Rabu, 02 Mei 2012

Cerpen Jepang


Pertemuan


TAK ada yang kebetulan di dunia. Setiap kejadian sesungguhnya telah direncanakan. Itu yang selalu kuyakini. Maka ketika memasuki Solaria dan memilih salah satu meja di dekat jendela, duduk di kursi sebelah kiri yang membuat kami persis berhadapan, tanpa penghalang, aku sesungguhnya tak begitu terkejut. Dia datang lebih dulu ke kafe ini. Lima atau sepuluh menit yang lalu. Seorang pelayan perempuan baru saja menghidangkan apa yang dipesannya. Aku terus menatapnya. Dia sama sekali tak menatapku. Barangkali lidahnya sedang terlalu sibuk mencecapi makanan itu. Barangkali dia berpura-pura tak menyadari kedatanganku ke kafe ini. Barangkali dia tak ingin melihatku. Entah kenapa.

Namanya Sayaka. Aku bertemu dengannya pertama kali di sebuah bis menuju Kochi University, kampus tempat aku melanjutkan studi saat itu. Dia ternyata juga mahasiswa di kampus tersebut. Kami duduk di dua kursi berdekatan dan nyaris tak saling sapa kecuali ucapan “konnichiwa” yang sudah terlalu sering kuucapkan dan kudengar selama beberapa hari di sana. Dia seringkali melihat keluar, mengamati apa yang terjadi di balik jendela. Aku kadang menoleh untuk beberapa lama mengamatinya, dan cepat-cepat mengarahkan mata ke kursi-kursi di arah jam dua ketika dia balik menoleh. Seperti perempuan-perempuan Jepang pada umumnya, dia memiliki mata dengan ujung-ujung yang meruncing, menyipit. Kulitnya putih. Nyaris pucat. Tapi seperti ada warna merah yang segar di balik warna putih itu. Dari tubuhnya tercium bau parfum yang bagiku asing, tapi sangat menenangkan. Aku bahkan tanpa sadar beberapa kali memejamkan mata saat menghirup bau itu dalam-dalam. Entahlah saat itu dia menyadari apa yang kulakukan atau tidak.

Ketika bis berhenti dan aku berdiri, perempuan itu juga berdiri. Aku belum menyimpulkan apa-apa. Bisa jadi tempat perhentian kami sama namun tujuan kami berbeda, pikirku. Tapi rupanya kami berjalan ke arah yang sama, menuju tempat yang juga sama. Ia beberapa langkah di depanku. Aku di belakangnya seolah-olah menguntitnya. Bau parfum yang tak kutahu namanya itu masih sesekali tercium.

Beberapa kali setelah itu kami bertemu tanpa kesengajaan. Di lorong menuju toilet, di konbini dekat apartemen, di trotoar yang lebar, di sebuah taman. Tak ada ucapan yang keluar dari mulutku selain “konnichiwa” yang tampaknya lebih merupakan refleks atau kebiasaan. Dia paling-paling hanya tersenyum dan sedikit mengangguk. Baru di pertemuan kami yang ke-11 aku menanyakan namanya, tentunya setelah mengenalkan diri lebih dulu.

Sayaka rupanya seorang periang dan suka bicara. Oshaberi. Pada pertemuan-pertemuan kami selanjutnya—yang lebih sering disengaja—dia sudah menceritakan separuh kisah hidupnya. Ueda, mantan pacarnya, memutuskannya tepat di hari ulang tahunnya. Beberapa hari kemudian lelaki itu ditemukan tewas dalam sebuah kecelakaan. Tabrakan. Mobil dengan mobil. Ibunya meninggalkan rumah tiga hari sebelum Natal. Ayahnya selalu tiba di rumah lewat jam sembilan dan sering langsung tidur setelah ofuro. Jatah makan malam yang sengaja ia sediakan ia berikan kepada Kaya, kucing hitam kesayangannya. Ia punya dua saudara kandung. Satu adik satu kakak. Dua-duanya laki-laki. Sejak Ibunya pergi penghuni rumahnya hanya tiga orang. Kakaknya tak pernah kembali setelah bertengkar hebat dengan ayahnya tentang masa depannya. Ayahnya ingin anak-anak lelakinya jadi pebisnis. Kakaknya lebih suka jadi jurnalis.

Jitsu wa atashi mo dokoka ni ikitai naa... Tooi tokoro..” Ia sesungguhnya ingin pergi ke suatu tempat. Tempat yang jauh. “Uchi ni wa modoranai..” Dan tak kembali lagi ke rumah. Saat itu ia sedang berada di kamar apartemenku. Aku memintanya membantuku menghapal kanji. Kami sedang sama-sama mengguntingi kertas karton menjadi seukuran KTP ketika ia mengatakannya. Kenapa? tanyaku. “Mou tsukareta yo.. atashi,” jawabnya. Ia sudah lelah. Ia bilang padaku seharusnya saat ini ia sedang tertawa-tawa mendengar lelucon temannya di salah satu kafe di Tokyo, mengobrol ini-itu, bernyanyi berjam-jam di sebuah klub karoke, terkagum-kagum menyaksikan atraksi para skateboarder di salah satu trotoar menjelang tengah malam. “Ii yo ne.. sono seikatsu..” Aku ingin mengatakan sesuatu, semacam penyemangat, tapi gagal menyusun kata-kata. Selesai mengguntingi kertas karton itu ia langsung menuliskan rangkaian huruf kanji di satu sisi dan artinya dalam hiragana di sisi satunya lagi. Tiap-tiap potongan karton seperti itu. “Kore.. seikatsu to yomunda..” katanya menunjukkan salah satu potongan karton. Ada dua huruf kanji berdempetan yang bentuknya mirip. Saat ia membalik potongan karton itu, ada huruf hiragana yang bagiku familiar. Seikatsu. Kehidupan. Life.

Setahun sebelumnya Sayaka memang berada di Tokyo. Setidaknya itu yang ia ceritakan padaku. Ia mahasiswa sebuah universitas besar di kota itu, tinggal di sebuah apartemen dengan biaya sewa mencapai 40.000 Yen per bulan, baito di sebuah famii resutoran hingga larut malam. Ia sedang menikmati masa-masa mobile-nya sebagai mahasiswa dan anak muda Jepang ketika Yuuji, adiknya, meneleponnya, memintanya pulang. Ia tak punya firasat kalau kepulangannya ke Kochi saat itu tidak diikuti keberangkatan kembali ke Tokyo. Situasi di rumah sangat tidak kondusif. Ayah dan Ibunya bertengkar setiap malam. Ibunya mulai memberontak setelah bertahun-tahun hanya mengalah dan menuruti apa kata suami. Ia tak mau lagi dipukuli. Ia tak mau lagi dijadikan pelampiasan setiap kali si suami dikesalkan urusan kantor. Ia mengancam akan pergi ke rumah orangtuanya. Dan itu ternyata terjadi. Tiga hari sebelum Natal. Setahun yang lalu.

Kadang aku heran, bagaimana Sayaka bisa begitu terbuka menceritakan kisah hidupnya padaku. Kukira orang Jepang itu tertutup terhadap orang asing. Tapi manusia rupanya sama saja. Meski memang sedikit-banyak dipengaruhi kultur dan kebiasaan setempat, pada dasarnya manusia tetap manusia. Mereka butuh seseorang untuk menampung apa yang berkecamuk di kepalanya, di hatinya. Dalam kasus Sayaka ini, kebutuhan itu diperkuat dengan kondisi kejiwaannya yang sedang labil. Di hari aku resmi berkenalan dengannya, di hari itu juga ia mendengar kabar kematian Ueda.


MAKANAN yang kupesan baru saja tiba. Makanan di mejanya tinggal separuh. Tapi nafsu makannya sepertinya sudah habis. Sesuatu pasti mengganggunya selama beberapa menit ini. Aku tahu itu. Aku bisa memastikannya. Sayaka biasanya akan menghabiskan makanan di hadapannya betapapun makanan itu tidak cocok bagi lidahnya. Ia orang yang sangat menghargai apa yang dihidangkan padanya. Para koki pasti memberinya penghargaan sebagai pelanggan terbaik seandainya mereka tahu hal itu, dan seandainya penghargaan semacam itu ada. Hanya beberapa kali aku melihat Sayaka tak menghabiskan makanan di hadapannya, yaitu saat mood-nya tiba-tiba buruk. Kadang ia mengartikannya sebagai firasat, tanda akan terjadi sesuatu. Kadang murni karena tingkah laku seseorang di sekitarnya. Kali ini entah yang mana. Ia berdiri, menutup rasleting jaketnya, berjalan menuju pintu. Aku masih duduk.

Kutatap makanan di hadapanku. Baru saja aku membayarnya. Kini aku harus memakannya. Tapi aku pun seperti kehilangan nafsu makan. Tertular? Mungkin. Kucoba mengunyah sendok pertama. Pelan. Sendok kedua. Agak cepat. Sendok ketiga. Cepat. Sendok keempat. Begitu cepat. Sencok kelima. Terlalu cepat. Akhirnya kuputuskan berdiri dan berjalan menuju pintu. Kutinggalkan begitu saja makanan itu. Baru seperempatnya kumakan.

Kucari-cari sosok Sayaka di antara orang-orang yang berlalu-lalang. Kursi-kursi kayu berwarna coklat diduduki beberapa orang. Meja-meja kosong di beberapa kafe. Sebuah taman kecil di sebuah lingkaran di depan XXI tampak ramai dipenuhi obrolan. Para petugas keamanan berjaga di pintu masuk ke bioskop. Wajah-wajah bermunculan dari eskalator. Tak ada Sayaka. Aku tak menemukannya. Tiba-tiba aku bingung, antara mencari perempuan itu atau kembali ke Solaria, menghabiskan makanan. Kulihat jam di tangan. Sebentar lagi maghrib.

Jika ada yang bertanya padaku mengapa aku “melupakan” perempuan itu, aku mungkin akan kebingungan mencari jawabannya. Sesungguhnya, sejauh yang kuingat, di antara aku dan perempuan itu hampir tak ada konflik. Bahkan, bisa dikatakan, hubungan kami datar. Dua-tiga kali seminggu Sayaka main ke apartemenku. Biasanya ia menelepon dulu. Baru setelah kukatakan bahwa penghuni kamar yang lain sedang di luar, ia berkata akan datang. Selain aku, kamar apartemenku saat itu dihuni seorang lagi. Seseorang dari Malaysia. Mahasiswa internasional juga, seperti aku.

Sayaka sepertinya tak suka dengan teman Malaysiaku itu. Mungkin karena tidak seperti aku yang lumayan memahami nihongo, orang itu nyaris buta tentang bahasa tersebut. Selama di sana, aku tak pernah melihatnya secara serius mempelajari nihongo. Mungkin ia sudah merasa cukup dengan bisa berbahasa Inggris. Padahal, dia sedang berada di Jepang. Dan di Jepang, Bahasa Inggris kurang familiar.

Suatu sore Sayaka tiba-tiba meneleponku. Ia ingin bertemu. Ada apa? tanyaku. “Ii kara kite yo..” Pokoknya aku harus datang. Baiklah. Ia tampak bersemangat. Waktu itu musim dingin. Aku keluar sekitar jam lima dengan mengenakan mantel, syal, dan sarung tangan. Dia menungguku di taman.

Osoi yo..” Aku lama sekali, katanya. Aku meminta maaf dan langsung menanyakan apa yang membuatnya tampak bersemangat. Dia tersenyum. Gigi putihnya yang tak rapi itu tampak. “Kore mite..” Dia menunjukkan sesuatu: selembar takarakuji. Semacam kupon berhadiah. Selembar takarakuji dihargai 300 Yen. Murah. Dan hadiah bagi pemenang cukup luar biasa: ratusan ribu Yen. Entah satu berbanding berapa peluang seseorang membeli selembar takarakuji seharga 300 Yen lalu memenangkan uang ratusan ribu Yen. Yang pasti kecil sekali. Jika menang tentunya lebih karena beruntung. Dan Sayaka, sore itu, mengatakan padaku bahwa dia memenangkan ratusan ribu Yen itu. Serius? tanyaku. Dia mengangguk. Senyum di wajahnya tak hilang-hilang, seperti ada benang-benang yang menarik pipinya kiri-kanan. Dia loncat-loncat kegirangan, seperti anak kecil. Aku hanya tersenyum. Sore itu aku menemaninya ke tempat dia membeli takarakuji itu. Ratusan ribu Yen. Lumayan juga. Dengan uang itu dia bisa mengajakku jalan-jalan keliling Jepang, pikirku.

Tapi sayang, si penjual takarakuji, seorang oba-san gemuk berkacamata, mengatakan pada Sayaka bahwa nomor di takarakuji itu tidak tembus. Sayaka protes. Dia mulai terus bicara dengan cepat nyaris tanpa jeda. Dikeluarkannya selembar potongan koran dari saku mantelnya. Dia tunjukkan pada si oba-san. Si oba-san mengamatinya sejenak lalu tersenyum. Dia lalu menjelaskan kepada Sayaka bahwa pengumuman pemenang takarakuji di potongan koran itu untuk jenis yang lain, bukan jenis yang ia bawa sore itu. “Uso..” kata Sayaka, seakan tak percaya. Dia memeriksa potongan koran itu, memeriksa takarakuji itu, dan ternyata benar. Dia salah. Dia tak jadi memenangkan ratusan ribu Yen. Dengan langkah lemah dia meninggalkan tempat penjualan takarakuji itu. Aku di sampingnya hanya tersenyum. Sudahlah, tak perlu sampai sesedih itu, kataku. Tapi ia malah menangis. Air matanya menetes dan jatuh ke sepatunya. Rupanya, jika uang ratusan ribu Yen itu dia dapatkan, akan dia gunakan untuk pergi ke suatu tempat yang jauh dan bertahan hidup di sana. Dia mengaku sudah lelah menjadi seorang istri sekaligus kakak bagi ayah dan adiknya. Dia ingin pergi meninggalkan mereka.

Tangis Sayaka berubah hebat. Merasa prihatin, aku merangkulnya. Awalnya ia balas merangkulku. Setelah beberapa saat, ia tiba-tiba memisahkan tubuhku dari tubuhnya. Tangisnya mendadak terhenti. “Atashi wa anta no kanojo ja nai..” katanya, kecut. Ah, memang. Ia memang bukan pacarku. Kami tak pernah sekalipun membahas perasaan kami masing-masing. Barangkali saat itu aku terbawa suasana. Maaf, kataku. Ia diam, memandangku. Aku diam, memandangnya. Di belakang kami orang-orang lewat. Suara klakson terdengar. Deru mesin. Seorang tukang sayur berseru memanggil-manggil pelanggan, menawarkan sayurannya. Ia masih diam, memandangku. Aku masih diam, memandangnya. Tiba-tiba saja ia menciumku, tepat di bibirku. Aku sempat beberapa detik memejamkan mata. Setelah itu, tanpa tersenyum, tanpa kata-kata, ia pergi setengah berlari. Aku masih diam. Bingung.

Pernah aku bertamu ke rumahnya suatu malam. Ayahnya belum pulang saat itu. Yuuji adiknya sedang mengerjakan shukudai di kamarnya. Adiknya itu ternyata rajin. Sayaka menawariku untuk mandi. Awalnya aku enggan, tapi tawaran itu berkembang jadi paksaan. Ia menyeretku ke kamar mandi seperti menyeret kucing kesayangannya, Kaya. Kucing hitam itu kulihat sedang makan di dapur.

Berendam di air hangat, ofuro hairu koto, memang sangat membantu untuk melepaskan kotoran-kotoran di tubuh yang seharian melekat, juga kotoran-kotoran di dalam kepala yang seharian mengendap. Suhu air cukup tinggi untuk manusia tropis sepertiku. Agak panas. Tapi efeknya terasa. Nyaman. Rileks. Keluar dari ofuro aku seperti prajurit yang tiba di negeri tanah airnya setelah berperang di negeri yang jauh. Sayaka sedang menyiapkan makan malam. “Ato sukoshi dakara ne..Chotto matte..” Baiklah. Aku pasti menunggu sampai ia selesai menyiapkan makan malam.

Malam itu, saat aku pamit pulang, ayahnya tiba. Dari mulutnya tercium bau sake yang kuat. Sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak menunjukkan ekspresi yang mengganggu. Aku memberinya salam, tapi ia tak membalas. Begitu saja lelaki beruban itu melewatiku seperti melewati tiang. Sayaka ngomel-ngomel memarahinya.
Itu adalah kunjungan pertama dan terakhirku ke rumahnya. Memasuki musim semi aku pulang ke Indonesia. Masa studiku yang memang hanya setahun sudah usai. Sayaka tak mengantarku ke bandara karena suatu urusan. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi.


AKU sudah turun hingga lantai satu, tapi belum juga menemukan sosoknya. Jaket warna kuning, jeans warna hitam, sepatu putih, rambut hitam lurus sebahu. Aku mencoba lebih teliti mengamati orang-orang di sekitarku. Kadang dari jauh ada seseorang yang mirip, tapi ketika kudekati kemiripan itu hilang. Aku berkeliling di lantai satu, melewati kafe demi kafe, memasuki Gramedia, menghampiri mesin ATM, menunggu di depan toilet, keluar-masuk lift, naik-turun eskalator. Tapi sosok Sayaka tak juga kutemukan. Kemana anak itu? Dia tak mungkin begitu cepat menghilang dalam beberapa saat, gumamku. Di lantai dua, di sebuah bangku kayu berwarna coklat, di samping seorang perempuan yang sedang memakan eskrim, aku duduk. Tiba-tiba aku seperti diserang sakit kepala yang hebat. Aku coba mengingat-ingat apa yang terjadi di antara aku dan Sayaka, dalam beberapa bulan terakhir.

Setelah kembali ke Indonesia, aku dan Sayaka masih berhubungan, lewat e-mail. Setiap kali ada hal yang bisa kuceritakan, kuceritakan padanya. Beberapa teman seangkatanku menikah, adikku yang perempuan meninggal karena hemofili, aku diwisuda, ayahku meninggal karena serangan jantung, aku diterima kerja di sebuah bank sebagai costumer service, kakakku menikah, ibuku mulai cerewet menanyakan calon istriku, aku kecapean, ibuku menangis karena aku membentaknya, perempuan demi perempuan dikenalkan padaku, beberapa kerabat minta dijemput di bandara, ibuku menangis lagi, aku menolak dijodohkan, ibuku menangis lagi, menangis lagi, menangis lagi.

Beberapa minggu lagi Natal. Aku jadi teringat malam Natal yang kurayakan bersama Sayaka, berdua saja. Kami di pantai, duduk di tepian. Ombak bergemuruh. Pasir yang masih hangat. Kami berkejaran seperti dua ekor kepiting. Yang satu ingin mencapit, yang satu ingin menghindar. Bulan yang hampir penuh membuat malam tak begitu gelap. Sayaka ingin berenang. Ia mengajakku. Aku menggeleng. Berenang di laut malam hari bukan ide bagus, kataku. Tapi ia tetap melakukannya. Aku hanya menyaksikan. Entah kenapa, aku sama sekali tak tergerak untuk mengikutinya. Aku menunggu. Menunggu. Menunggu. Ia tak juga kembali. Ia... tak juga kembali.

“Nggak apa-apa, Bang?” tanya perempuan yang duduk di sampingku. Eskrim di tangannya hampir habis. “Abang nggak apa-apa? Barusan Abang kayak kesakitan gitu. Abang menyeracau,” katanya. Aku menatapnya. Lama. Ia menatapku. Tiba-tiba dari matanya aku seperti memahami semua ini. Sayaka tak mengantarku ke bandara hari itu, sebab beberapa hari sebelumnya ia mati. Bunuh diri dengan mengiris nadi. Di kamarnya. Pesan terakhirnya yang sampai ke ponselku masih kuingat: ima made arigatou.. Kenapa ia sampai bunuh diri? Ah ya.. aku ingat. Ayahnya kembali memperkosanya. Adiknya tak lagi peduli padanya. “Abang nggak apa-apa?” tanya perempuan itu lagi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar