Rabu, 30 Mei 2012

KARYA ILMIAH CITRA WANITA DALAM PENARI NAGA KECIL TARINI SORRITA


CITRA WANITA DALAM PENARI NAGA KECIL TARINI SORRITA
Sebuah Kajian Feminisme



Abstrak
Kumpulan cerpen Penari Naga kecil oleh Tarini Sorita  memberi suguhan  ringan dan sederhana. Namun dibalik itu, kisahnya yang penuh perjuangan sebagai buruh migran di Hongkong sangat menarik untuk dicermati. Perjuangannya dan teman-teman TKW dalam menunjukkan eksistensi dan kemampuan diri yang sama dengan kaum lelaki.
Untuk mengkaji kumpulan cerpen ini, penulis menggunakan pisau bedah kritik sastra feminis karena isi cerpen banyak mengandung perjuangan perempuan yang bekerja sebagai buruh migrant. Millet dalam Sugihastuti (2002:64) menjelaskan tatanan  patriakhi (garis keturunan bapak),  telah memposisikan perempuan sebagai kelas yang cenderung menjadi objek  kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki independensi dalam menentukan sikap maupun hal yang lain. Perempuan kurang memiliki wewenang untuk memandang atau menentukan sesuatu berdasar pada hakikat kodrati keperempuanannya, yang tentu saja berbeda dengan kaum laki-laki.
Kumpulan cerpen ini berisi dua puluh tiga cerpen. Sebagian besar berkisah tentang liku-liku kehidupan para TKW di Hongkong, permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi baik dengan sang majikan, anak majikan, dengan sesama TKW dari Indonesia ataupun TKW dari Filipina dan Thailand.  Di balik semua permasalahan itu tersirat perjuangan seorang wanita untuk dapat bertindak lebih dari hanya sekedar pembantu, yaitu mempertajam intelektual dengan cara menulis. Sisi feminisme inilah yang hendak dikaji penulis untuk mengetahui sejauh mana cerpenis buruh migrant memandang dan menilai perempuan pekerja (buruh)  berjuang menyejajarkan dirinya dengan kaum lelaki.

Kata kunci : kritik sastra feminisme, sastra migran, patriarki, citra wanita
                                          



Pendahuluan                                                              
Karya sastra berupa cerita pendek saat ini tidak lagi didominasi oleh para sastrawan dan intelektual (kaum berpendidikan). Seorang buruh migran atau TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hongkong ternyata juga mampu menghasilkan karya sastra yang dapat memberikan nuansa baru dalam kesusastraan Indonesia. Dari segi isi dan kualitas memang para pengarang ini masih kurang begitu baik, namun gagasan-gagasannya tentang  bagaimana  kisah hidup mereka di Hongkong sebagai pembantu cukup membuka mata kita tentang dunia baru di sana yaitu dunia perburuhan.
Dari segi  feminisme, para pengarang buruh migran ini telah membuktikan perjuangannya dalam menyejajarkan kedudukan mereka dengan kaum laki-laki. Mereka juga ingin membuktikan bahwa wanita yang bekerja sebagai buruh atau pembantu rumah tangga bukanlah wanita yang lemah, mudah menyerah, dan selalu berada pada posisi di bawah. Mereka menunjukkan eksistensi dirinya dengan berkarya.
Dalam kumpulan cerpen Penari Naga kecil, Tarini memberi suguhan cerita yang ringan dengan tema-tema sederhana namun penuh dengan perjuangan wanita buruh di Hongkong. Dia ingin mendobrak tatanan yang selama ini mengungkung kaum buruh migrant. Dalam hal ini, Millet dalam Sugihastuti (2002:64) menjelaskan bahwa tatanan  patriakhi yang memiliki makna tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis keturunan bapak,  telah memposisikan perempuan sebagai kelas yang cenderung menjadi objek dari kaum laki-laki. Perempuan tidak memiliki independensi dalam menentukan sikap maupun sesuatu hal yang lain. pandangan kaum perempuan dibangun dalam landasan berpikir kaum laki-laki. Perempuan kurang memiliki wewenang untuk memandang atau menentukan sesuatu berdasar pada hakikat kodrati keperempuanannya, yang tentu saja berbeda dengan kaum laki-laki.
Sejalan dengan hal itu, karya sastra yang tergolong dalam genre sastra feminis yang diusung para buruh migran ini juga menawarkan suatu ide atau gagasan yang  memandang perempuan sebagai suatu institusi yang independen dan sejajar dengan laki-laki. Mereka   memiliki kaidah-kaidah tertentu baik normatif maupun psikologis yang berbeda bahkan bertolak belakang dengan sistem yang dibangun dan dimiliki oleh laki-laki. Djajanegara (2000:51) mengungkapkan  bahwa setiap karya sastra yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan baik itu fiksi, lakon, maupun puisi dapat didekati dengan pendekatan feministik.
Annete Kollodny, salah satu tokoh kritik sastra feminis menyatakan kritik sastra feminis muncul ke permukaan guna memberikan garis yang nyata dan lugas dalam mengklasifikasikan suatu karya sastra yang mengusung nafas feminisme di dalamnya (Djajanegara,2000:19)..
Ada dua puluh tiga cerpen yang disajikan oleh Tarini Sorrita dalam kumpulan cerpennya Penari Naga Kecil yang diterbitkan oleh JP-BOOKS. Sebagian besar berkisah tentang liku-liku kehidupan para TKW di Hongkong, permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi baik dengan sang majikan, anak majikan, dengan sesama TKW dari Indonesia ataupun TKW dari Filipina dan Thailand.  Di balik semua permasalahan itu tersirat perjuangan seorang wanita untuk dapat bertindak lebih dari hanya sekedar pembantu, yaitu mempertajam intelektual dengan cara menulis.
Tarini Sorrita, pengarang kumpulan cerpen Penari Naga Kecil ini merupakan salah satu  penulis sastra migran yang aktif. Bersama dengan teman-teman yang mempunyai hobi sama, mereka membukukan karya-karyanya dengan mendapat dukungan penuh dari pak Bonari Nabonenar, Lan Fang, pak Kuswinarto dan kritikus lain. Dalam pengantarnya Bonari mengatakan bahwa dia tidak punya sedikit pun nafsu untuk membanding-bandingkan seorang  Tarini dengan, misalnya: Ayu Lestari, Nukila Amal, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, atau Wina Bojonegoro. Mereka adalah wanita-wanita hebat dalam jagad sastra Indonsia. Tetapi Tarini perempuan hebat juga yang mesti dicatat pula oleh Sastra Indonesia.
Soal kualitas Tarini jauh di atas perempuan-perempuan pengarang di atas, namun dalam tulisannya ia menggambarkan dengan sangat baik citra wanita dalam tokoh-tokoh cerpennya. Tokoh wanita yang ia gambarkan cukup mewakili kaumnya dalam berjuang menemukan eksistensi diri di dunia sastra.
Artikel ini akan membicarakan tentang citraan/gambaran tokoh utama wanita dalam kumpulan cerpen Penari Naga Kecil sebagai seorang buruh migrant di Hongkong.

Kajian Teori  
Ragam kritik sastra feminis menurut Djajanegara (2000:28-37) meliputi kritik ideologis, ginokritik, feminis sosialis/marxis dan kritik sastra feminis psikoanalitik, kritik feminis lesbian dan kritik feminis etnik.
a.       Kritik sastra feminis ideologis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Pusat perhatian pembaca wanita adalah stereotype wanita dalam karya sastra. Pada dasarnya ragam kritik ini merupakan cara menafsirkan suatu teks. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan cara berpikir mereka.
b.      Kritik sastra feminis ginokritik mengkaji masalah perbedaan antara tulisan wanita dengan tulisan laki-laki.
c.       Kritik sastra feminis sosialis/Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yakni kelas-kelas masyarakat. Kritik ini mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam karya-karya sastra lama adalah manusia-manusia tertindas, tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran. 
d.      kritik sastra feminis psikoanalitik, yaitu ragam kritik yang  bermula dari penolakan terhadap teori kompleks kastrasi Sigmund Freud yang menyatakan bahwa wanita iri pada laki-laki karena dia tidak memiliki penis. Wanita melahirkan bayi yang dianggapnya pengganti penis yang dirawat dan diasuhnya dengan kasih sayang. Oleh sebab itu, secara alami wanita memiliki ciri-ciri watak rasa kasih sayang, turut merasakan perasaan orang lain, dan kehendak untuk merawat dan mengurus orang lain. pendapat ini ditentang para feminis. Kaum feminis berpendapat bahwa wanita iri pada kekuasaan laki-laki, bukan pada penis. Kritik feminis ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita yang menampilkan tokoh-tokoh wanita.
e.       kritik feminis lesbian, mempunyai tujuan mula-mula mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna lesbian, kemudian menentukan apakah definisi tersebut dapat diterapkan pada diri penulis  atau pada teks karyanya.
f.       kritik sastra feminis-ras/etnik. Pengkritik ragam ini membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis etnik beserta karya-karyanya. Penganut kritik ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis wanita etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra tradisional dan sastra feminis.

Berdasarkan keenam jenis kritik sastra feminis tersebut, makalah ini menggunakan konsep kritik sastra ideologis. Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita sebagai pembaca. Pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta stereotype wanita dalam karya sastra. Sedangkan kelima ragam kritik sastra feminis lainnya tidak digunakan dalam menganalisis karya sastra ini karena teori di dalamnya kurang tepat jika dipakai dalam mengupas cerpen-cerpen karya Tarini.
Jenis kritik sastra feminis ideologis ini digunakan karena pertama, kumpulan cerpen Penari Naga Kecil ini mengisahkan tokoh utama seorang  wanita. Kedua, citra wanita yang terekspresi lewat tokoh wanita dalam cerpen ini menarik untuk dikaji terutama dikaitkan dengan stereotype wanita dalam budaya patriarkhat. Ketiga, penggambaran tokoh utama wanita dalam cerpen ini memiliki semangat juang yang tinggi  jika dikaitkan dengan semangat feminis.
Sosok perempuan dalam budaya patriarkhat di Indonesia menduduki posisi yang rentan dan cenderung   tersisih atau termarjinalkan. Perempuan menduduki posisi kelas yang lebih rendah dan kurang diberi kesempatan untuk mengimplementasikan dirinya. Endraswara, (2004:143) menyatakan sampai sekarang paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita dan dominasi pria selalu lebih kuat. Figure pria terus menjadi the authority, sehingga mengasumsikan bahwa wanita adalah impian. Wanita selalu sebagai the second   sex, warga kelas dua dan tersubordinasi.
Pada budaya patriarkat, gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminine. Biasanya maskulin ditempati oleh jenis kelamin laki-laki, sedangkan feminine oleh jenis kelamin perempuan. Konsep ini kemudian melahirkan stereotype perempuan dan laki-laki. Perempuan bersifat lembut, cantik, emosional dan keibuan; sedangkan laki-laki bersifat kuat, rasional dan perkasa  (Fakih, 2001:8). Ciri-ciri tradisional yang kemudian ditentang kaum feminis yaitu mengharuskan wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersifat pasif dan menyerah, rajin mengurus keluarga dan rumah tangga,atau memelihara domestisitas (Djajanegara,2000:5). Berkaitan dengan hal ini, Darma (2004:22) mengatakan bahwa sikap menerima nilai-nilai patriarkat, dengan sendirinya bertentangan dengan aspirasi feminisme.
Konsep/teori tersebut dalam analisis akan digunakan untuk menguji apakah tokoh-tokoh wanita dalam kumpulan cerpen PNK penggambarannya masih sama dengan stereotype perempuan dalam budaya patriarkat ataukah berbeda. Penggambaran yang sama berarti tokoh wanita tersebut tidak sesuai dengan aspirasi feminisme, tetapi jika sudah berbeda berarti sudah sesuai dengan aspirasi feminisme.
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan (Djajanegara,2000:4). Makalah ini mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan kritik sastra feminis yaitu membela wanita dalam upaya meningkatkan kedudukan dan derajatnya.

Citra Wanita dalam Cerpen Penari Naga Kecil
Citra wanita dalam budaya Indonesia yang patriarkat selalu digambarkan dengan sifat-sifat lembut, cantik, emosional dan keibuan; sebaliknya laki-laki selalu memiliki sifat kuat, rasional, dan perkasa. Selain itu wanita juga diwajibkan untuk  menjaga kesalehan serta kemurnian mereka. Wanita juga sering digambarkan sebagai manusia yang bersifat pasif dan menyerah baik itu menyerah pada keadaan atau pada yang menguasainya. Wanita dituntut rajin mengurus keluarga dan rumah tangga, dan memelihara domestisitas apa yang menjadi milik keluarga. (Djajanegara,2000:5).
Dalam cerpen-cerpennya, Tarini menolak gambaran wanita yang tersebut di atas. Dengan tokoh utama wanita sebagai buruh migran yang notabene adalah dirinya sendiri, dia ingin menunjukkan bahwa posisi wanita  (khususnya pembantu) yang termarjinalkan bisa dikikis dengan usaha keras, belajar giat, dan sikap tidak mudah menyerah pada keadaan. Usaha-usaha inilah yang ingin ditunjukkan dan ingin dibuktikan oleh Tarini, bahwa wanita bisa hidup, memperjuangkan nasibnya, dan bisa melakukan banyak hal seperti apa yang dilakukan oleh  laki-laki. Gambaran wanita-wanita tersebut akan diuraikan satu per satu dalam pembahasan berikut.

a.      Citra wanita kuat fisik dan mental
Jika menilik stereotipe wanita yang digambarkan di atas, yaitu lemah lembut, cantik, keibuan, dan emosional serta pasif dan menyerah pada keadaan, maka   tidak demikian halnya dengan tokoh-tokoh wanita yang ada dalam kumpulan cerpen Tarini Penari Naga Kecil. Mereka adalah wanita-wanita yang kuat baik fisik maupun mentalnya. Gambaran wanita yang kuat secara fisik ini terdapat pada kutipan berikut.
Ditengoknya jam yang ada di layar HP. Pukul 23.45 pm, tapi suami belum juga tiba. Untungnya Tasya Achrita termasuk salah satu TKI yang sabar. Tasya tak pernah mengeluh sedikit pun atas kepulangan majikannya yang selalu larut malam. Bayangkan, setiap hari Tasya baru masuk ke istananya kira-kira pukul 02.00 am. Dan harus sudah bangun pukul 05.30 am. Hanya 3 jam Tasya bisa mengistirahatkan mata dan raganya. Itupun kalau langsung bisa tidur. Lah, kadang manusia punya masalah, bahkan Tasya pernah tak tidur karena 03.45 majikan baru selesai makan malam.
(cerpen 34 hal 3)
Dalam kutipan di atas disebutkan bahwa menjadi pembantu rumah tangga di Hongkong berbeda dengan menjadi pembantu di Indonesia.  Mereka dituntut untuk lebih kuat fisiknya karena mereka harus bekerja mulai pagi hingga malam dan  tidak boleh tidur sebelum majikan  pulang bekerja dan harus melayani  makan malam majikannya. Sedangkan makan malam sang majikan bisa saja selesai pada pukul 02.00 bahkan pernah sampai pukul 03.45. Dan keesokan harinya helper (sebutan untuk pembantu) ini  harus bekerja seperti biasa lagi tanpa boleh terlambat untuk bangun pagi.
Sosok wanita yang tergambar dalam kutipan di atas  merupakan wanita yang kuat secara fisik. Dengan kondisi yang lemah karena kurang istirahat, mereka harus tetap bekerja mengurus rumah tangga majikan dan melayani apa saja perintah majikan tanpa mengenal waktu. Jika dibandingkan dengan kondisi pembantu di Indonesia maka hal ini sangat jauh berbeda karena  di Indonesia pembantu kadang  dianggap sebagai saudara sendiri dan majikan memberikan waktu istirahat cukup bagi mereka.
 Selain kuat secara fisik, para helper ini juga harus memiliki kekuatan mental. Kekuatan mental yang dimiliki tokoh wanita di sini tampak pada keberanian mereka  dalam menghadapi majikan yang beraneka macam karakter. Misalnya saja pada cerpen Celana Panjang dan Blouse Silk, tokoh pembantu di sana dengan keberaniannya membantah tuduhan majikan bahwa baju sutranya telah dicuci dengan mesin cuci bukan dengan tangan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Kamu tidak mencucinya dengan tangan, tetapi kamu cuci dengan mesin cuci!” begitulah fitnahan yang mereka lontarkan.
“Mam, biar kau bunuh sekalian diriku, ya tetap saya bilang cuci dengan tangan.”
Ternyata gertak sambal Rita mempan juga. Si perempuan agak reda, namun si lelaki tetap bersungut. (hal 24-25)

Kutipan tersebut jelas menggambarkan sosok perempuan yang harus mengerahkan keberanian dan kekuatannya untuk menjawab tuduhan dan fitnahan yang ditujukan padanya. Dengan jawaban tersebut, akhirnya sang majikan agak reda juga. Namun jika  tokoh ini hanya diam dan tidak menjawab atau menyangkal atas tuduhan yang dijatuhkan padanya maka sang majikan pasti memberi hukuman padanya.

Hal ini juga terdapat pada cerpen yang berjudul Nyonya Majikan. Tokoh utama yang juga seorang pembantu, dihadapkan pada masalah masakannya yang tidak diberi daging babi karena uang belanja yang diberikan majikan kurang. Selama ini sang pembantu harus menomboki dengan uangnya sendiri sehingga ia masak sesuai dengan selera majikan. Namun  lama-kelamaan dia menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah perbuatan yang keliru danmerugikan dirinya sendiri. Dengan sedikit keberanian dan kekuatan mental yang dimilikinya ia membantah semua tuduhan majikannya itu. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.

“Kuntari? Apa HK$200 tidak cukup buat tiga hari?”
Kuntari merasa dipojokkan. Maka ia memberanikan diri membuka semua kekecewaan yang selama ini hanya dipendamnya dalam hati.

“Mam? Maaf, bolehkah saya jujur kepada Mam? Uang belanja yang Mam berikan saya sebesar HK$400 selama satu pekan itu kurang dan saya selalu nomboki buat belanja. Memang sedikit, tapi setiap belanja selalu saja uang saya terpakai. Itu terhitung selama dua tahun dan yang saya sesalkan selama dua tahun Mam tidak pernah mengecek catatan uang belanja, atau memang pura-pura tidak tahu? Dulu Mam selalu mengecek dan kalau pakai uang saya Mam langsung mengembalikannya pada sayatanpa Tanya dan ngomong apa-apa. Tapi sudah dua tahun ini Mam tak melakukannya. Kalau dihitung sudah banyak sekali saya nomboki buat makan keluarga ini. Bukannya dapat uang ekstra atau bonus, malah saya yang buntung!”

 Dari kutipan tersebut tampak bahwa konsep  wanita sebagai  makhluk yang lemah  tidak terbukti. Sebagai wanita, sisi lemah lembut itu pasti ada, namun jika martabat dab harga diri mereka selalu diinjak maka keberanian dan kekuatan untuk menentang tirani tersebut pasti muncul. Jadi jelaslah bahwa citra wanita yang selalu lemah dan tidak berani mengambil sikap tidak ada dalam cerpen ini. Yang tergambar justru citra wanita yang kuat baik dari segi fisik dan mentalnya. 

b. Citra Wanita Aktif
Wanita juga digambarkan sebagai makhluk yang pasif. Namun tidak ada wanita pasif dalam kumpulan cerpen Tarini ini. Walaupun mereka seorang helper, mereka adalah wanita-wanita yang aktif  dalam organisasi (perkumpulan sesama TKW), aktif belajar dan mengembangkan kemampuan mereka di bidang penulisan. Selain itu mereka juga bukan wanita yang gaptek (gagap teknologi) seperti layaknya para pembantu di Indonesia. Dengan kemampuan menguasai teknologi, mereka mampu berkarya dan memperluas wawasan. Gambaran wanita yang aktif tampak pada cerpen berjudul 34.  Kutipannya adalah sebagai berikut.

“Pak, Tasya lagi nulis cerpen judulnya 34.”
“Weleh-weleh, iku sih iklan Dji Sam Soe, Tasya. Ya sudah jadikan iklan saja,” guyon pak Bonari

Akhirnya Tasya ingat akan opini “Garuda”-nya, yang dikritik oleh pak Bonari dengan mengatakannya seperti penjabaran butir-butir Pancasila, yang akhirnya menjadi juara lomba menulis opini yang diadakan Garuda.
Pak Bonari memang sudah dianggapnya bapak, kakak, bahkan teman sendiri oleh Tasya dan juga anak Kost lainnya.
Selain Mbak Arsusi, Pak Bonari, juga bapak yang terkenal dengan kumis dan berbadan kurus, yang tak lain Pak Kuswinarto. Merekalah orang-orang yang telah menghidupkan rumah Kossta didukung oleh anggota lainnya.
Mereka punya arti penting bagi anak-anak Kossta. Kepiawaian mereka dalam tulis-menulis dan sastra, telah memberikan nuansa baru bagi TKI yang mau berkarya. (cerpen 34, hal 4)

Dari kutipan di atas jelas tergambar bahwa wanita pekerja di Hongkong adalah wanita yang aktif. Mereka bukan hanya sekedar rajin mengurus rumah tangga majikan, masak dan momong, namun mereka juga membentuk suatu organisasi atau  perkumpulan  di CafĂ© de Kossta. Dalam organisasi ini mereka belajar berkarya, misalnya menulis puisi, cerpen dan esai. Mereka ingin membuktikan bahwa wanita buruh juga mampu memajukan dirinya seperti laki-laki.
 Perkumpulan yang mereka bentuk ini  didukung oleh para penulis yang sudah terkenal seperi pak Bonari Nabonenar dan juga Lan Fang. Mereka selalu memberikan motivasi dan masukan-masukan berupa kritik saran berkenaan dengan apa yang telah ditulis oleh para buruh ini. Dukungan ini ternyata mampu  menumbuhkan motivasi yang kuat bagi para helper ini untuk selalu rajin menulis  dan rajin membaca. Hal ini kemudiandibuktikan dengan prestasi yang diraih oleh Tarini yang berhasil meraih juara penulisan opini yang diadakan oleh maskapai Garuda Indonesia.
Tokoh wanita dalam cerpen ini juga digambarkan sebagai wanita yang ingin maju dengan cara menguasai bahasa Inggris. Dengan menguasai bahasa tersebut, mereka akan mampu bertahan hidup di Hongkong dan mampu mengembangkan keilmuannya.Walaupun kemampuan berbahasa Inggris mereka belum dapat dikatakan baik namun dalam setiap kesempatan mereka berusaha menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“How are you today?”
“I’m doing good. You like to have a drink? If you wish too.”
“Oke tell me, what you wish!”
“Give me a coca cola, please.”
……
You wrong, not just mother but father, too. No mother. Oke you know James without father, mother will not get the baby. Only if God willing that is different say. And now we laugh together. (halaman 36-37)

Kutipan tersebut sebenarnya menggambarkan diri pengarang sendiri yakni Tarini yang ingin menunjukkan kemampuannya dalam menggunakan bahasa Inggris dalam cerpennya.

c. Citra Wanita yang tidak Mudah Menyerah
Konsep patriarkat juga menganggap bahwa wanita adalah makhluk yang biasanya mudah menyerah pada keadaan atau nasib.  Tarini Sorita ingin membuktikan  bahwa wanita (khususnya buruh migrant)  bukanlah tipe wanita yang mudah menyerah. Mereka adalah makhluk tangguh yang mampu mengubah nasib mereka sendiri ke arah yang lebih baik. Banyak hal-hal yang mereka lakukan untuk mengubah nasib itu, antara lain dengan belajar menguasai teknologi, rajin belajar dengan cara  ke perpustakaan dan yang terpenting banyak bergaul khususnya dengan para penulis dan kritikus seperti Lan Fang dan Pak Bonari Nabonenar. Hal tersebut tampak pada kutipan cerpen Batal halaman 16
Setelah Maria menjadi anak belajarnya Kossta, banyak kebiasaannya yang berubah. Seperti pagi itu, walau malas yang tak ketulungan , Maria pun mencoba membuka layar Kossta juga. Baru terbuka layarnya. Maria langsung klik inbox. Di situlah semua tersimpan kiriman message dari teman Maria yang suka berinternetria, tak terkecuali anak- Kossta.
“Klik,” Dianli terbuka pesannya.
“Wah, ini anak lagi keranjingan setan depresi rupanya, semua tumplek blek  ditulis. Dianli memang salah satu anak Kossta yang punya otak tokcer, apalagi kalau sudah berpuisi ria.”
Turun ke bawah ada Lan Fang, yang berkomentar tentang menyambut bulan suci Ramadhan. Kalau bulan suci umat Islam ini datang, bukan hanya umat Islam-nya yang menyambut, semua penganut yang lain pun ikut sibuk.
Kini giliran e-mail kiriman dari Lusia dan Bonari, juga Arie yang belum dibuka. Akhirnya Maria pun tak tahan untuk segera membalas e-mail mereka. Bet! Layar computer seketika gelap. Ugh! Sial! Mesin cuci ini pasti deh anjlok lagi.

Juga pada kutipan cerpen Diskotik halaman 26

Tak seperti Minggu biasanya, hari itu Rini dan Gilang jalan bersama. Pintu perpustakaan di Cause Way membuka secara otomatis. Semua insan yang didepannya baik yang mau masuk ataupun keluar tak usah bersusah payah mendorong pintu.
Tokoh wanita dalam cerpen ini digambarkan sebagai wanita yang suka membaca di perpustakaan pada hari liburnya.  Selain mengembangkan hoby membacanya mereka juga rajin menulis. Kebiasaan baik ini  juga ingin mereka tularkan  pada teman-teman sesama TKW, walaupun kadang juga ada yang malas membaca. Tetapi semangat mereka untuk terus berkarya tidak pernah padam. Seperti tampak pada kutipan berikut.

Diambilnya “Rini Widyawati” dan “Bonari”, kemudian turun sambil tak lupa menyabet kunci.
“Anu Rin, maaf, ini saya kembalikan, soalnya kebanyakan mereka padha males, nek ngebaca, tapi kalau chatingan, kartu telepon, mereka rakus melahapnya alias membelinya.  “Saya juga heran, kenapa hanya $ 25,- untuk satu buah buku, mereka tak mampu membeli, tapi bayar bill yang sampai jutaan kalau dirupiahkan, dia rela ngeluarin,” sesal Tuti.
“Yah, udah Mbak jangan ngambek kayak gitu. Mungkin mereka lagi nggak suka baca. Ya tawarin ke yang mau beli dan suka membaca.”


Implementasi Diri Wanita dalam Penari Naga Kecil

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sosok perempuan dalam budaya patriarkhat menduduki posisi yang rentan dan cenderung   tersisih atau termarjinalkan. Perempuan menduduki posisi kelas yang lebih rendah dan kurang diberi kesempatan untuk mengimplementasikan dirinya. Dalam hal ini, Tarini berupaya mendobrak budaya itu. Meskipun hanya sebagai TKW yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, mereka juga ingin tampil di depan mengimplementasikan dirinya dengan cara menulis cerpen, essay, dan puisi.
Mereka  ingin memperjuangkan nasib dan menyuarakannya lewat karya-karyanya. Dengan demikian masyarakat pembaca mengetahui apa saja yang terjadi ketika mereka menjadi pahlawan devisa Negara di Hongkong. Mereka tidak ingin namanya tercantum di koran hanya karena kasus pelecehan, penyiksaan dan mungkin pembunuhan. Mereka ingin nama dan keberadaannya juga diakui sebagai sastrawan walaupun hanya sekedar sastrawan migrant. Berikut ini adalah kutipannya.
“Buku apalagi, Rin?”
“Ini Cinta Merah Jambu dan Catatan Harian Seorang Pramuwisma.”
“Yang kamu jual kemarin Kisi-kisi Hati Cinta.”
“Wah, kamu pinter ya?” tanyanya.
“Nggak pinter sih, ya lumayan buat pengisi waktu. Tapi ini bukan karya saya, ini karya temen-temen yang udah sanggup membukukan karya mereka. (cerpen Buku halaman 19)

Akhirnya Tasya ingat akan opini “Garuda”-nya, yang dikritik oleh pak Bonari dengan mengatakannya seperti penjabaran butir-butir Pancasila, yang akhirnya menjadi juara lomba menulis opini yang diadakan Garuda (cerpen 34).

Dari kutipan tersebut, tampak jelas bahwa para buruh migrant ini tidak hanya sekedar ingin mencari nafkah untuk  memnehi kebutuhan hidup keluarga di kampong namun mereka juga ingin mengimplementasikan  dirinya di hadapan public pembaca sastra.

Citra Wanita yang Tidak Emosional dalam Menghadapi Hegemoni Pria
Selanjutnya Endraswara, (2004:143) juga  menyatakan bahwa sampai sekarang paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita dan dominasi pria selalu lebih kuat. Sejalan dengan itu, Tarini juga mengisahkan hegemoni pria terhadap wanita dalam cerpen yang berjudul Burung Pak Komar. Setting tempat dalam cerpen tersebut bukan lagi di Hongkong melainkan di tanah airnya sendiri yaitu Indonesia. Di sini masih tampak  garis patriarkat yang sangat kental.
  Tokoh utama yang dikisahkan dalam cerpen ini  adalah Pak Komar dan istrinya yaitu Bu Komar. Ketika menjelang lebaran istri Pak Komar pun sibuk membuat dodol di dapur hingga pukul 23.00.  Pak Komar agak sewot karena dirinya dicuekin.  Untuk menunjukkan hegemoni atau kekuasaannya, yang biasa dilakukan oleh laki-laki adalah marah-marah. Hal tersebut juga ada pada kutipan berikut.
“Sekarang sudah, kamu juga tak usah mengurusi dodol ketanmu. Lebih baik kau urusi diriku!”
“Ini juga pentinglah! Kalau esok hari dodolnya belum bisa dimakan, mengecewakan yang makan.”
“Pokoknya, hentikannnnnnn… buat dodolnya!”
Wah, pak Komar serasa keranjingan dedemit. Kini penyabarnya hilang, seketika menjadi pemarah. Bu Kantil tanggap. Dodol yang dalam keadaan tanggung ditinggalkannya.
“Ayo Pak, kita selesaikan semua masalah supaya beres.”
Kini senyum Pak Komar sedikit mengembang.
Alhamdulillah, jitu juga caraku,’ pikir Pak Komar.
                                                             (Burung Pak Komar, halaman 91)

Dari kutipan tersebut penulis ingin menunjukkan bahwa sebenarnya laki-laki lebih emosional dibandingkan dengan wanita. Senjata yang bernama ‘marah’ sering digunakan untuk menunjukkan kekuasaannya. Dengan marah ia berharap wanita takut dan menuruti apa yang dikehendakinya tanpa mau tahu bahwa si wanita sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Sedangkan tokoh wanita dalam cerpen in digambarkan sebagai orang yang sabar  atau tidak emosional dalam menghadapi suatu masalah.

Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, kumpulan cerpen Penari Naga Kecil karya Tarini Sorrita ternyata berhasil menguak kehidupan buruh migrant khususnya yang bekerja di Hongkong. Kehidupan para TKW yang sering muncul di  surat kabar biasanya hanya mengisahkan nasib mereka yang disiksa oleh majikan, diperkosa, bahkan ada yang dibunuh. Dengan tulisan-tulisannya, Tarini ingin menunjukkan bahwa wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong bukanlah wanita lemah, yang mudah menyerah pada nasib dan keadaan. Mereka adalah wanita yang kuat, yang mandiri, dan mampu menyejajarkan kedudukan mereka dengan kaum laki-laki.
Citra wanita yang selama ini tergambar dalam kehidupan patriarkat tidak kita temukan dalam kumpulan cerpen Tarini Sorita. Para TKW yang digambarkan adalah wanita kuat, pemberani, tidak mudah menyerah, dan ingin mengimplementasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian apa yang diperjuangkan Tarini sebagai wanita melalui cerpen-cerpennya bisa dikatakan berhasil karena dia mampu menunjukkan sosok wanita yang kuat dan tak termarjinalkan. Melalui tokoh-tokohnya itu penulis  ingin menunjukkan bahwa wanita bisa tampil bersama dan sejajar dengan laki-laki. Untuk mencapai tujuan itu seorang wanita harus rajin membaca, rajin menulis, belajar teknologi supaya tidak gaptek, dan yang terpenting adalah memperluas pergaulannya (tidak kuper).



Daftar Pustaka

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa

Djajanegara, Sunarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta:      PT.Gramedia.

Fakih, Mansoer. 2001. Analisis Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sorrita, Tarini. 2006. Penari Naga Kecil. Surabaya: JP BOOKS.

Sugihastuti .2002. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar