nama yang ia katakan muncul entah dari mana.
Ada orang berkata,
Dancherov bertemu seorang dewi yang melakukan pertukaran dengannya. Jika ia mau
menjadi raja bijaksana, maka Dancherov bisa mendapatkan kekuasaannya kembali. Mereka
bilang Dancherov juga diharuskan menikahi dewi itu, menyebabkan Dancherov tidak
pernah menikah seumur hidupnya.
Ada orang berkata,
Dancherov mendapatkan jimat ajaib dari penyihir di hutan untuk mendapat
kekuasaannya kembali. Jimat itu berbentuk mutiara merah jambu yang selalu ia
gantung pada rantai kalungnya. Itulah mengapa ia tidak pernah mau melepas
mutiara itu apapun yang ia lakukan.
Kenyataannya,
Dancherov Yang Agung tidak pernah ingat mengapa ia memperbolehkan orang
memanggilnya Enrov, tidak pernah bisa mencintai wanita lain, ataupun tidak
pernah melepas kalung mutiaranya. Ada sebidang kosong dalam memorinya, bidang
yang membuat hatinya lebih lembut dan hangat karena alasan yang tidak bisa
dijelaskan. Bidang yang mengubah semua kepribadiannya.
Dancherov tidak
pernah bisa mengingat Lophelia lagi, namun hatinya terus mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar