CITRA WANITA DALAM PENARI NAGA KECIL TARINI SORRITA
Sebuah Kajian Feminisme
Abstrak
Kumpulan
cerpen Penari Naga kecil oleh Tarini Sorita memberi suguhan ringan dan sederhana. Namun
dibalik itu, kisahnya yang penuh
perjuangan sebagai buruh migran di Hongkong sangat menarik untuk dicermati.
Perjuangannya dan teman-teman TKW dalam menunjukkan eksistensi dan kemampuan
diri yang sama dengan kaum lelaki.
Untuk mengkaji kumpulan cerpen ini, penulis menggunakan pisau bedah kritik
sastra feminis karena isi cerpen banyak mengandung perjuangan perempuan yang
bekerja sebagai buruh migrant. Millet dalam Sugihastuti (2002:64)
menjelaskan tatanan patriakhi (garis keturunan bapak),
telah memposisikan perempuan sebagai kelas yang cenderung menjadi
objek kaum laki-laki. Perempuan tidak
memiliki independensi dalam menentukan sikap maupun hal yang lain. Perempuan
kurang memiliki wewenang untuk memandang atau menentukan sesuatu berdasar pada
hakikat kodrati keperempuanannya, yang tentu saja berbeda dengan kaum
laki-laki.
Kumpulan cerpen ini berisi dua puluh tiga cerpen. Sebagian besar
berkisah tentang liku-liku kehidupan para TKW di Hongkong,
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi baik dengan sang majikan, anak
majikan, dengan sesama TKW dari Indonesia
ataupun TKW dari Filipina dan Thailand. Di balik semua permasalahan itu tersirat
perjuangan seorang wanita untuk dapat bertindak lebih dari hanya sekedar
pembantu, yaitu mempertajam intelektual dengan cara menulis. Sisi feminisme inilah yang hendak dikaji penulis
untuk mengetahui sejauh mana cerpenis buruh migrant memandang dan menilai
perempuan pekerja (buruh) berjuang
menyejajarkan dirinya dengan kaum lelaki.
Kata kunci : kritik
sastra feminisme, sastra migran, patriarki, citra wanita
Pendahuluan
Karya sastra berupa cerita pendek saat
ini tidak lagi didominasi oleh para sastrawan dan intelektual (kaum
berpendidikan). Seorang buruh migran atau TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hongkong
ternyata juga mampu menghasilkan karya sastra yang dapat memberikan nuansa baru
dalam kesusastraan Indonesia. Dari segi isi dan kualitas memang para pengarang
ini masih kurang begitu baik, namun gagasan-gagasannya tentang bagaimana
kisah hidup mereka di Hongkong sebagai pembantu cukup membuka mata kita
tentang dunia baru di sana
yaitu dunia perburuhan.
Dari segi
feminisme, para pengarang buruh migran ini telah membuktikan
perjuangannya dalam menyejajarkan kedudukan mereka dengan kaum laki-laki.
Mereka juga ingin membuktikan bahwa wanita yang bekerja sebagai buruh atau
pembantu rumah tangga bukanlah wanita yang lemah, mudah menyerah, dan selalu
berada pada posisi di bawah. Mereka menunjukkan eksistensi dirinya dengan
berkarya.
Dalam kumpulan cerpen Penari Naga kecil,
Tarini memberi suguhan cerita yang ringan dengan tema-tema sederhana namun
penuh dengan perjuangan wanita buruh di Hongkong. Dia ingin mendobrak tatanan
yang selama ini mengungkung kaum buruh migrant. Dalam hal ini, Millet dalam
Sugihastuti (2002:64) menjelaskan bahwa tatanan
patriakhi yang memiliki makna tata kekeluargaan yang sangat mementingkan
garis keturunan bapak, telah
memposisikan perempuan sebagai kelas yang cenderung menjadi objek dari kaum
laki-laki. Perempuan tidak memiliki independensi dalam menentukan sikap maupun
sesuatu hal yang lain. pandangan kaum perempuan dibangun dalam landasan
berpikir kaum laki-laki. Perempuan kurang memiliki wewenang untuk memandang
atau menentukan sesuatu berdasar pada hakikat kodrati keperempuanannya, yang tentu
saja berbeda dengan kaum laki-laki.
Sejalan dengan hal itu, karya sastra yang
tergolong dalam genre sastra feminis yang diusung para buruh migran ini juga
menawarkan suatu ide atau gagasan yang
memandang perempuan sebagai suatu institusi yang independen dan sejajar
dengan laki-laki. Mereka memiliki
kaidah-kaidah tertentu baik normatif maupun psikologis yang berbeda bahkan
bertolak belakang dengan sistem yang dibangun dan dimiliki oleh laki-laki.
Djajanegara (2000:51) mengungkapkan
bahwa setiap karya sastra yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan baik
itu fiksi, lakon, maupun puisi dapat didekati dengan pendekatan feministik.
Annete Kollodny, salah satu tokoh kritik
sastra feminis menyatakan kritik sastra feminis muncul ke permukaan guna
memberikan garis yang nyata dan lugas dalam mengklasifikasikan suatu karya
sastra yang mengusung nafas feminisme di dalamnya (Djajanegara,2000:19)..
Ada dua puluh tiga cerpen yang disajikan
oleh Tarini Sorrita dalam kumpulan cerpennya Penari Naga Kecil yang diterbitkan oleh JP-BOOKS. Sebagian besar
berkisah tentang liku-liku kehidupan para TKW di Hongkong,
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi baik dengan sang majikan, anak
majikan, dengan sesama TKW dari Indonesia
ataupun TKW dari Filipina dan Thailand. Di balik semua permasalahan itu tersirat
perjuangan seorang wanita untuk dapat bertindak lebih dari hanya sekedar
pembantu, yaitu mempertajam intelektual dengan cara menulis.
Tarini Sorrita, pengarang kumpulan cerpen
Penari Naga Kecil ini merupakan salah
satu penulis sastra migran yang aktif.
Bersama dengan teman-teman yang mempunyai hobi sama, mereka membukukan
karya-karyanya dengan mendapat dukungan penuh dari pak Bonari Nabonenar, Lan
Fang, pak Kuswinarto dan kritikus lain. Dalam pengantarnya Bonari mengatakan
bahwa dia tidak punya sedikit pun nafsu untuk membanding-bandingkan
seorang Tarini dengan, misalnya: Ayu
Lestari, Nukila Amal, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, Ratna
Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, atau Wina Bojonegoro. Mereka adalah
wanita-wanita hebat dalam jagad sastra Indonsia. Tetapi Tarini perempuan hebat
juga yang mesti dicatat pula oleh Sastra Indonesia.
Soal kualitas Tarini jauh di atas
perempuan-perempuan pengarang di atas, namun dalam tulisannya ia menggambarkan
dengan sangat baik citra wanita dalam tokoh-tokoh cerpennya. Tokoh wanita yang
ia gambarkan cukup mewakili kaumnya dalam berjuang menemukan eksistensi diri di
dunia sastra.
Artikel ini akan membicarakan tentang citraan/gambaran tokoh utama
wanita dalam kumpulan cerpen Penari Naga
Kecil sebagai seorang buruh migrant di Hongkong.
Kajian Teori
Ragam kritik sastra feminis menurut
Djajanegara (2000:28-37) meliputi kritik ideologis, ginokritik, feminis
sosialis/marxis dan kritik sastra feminis psikoanalitik, kritik feminis lesbian
dan kritik feminis etnik.
a. Kritik sastra feminis ideologis ini
melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Pusat perhatian
pembaca wanita adalah stereotype wanita dalam karya sastra. Pada dasarnya ragam
kritik ini merupakan cara menafsirkan suatu teks. Cara ini bukan saja
memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan cara berpikir
mereka.
b. Kritik sastra feminis ginokritik
mengkaji masalah perbedaan antara tulisan wanita dengan tulisan laki-laki.
c. Kritik sastra feminis sosialis/Marxis
meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yakni kelas-kelas
masyarakat. Kritik ini mencoba menunjukkan bahwa tokoh-tokoh wanita dalam
karya-karya sastra lama adalah manusia-manusia tertindas, tenaganya dimanfaatkan
untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa menerima bayaran.
d. kritik sastra feminis psikoanalitik,
yaitu ragam kritik yang bermula dari
penolakan terhadap teori kompleks kastrasi Sigmund Freud yang menyatakan bahwa
wanita iri pada laki-laki karena dia tidak memiliki penis. Wanita melahirkan
bayi yang dianggapnya pengganti penis yang dirawat dan diasuhnya dengan kasih
sayang. Oleh sebab itu, secara alami wanita memiliki ciri-ciri watak rasa kasih
sayang, turut merasakan perasaan orang lain, dan kehendak untuk merawat dan
mengurus orang lain. pendapat ini ditentang para feminis. Kaum feminis
berpendapat bahwa wanita iri pada kekuasaan laki-laki, bukan pada penis. Kritik
feminis ini diterapkan pada tulisan-tulisan wanita yang menampilkan tokoh-tokoh
wanita.
e. kritik feminis lesbian, mempunyai
tujuan mula-mula mengembangkan suatu definisi yang cermat tentang makna
lesbian, kemudian menentukan apakah definisi tersebut dapat diterapkan pada
diri penulis atau pada teks karyanya.
f. kritik sastra feminis-ras/etnik. Pengkritik
ragam ini membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis etnik beserta
karya-karyanya. Penganut kritik ini berusaha mendapatkan pengakuan bagi penulis
wanita etnik dan karyanya, baik dalam kajian wanita maupun dalam kanon sastra
tradisional dan sastra feminis.
Berdasarkan keenam jenis kritik sastra
feminis tersebut, makalah ini menggunakan konsep kritik sastra ideologis.
Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita sebagai pembaca. Pusat perhatian
pembaca wanita adalah citra serta stereotype wanita dalam karya sastra.
Sedangkan kelima ragam kritik sastra feminis lainnya tidak digunakan dalam
menganalisis karya sastra ini karena teori di dalamnya kurang tepat jika
dipakai dalam mengupas cerpen-cerpen karya Tarini.
Jenis kritik sastra feminis ideologis ini
digunakan karena pertama, kumpulan cerpen Penari
Naga Kecil ini mengisahkan tokoh utama seorang wanita. Kedua, citra wanita yang terekspresi
lewat tokoh wanita dalam cerpen ini menarik untuk dikaji terutama dikaitkan
dengan stereotype wanita dalam budaya patriarkhat. Ketiga, penggambaran tokoh
utama wanita dalam cerpen ini memiliki semangat juang yang tinggi jika dikaitkan dengan semangat feminis.
Sosok perempuan dalam budaya patriarkhat
di Indonesia menduduki posisi yang rentan dan cenderung tersisih atau termarjinalkan. Perempuan
menduduki posisi kelas yang lebih rendah dan kurang diberi kesempatan untuk
mengimplementasikan dirinya. Endraswara, (2004:143) menyatakan sampai sekarang
paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita
dan dominasi pria selalu lebih kuat. Figure pria terus menjadi the authority,
sehingga mengasumsikan bahwa wanita adalah impian. Wanita selalu sebagai the
second sex, warga kelas dua dan
tersubordinasi.
Pada budaya patriarkat, gender membagi
atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminine. Biasanya maskulin
ditempati oleh jenis kelamin laki-laki, sedangkan feminine oleh jenis kelamin
perempuan. Konsep ini kemudian melahirkan stereotype perempuan dan laki-laki.
Perempuan bersifat lembut, cantik, emosional dan keibuan; sedangkan laki-laki
bersifat kuat, rasional dan perkasa
(Fakih, 2001:8). Ciri-ciri tradisional yang kemudian ditentang kaum
feminis yaitu mengharuskan wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka,
bersifat pasif dan menyerah, rajin mengurus keluarga dan rumah tangga,atau
memelihara domestisitas (Djajanegara,2000:5). Berkaitan dengan hal ini, Darma
(2004:22) mengatakan bahwa sikap menerima nilai-nilai patriarkat, dengan
sendirinya bertentangan dengan aspirasi feminisme.
Konsep/teori tersebut dalam analisis akan
digunakan untuk menguji apakah tokoh-tokoh wanita dalam kumpulan cerpen PNK
penggambarannya masih sama dengan stereotype perempuan dalam budaya patriarkat
ataukah berbeda. Penggambaran yang sama berarti tokoh wanita tersebut tidak
sesuai dengan aspirasi feminisme, tetapi jika sudah berbeda berarti sudah
sesuai dengan aspirasi feminisme.
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan
kedudukan dan derajat perempuan (Djajanegara,2000:4). Makalah ini mempunyai
tujuan yang sama dengan tujuan kritik sastra feminis yaitu membela wanita dalam
upaya meningkatkan kedudukan dan derajatnya.
Citra Wanita dalam
Cerpen Penari Naga Kecil
Citra wanita dalam budaya Indonesia yang
patriarkat selalu digambarkan dengan sifat-sifat lembut, cantik, emosional dan
keibuan; sebaliknya laki-laki selalu memiliki sifat kuat, rasional, dan
perkasa. Selain itu wanita juga diwajibkan untuk menjaga kesalehan serta kemurnian mereka.
Wanita juga sering digambarkan sebagai manusia yang bersifat pasif dan menyerah
baik itu menyerah pada keadaan atau pada yang menguasainya. Wanita dituntut
rajin mengurus keluarga dan rumah tangga, dan memelihara domestisitas apa yang
menjadi milik keluarga. (Djajanegara,2000:5).
Dalam cerpen-cerpennya, Tarini menolak
gambaran wanita yang tersebut di atas. Dengan tokoh utama wanita sebagai buruh
migran yang notabene adalah dirinya sendiri, dia ingin menunjukkan bahwa posisi
wanita (khususnya pembantu) yang
termarjinalkan bisa dikikis dengan usaha keras, belajar giat, dan sikap tidak
mudah menyerah pada keadaan. Usaha-usaha inilah yang ingin ditunjukkan dan
ingin dibuktikan oleh Tarini, bahwa wanita bisa hidup, memperjuangkan nasibnya,
dan bisa melakukan banyak hal seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki. Gambaran wanita-wanita tersebut
akan diuraikan satu per satu dalam pembahasan berikut.
a.
Citra wanita
kuat fisik dan mental
Jika menilik stereotipe wanita yang
digambarkan di atas, yaitu lemah lembut, cantik, keibuan, dan emosional serta
pasif dan menyerah pada keadaan, maka
tidak demikian halnya dengan tokoh-tokoh wanita yang ada dalam kumpulan
cerpen Tarini Penari Naga Kecil.
Mereka adalah wanita-wanita yang kuat baik fisik maupun mentalnya. Gambaran
wanita yang kuat secara fisik ini terdapat pada kutipan berikut.
Ditengoknya jam yang ada
di layar HP. Pukul 23.45 pm, tapi suami belum juga tiba. Untungnya Tasya
Achrita termasuk salah satu TKI yang sabar. Tasya tak pernah mengeluh sedikit
pun atas kepulangan majikannya yang selalu larut malam. Bayangkan, setiap hari
Tasya baru masuk ke istananya kira-kira pukul 02.00 am. Dan harus sudah bangun
pukul 05.30 am. Hanya 3 jam Tasya bisa mengistirahatkan mata dan raganya.
Itupun kalau langsung bisa tidur. Lah, kadang manusia punya masalah, bahkan
Tasya pernah tak tidur karena 03.45 majikan baru selesai makan malam.
(cerpen 34 hal 3)
Dalam kutipan di atas disebutkan bahwa
menjadi pembantu rumah tangga di Hongkong berbeda dengan menjadi pembantu di
Indonesia. Mereka dituntut untuk lebih
kuat fisiknya karena mereka harus bekerja mulai pagi hingga malam dan tidak boleh tidur sebelum majikan pulang bekerja dan harus melayani makan malam majikannya. Sedangkan makan malam
sang majikan bisa saja selesai pada pukul 02.00 bahkan pernah sampai pukul
03.45. Dan keesokan harinya helper
(sebutan untuk pembantu) ini harus
bekerja seperti biasa lagi tanpa boleh terlambat untuk bangun pagi.
Sosok wanita yang tergambar dalam kutipan
di atas merupakan wanita yang kuat
secara fisik. Dengan kondisi yang lemah karena kurang istirahat, mereka harus
tetap bekerja mengurus rumah tangga majikan dan melayani apa saja perintah
majikan tanpa mengenal waktu. Jika dibandingkan dengan kondisi pembantu di Indonesia maka hal ini sangat jauh berbeda
karena di Indonesia pembantu kadang dianggap sebagai saudara sendiri dan majikan
memberikan waktu istirahat cukup bagi mereka.
Selain kuat secara fisik, para helper ini juga
harus memiliki kekuatan mental. Kekuatan mental yang dimiliki tokoh wanita di
sini tampak pada keberanian mereka dalam
menghadapi majikan yang beraneka macam karakter. Misalnya saja pada cerpen Celana Panjang dan Blouse Silk, tokoh
pembantu di sana dengan keberaniannya membantah tuduhan majikan bahwa baju
sutranya telah dicuci dengan mesin cuci bukan dengan tangan. Hal ini tampak
pada kutipan berikut.
“Kamu tidak mencucinya
dengan tangan, tetapi kamu cuci dengan mesin cuci!” begitulah fitnahan yang
mereka lontarkan.
“Mam, biar kau bunuh
sekalian diriku, ya tetap saya bilang cuci dengan tangan.”
Ternyata gertak sambal
Rita mempan juga. Si perempuan agak reda, namun si lelaki tetap bersungut. (hal
24-25)
Kutipan tersebut jelas menggambarkan sosok
perempuan yang harus mengerahkan keberanian dan kekuatannya untuk menjawab
tuduhan dan fitnahan yang ditujukan padanya. Dengan jawaban tersebut, akhirnya
sang majikan agak reda juga. Namun jika
tokoh ini hanya diam dan tidak menjawab atau menyangkal atas tuduhan
yang dijatuhkan padanya maka sang majikan pasti memberi hukuman padanya.
Hal ini juga terdapat pada cerpen yang
berjudul Nyonya Majikan. Tokoh utama
yang juga seorang pembantu, dihadapkan pada masalah masakannya yang tidak
diberi daging babi karena uang belanja yang diberikan majikan kurang. Selama
ini sang pembantu harus menomboki dengan uangnya sendiri sehingga ia masak
sesuai dengan selera majikan. Namun
lama-kelamaan dia menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah perbuatan
yang keliru danmerugikan dirinya sendiri. Dengan sedikit keberanian dan
kekuatan mental yang dimilikinya ia membantah semua tuduhan majikannya itu.
Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
“Kuntari?
Apa HK$200 tidak cukup buat tiga hari?”
Kuntari merasa dipojokkan. Maka ia
memberanikan diri membuka semua
kekecewaan yang selama ini hanya dipendamnya dalam hati.
“Mam? Maaf, bolehkah saya jujur kepada Mam?
Uang belanja yang Mam berikan saya sebesar HK$400 selama satu pekan itu kurang
dan saya selalu nomboki buat belanja. Memang sedikit, tapi setiap belanja
selalu saja uang saya terpakai. Itu terhitung selama dua tahun dan yang saya
sesalkan selama dua tahun Mam tidak pernah mengecek catatan uang belanja, atau
memang pura-pura tidak tahu? Dulu Mam selalu mengecek dan kalau pakai uang saya
Mam langsung mengembalikannya pada sayatanpa Tanya dan ngomong apa-apa. Tapi
sudah dua tahun ini Mam tak melakukannya. Kalau dihitung sudah banyak sekali
saya nomboki buat makan keluarga ini. Bukannya dapat uang ekstra atau bonus,
malah saya yang buntung!”
Dari kutipan tersebut tampak bahwa konsep wanita sebagai makhluk yang lemah tidak terbukti. Sebagai wanita, sisi lemah
lembut itu pasti ada, namun jika martabat dab harga diri mereka selalu diinjak
maka keberanian dan kekuatan untuk menentang tirani tersebut pasti muncul. Jadi
jelaslah bahwa citra wanita yang selalu lemah dan tidak berani mengambil sikap
tidak ada dalam cerpen ini. Yang tergambar justru citra wanita yang kuat baik
dari segi fisik dan mentalnya.
b. Citra Wanita Aktif
Wanita juga digambarkan sebagai makhluk
yang pasif. Namun tidak ada wanita pasif dalam kumpulan cerpen Tarini ini.
Walaupun mereka seorang helper,
mereka adalah wanita-wanita yang aktif
dalam organisasi (perkumpulan sesama TKW), aktif belajar dan mengembangkan
kemampuan mereka di bidang penulisan. Selain itu mereka juga bukan wanita yang
gaptek (gagap teknologi) seperti layaknya para pembantu di Indonesia. Dengan
kemampuan menguasai teknologi, mereka mampu berkarya dan memperluas wawasan.
Gambaran wanita yang aktif tampak pada cerpen berjudul 34. Kutipannya adalah sebagai berikut.
“Pak, Tasya lagi nulis cerpen judulnya 34.”
“Weleh-weleh, iku sih iklan Dji Sam Soe,
Tasya. Ya sudah jadikan iklan saja,” guyon pak Bonari
Akhirnya Tasya ingat akan opini “Garuda”-nya, yang
dikritik oleh pak Bonari dengan mengatakannya seperti penjabaran butir-butir
Pancasila, yang akhirnya menjadi juara lomba menulis opini yang diadakan
Garuda.
Pak Bonari memang sudah
dianggapnya bapak, kakak, bahkan teman sendiri oleh Tasya dan juga anak Kost lainnya.
Selain Mbak Arsusi, Pak
Bonari, juga bapak yang terkenal dengan kumis dan berbadan kurus, yang tak lain
Pak Kuswinarto. Merekalah orang-orang yang telah menghidupkan rumah Kossta
didukung oleh anggota lainnya.
Mereka punya arti penting
bagi anak-anak Kossta. Kepiawaian mereka dalam tulis-menulis dan sastra, telah
memberikan nuansa baru bagi TKI yang mau berkarya. (cerpen 34, hal 4)
Dari kutipan di atas jelas tergambar
bahwa wanita pekerja di Hongkong adalah wanita yang aktif. Mereka bukan hanya
sekedar rajin mengurus rumah tangga majikan, masak dan momong, namun mereka
juga membentuk suatu organisasi atau
perkumpulan di Café de Kossta.
Dalam organisasi ini mereka belajar berkarya, misalnya menulis puisi, cerpen
dan esai. Mereka ingin membuktikan bahwa wanita buruh juga mampu memajukan
dirinya seperti laki-laki.
Perkumpulan yang mereka bentuk ini didukung oleh para penulis yang sudah
terkenal seperi pak Bonari Nabonenar dan juga Lan Fang. Mereka selalu
memberikan motivasi dan masukan-masukan berupa kritik saran berkenaan dengan
apa yang telah ditulis oleh para buruh ini. Dukungan ini ternyata mampu menumbuhkan motivasi yang kuat bagi para helper ini untuk selalu rajin
menulis dan rajin membaca. Hal ini
kemudiandibuktikan dengan prestasi yang diraih oleh Tarini yang berhasil meraih
juara penulisan opini yang diadakan oleh maskapai Garuda Indonesia.
Tokoh wanita dalam cerpen ini juga
digambarkan sebagai wanita yang ingin maju dengan cara menguasai bahasa
Inggris. Dengan menguasai bahasa tersebut, mereka akan mampu bertahan hidup di
Hongkong dan mampu mengembangkan keilmuannya.Walaupun kemampuan berbahasa
Inggris mereka belum dapat dikatakan baik namun dalam setiap kesempatan mereka
berusaha menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Hal ini tampak pada
kutipan berikut.
“How are you today?”
“I’m doing good. You like to have a drink?
If you wish too.”
“Oke tell me, what you wish!”
“Give me a coca cola, please.”
……
You wrong, not just mother but father, too.
No mother. Oke you know James without father, mother will not get the baby.
Only if God willing that is different say. And now we laugh together.
(halaman 36-37)
Kutipan tersebut sebenarnya menggambarkan
diri pengarang sendiri yakni Tarini yang ingin menunjukkan kemampuannya dalam
menggunakan bahasa Inggris dalam cerpennya.
c. Citra Wanita yang tidak Mudah Menyerah
Konsep patriarkat juga menganggap bahwa
wanita adalah makhluk yang biasanya mudah menyerah pada keadaan atau
nasib. Tarini Sorita ingin
membuktikan bahwa wanita (khususnya
buruh migrant) bukanlah tipe wanita yang
mudah menyerah. Mereka adalah makhluk tangguh yang mampu mengubah nasib mereka
sendiri ke arah yang lebih baik. Banyak hal-hal yang mereka lakukan untuk
mengubah nasib itu, antara lain dengan belajar
menguasai teknologi, rajin belajar dengan cara
ke perpustakaan dan yang terpenting banyak bergaul khususnya dengan para penulis dan kritikus seperti
Lan Fang dan Pak Bonari Nabonenar. Hal tersebut tampak pada kutipan cerpen Batal halaman 16
Setelah Maria menjadi anak belajarnya Kossta, banyak
kebiasaannya yang berubah. Seperti pagi itu, walau malas yang tak ketulungan ,
Maria pun mencoba membuka layar Kossta juga. Baru terbuka layarnya. Maria
langsung klik inbox. Di situlah semua
tersimpan kiriman message dari teman Maria yang suka berinternetria, tak terkecuali anak- Kossta.
“Klik,” Dianli terbuka
pesannya.
“Wah, ini anak lagi
keranjingan setan depresi rupanya, semua tumplek blek ditulis. Dianli memang salah satu anak Kossta
yang punya otak tokcer, apalagi kalau
sudah berpuisi ria.”
Turun ke bawah ada Lan Fang, yang berkomentar tentang
menyambut bulan suci Ramadhan. Kalau bulan suci umat Islam ini datang, bukan
hanya umat Islam-nya yang menyambut, semua penganut yang lain pun ikut sibuk.
Kini giliran e-mail
kiriman dari Lusia dan Bonari, juga Arie yang belum dibuka. Akhirnya Maria pun
tak tahan untuk segera membalas e-mail
mereka. Bet! Layar computer seketika gelap. Ugh! Sial! Mesin cuci ini pasti deh
anjlok lagi.
Juga pada kutipan cerpen Diskotik
halaman 26
Tak seperti Minggu biasanya, hari itu Rini
dan Gilang jalan bersama. Pintu perpustakaan
di Cause Way membuka secara otomatis.
Semua insan yang didepannya baik yang mau masuk ataupun keluar tak usah
bersusah payah mendorong pintu.
Tokoh wanita dalam cerpen ini digambarkan
sebagai wanita yang suka membaca di perpustakaan pada hari liburnya. Selain mengembangkan hoby membacanya mereka
juga rajin menulis. Kebiasaan baik ini
juga ingin mereka tularkan pada
teman-teman sesama TKW, walaupun kadang juga ada yang malas membaca. Tetapi
semangat mereka untuk terus berkarya tidak pernah padam. Seperti tampak pada
kutipan berikut.
Diambilnya “Rini
Widyawati” dan “Bonari”, kemudian turun sambil tak lupa menyabet kunci.
“Anu Rin, maaf, ini saya
kembalikan, soalnya kebanyakan mereka padha
males, nek ngebaca, tapi kalau chatingan, kartu telepon, mereka rakus
melahapnya alias membelinya. “Saya juga
heran, kenapa hanya $ 25,- untuk satu buah buku, mereka tak mampu membeli, tapi
bayar bill yang sampai jutaan kalau dirupiahkan, dia rela ngeluarin,” sesal
Tuti.
“Yah, udah Mbak jangan
ngambek kayak gitu. Mungkin mereka lagi nggak suka baca. Ya tawarin ke yang mau
beli dan suka membaca.”
Implementasi Diri
Wanita dalam Penari Naga Kecil
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa sosok perempuan dalam budaya patriarkhat menduduki posisi yang rentan dan
cenderung tersisih atau termarjinalkan.
Perempuan menduduki posisi kelas yang lebih rendah dan kurang diberi kesempatan
untuk mengimplementasikan dirinya. Dalam hal ini, Tarini berupaya mendobrak
budaya itu. Meskipun hanya sebagai TKW yang tidak mengenyam pendidikan tinggi,
mereka juga ingin tampil di depan mengimplementasikan dirinya dengan cara
menulis cerpen, essay, dan puisi.
Mereka
ingin memperjuangkan nasib dan menyuarakannya lewat karya-karyanya.
Dengan demikian masyarakat pembaca mengetahui apa saja yang terjadi ketika
mereka menjadi pahlawan devisa Negara di Hongkong. Mereka tidak ingin namanya
tercantum di koran hanya karena kasus pelecehan, penyiksaan dan mungkin
pembunuhan. Mereka ingin nama dan keberadaannya juga diakui sebagai sastrawan
walaupun hanya sekedar sastrawan migrant. Berikut ini adalah kutipannya.
“Buku apalagi, Rin?”
“Ini Cinta Merah Jambu dan Catatan
Harian Seorang Pramuwisma.”
“Yang kamu jual kemarin Kisi-kisi Hati Cinta.”
“Wah, kamu pinter ya?”
tanyanya.
“Nggak pinter sih, ya
lumayan buat pengisi waktu. Tapi ini bukan karya saya, ini karya temen-temen yang udah sanggup membukukan karya mereka. (cerpen
Buku halaman 19)
Akhirnya Tasya ingat akan
opini “Garuda”-nya, yang dikritik
oleh pak Bonari dengan mengatakannya seperti penjabaran butir-butir Pancasila,
yang akhirnya menjadi juara lomba
menulis opini yang diadakan Garuda (cerpen
34).
Dari kutipan tersebut, tampak jelas bahwa para buruh migrant ini tidak
hanya sekedar ingin mencari nafkah untuk
memnehi kebutuhan hidup keluarga di kampong namun mereka juga ingin
mengimplementasikan dirinya di hadapan
public pembaca sastra.
Citra Wanita yang
Tidak Emosional dalam Menghadapi Hegemoni Pria
Selanjutnya Endraswara, (2004:143)
juga menyatakan bahwa sampai sekarang
paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita
dan dominasi pria selalu lebih kuat. Sejalan dengan itu, Tarini juga
mengisahkan hegemoni pria terhadap wanita dalam cerpen yang berjudul Burung Pak Komar. Setting tempat dalam
cerpen tersebut bukan lagi di Hongkong melainkan di tanah airnya sendiri yaitu
Indonesia. Di sini masih tampak garis
patriarkat yang sangat kental.
Tokoh utama yang dikisahkan dalam cerpen ini adalah Pak Komar dan istrinya yaitu Bu Komar.
Ketika menjelang lebaran istri Pak Komar pun sibuk membuat dodol di dapur
hingga pukul 23.00. Pak Komar agak sewot
karena dirinya dicuekin. Untuk
menunjukkan hegemoni atau kekuasaannya, yang biasa dilakukan oleh laki-laki
adalah marah-marah. Hal tersebut juga ada pada kutipan berikut.
“Sekarang sudah, kamu juga
tak usah mengurusi dodol ketanmu. Lebih baik kau urusi diriku!”
“Ini juga pentinglah!
Kalau esok hari dodolnya belum bisa dimakan, mengecewakan yang makan.”
“Pokoknya, hentikannnnnnn…
buat dodolnya!”
Wah, pak Komar serasa
keranjingan dedemit. Kini penyabarnya hilang, seketika menjadi pemarah. Bu
Kantil tanggap. Dodol yang dalam keadaan tanggung ditinggalkannya.
“Ayo Pak, kita selesaikan
semua masalah supaya beres.”
Kini senyum Pak Komar
sedikit mengembang.
“Alhamdulillah, jitu juga caraku,’ pikir Pak Komar.
(Burung Pak Komar, halaman 91)
Dari kutipan tersebut penulis ingin
menunjukkan bahwa sebenarnya laki-laki lebih emosional dibandingkan dengan
wanita. Senjata yang bernama ‘marah’ sering digunakan untuk menunjukkan
kekuasaannya. Dengan marah ia berharap wanita takut dan menuruti apa yang
dikehendakinya tanpa mau tahu bahwa si wanita sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Sedangkan tokoh wanita dalam cerpen in digambarkan sebagai orang yang
sabar atau tidak emosional dalam
menghadapi suatu masalah.
Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas,
kumpulan cerpen Penari Naga Kecil karya Tarini Sorrita ternyata
berhasil menguak kehidupan buruh migrant khususnya yang bekerja di Hongkong.
Kehidupan para TKW yang sering muncul di
surat kabar biasanya hanya mengisahkan nasib mereka yang disiksa oleh
majikan, diperkosa, bahkan ada yang dibunuh. Dengan tulisan-tulisannya, Tarini
ingin menunjukkan bahwa wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di
Hongkong bukanlah wanita lemah, yang mudah menyerah pada nasib dan keadaan.
Mereka adalah wanita yang kuat, yang mandiri, dan mampu menyejajarkan kedudukan
mereka dengan kaum laki-laki.
Citra wanita yang selama ini tergambar
dalam kehidupan patriarkat tidak kita temukan dalam kumpulan cerpen Tarini
Sorita. Para TKW yang digambarkan adalah wanita kuat, pemberani, tidak mudah
menyerah, dan ingin mengimplementasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian apa yang diperjuangkan Tarini sebagai wanita melalui
cerpen-cerpennya bisa dikatakan berhasil karena dia mampu menunjukkan sosok
wanita yang kuat dan tak termarjinalkan. Melalui tokoh-tokohnya itu
penulis ingin menunjukkan bahwa wanita
bisa tampil bersama dan sejajar dengan laki-laki. Untuk mencapai tujuan itu
seorang wanita harus rajin membaca, rajin menulis, belajar teknologi supaya
tidak gaptek, dan yang terpenting adalah memperluas pergaulannya (tidak kuper).
Daftar Pustaka
Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Djajanegara, Sunarjati.
2000. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar.
Jakarta: PT.Gramedia.
Fakih, Mansoer. 2001. Analisis Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sorrita, Tarini. 2006. Penari Naga Kecil. Surabaya: JP BOOKS.
Sugihastuti .2002. Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar