Jejak Terakhir
Awan hitam berlayar rendah di langit. Mengerikan.
Mengerikan lantaran jenis awan itu adalah awan comulunimbus –awan hitam pekat yang berbentuk
cendawan raksasa. Awan comulunimbus
adalah pemantik badai, dan badai di atas gunung bisa diartikan ancaman
kematian bagi pendaki gunung. Tak nampak intipan mentari. Belantara rimba
terselip di kepekatan.
Aku teramat khawatir. Pikiranku tak fokus. Setelah
tadi malam terpapar dingin dan angin kencang, satu-persatu fisik kami
bertumbangan. Semua peralatan pendakian yang kami bawa tak banyak membantu.
Suhu minus 7 derajat menyiksa pelan-pelan. Angin di luar tenda terasa
menampar-nampar permukaan tenda. Berisik. Sangat-sangat berisik.
Amara tergeletak tak berdaya. Kesadarannya tinggal
sisa-sisa. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Matanya rapat terpejam. Ingin
rasanya aku berbuat sesuatu, tetapi, apalah daya, aku tak mampu menolongnya.
Jalan pulang yang seharusnya nampak, lenyap tak berbekas. Kami berlima terkucil
di tengah rimba, terselip di antara julangan pepohonan berusia ratusan tahun.
Tak terdengar secericit pun suara burung. Aneh. Sangat-sangat aneh.
“Kris, bagaimana dengan Amara ?” tanyaku sembari
memandang Krisna, pacar Amara. Namun Krisna membisu. Tatap matanya menerawang.
Benny yang berada di samping Krisna memandangku.
“Begini, Ryan. Kita mengalami situasi yang pelik.
Makanan menipis, kita tak pernah tahu kapan awan sialan ini menyingkir dari
langit,” Benny menerocos. Sekilas terbaca kilat matanya yang licik.
“apa maksud kata-katamu, Ben ?” tanyaku cepat. Di
hatiku terpantik curiga. Semoga tak ada niatan baginya meninggalkan Amara.
“kita berempat harus secepatnya mencari jalan
keluar. Usulku, kita bagi menjadi dua tim. Aku dan Krisna, sementara kau dan
Soni,” jawabnya enteng.
“kuharap niatanmu bukan berarti meninggalkan
Amara,” rupanya Soni sependapat denganku. Dia melirikku seraya minta dukungan.
Soni kemudian memandang Krisna dengan tatapan tak
mengerti. Krisna mematung. Raut wajah Soni berubah jengkel.
“ayolah, Kris. Jangan diam saja ! kau yang paling
mengerti kondisi alam di antara kita ! kami butuh pendapatmu !!” suara Soni
membentak. Tapi Krisna tak bereaksi.
“kalau pendapatku masih tetap sama, Son. Kita
harus secepatnya mencari jalan keluar. Kalau perlu meninggalkan Amara. Kukira
Krisna sependapat denganku. Iya kan, Kris ?”
“kau sudah sinting, Ben !!” teriakku
“mending berkorban seorang daripada semua terkena
imbas. Kita harus secepatnya mengambil keputusan. Mending mengambil keputusan
salah daripada tidak sama sekali. Bertahan di tempat ini sama artinya menanti
mati !”
Bantahan Benny terdengar memuakkan di telingaku.
Ingin kuhajar mulutnya agar tak nyinyir semacam itu. Soni tak mampu berbuat
banyak. Meski tak menerima kata-kata Benny, Soni tak memiliki solusi yang lebih
baik. Kurasa dia menumpukan harapan kepada Krisna –pemimpin rombongan kami yang
kini bersikap tolol.
Tidak seperti yang kubuktikan, konon Krisna
memiliki segudang pengalaman bertahan hidup di alam bebas. Puluhan gunung
didakinya. Repetisi pendakiannya setidaknya ratusan kali. Konon lagi menurut
cerita yang membuatku kagum, Krisna sempat dinyatakan hilang selama beberapa
hari ketika mendaki pegunungan Argopuro yang merupakan jalur pendakian
terpanjang di pulau Jawa. Setelah upaya pencarian tim SAR dilakukan, Krisna
ditemukan dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Menurut cerita yang kudengar,
Krisna menggunakan kemampuan survivalnya dengan baik. Dia berhasil belakukan
orientasi medan dan mencari jalan pulang –meski harus menerobos hutan perawan
sembari bertahan hidup dari dedaunan dan buah-buahan hutan. Tetapi –
Krisna yang kusaksikan kali ini amatlah jauh dari
kisah heroik. Krisna yang kubuktikan lebih mirip lelaki tolol. Lelaki sinting
yang hanya bisa menerawang saat Benny mengusulkannya meninggalkan Amara.
Andai aku yang di posisi Krisna, aku akan tetap
menungguinya meski badai terburuk menerpaku. Amara memang manis, gadis periang
yang mencuri hati banyak lelaki termasuk diriku. Cantik. Ibarat bunga, Amara
berasal dari jenis yang terliar. Jenis yang selama ini tersembunyi di
tempat-tempat tertinggi. Amara sangat pas jika kumetaforakan secantik
edelweiss. Liar. Eksotik. Mekar di tempat bunga lain tak mungkin tumbuh. Amara
adalah segelintir pendaki perempuan yang gemar naik-turun memanjati titik-titik
tertinggi di muka bumi. Saat pertama kali melihatnya di Alun-alun Suryakencana,
aku langsung jatuh hati. Namun tidak seperti Krisna, aku tak memiliki
keberanian mengungkapkan perasaanku. Amara akhirnya dipacari Krisna. Aku
tinggal mengagumi dari jauh. Kurasa salah satu alasan Amara menerima Krisna
lantaran mengagumi cerita-cerita hiperbolis tentang kehebatan lelaki tolol itu.
“ambil kompas kalian,” tiba-tiba suara serak
Krisna menyentuh kesadaranku. Aku dan Soni berpandangan. Kami lantas meraih
kompas masing-masing.
“bidikkan ke pohon pinus itu, pohon yang
tertinggi,” suara Krisna terdengar gentar saat mengucap. Lagi-lagi aku dan Soni
berpandangan tak mengerti.
“bidik saja, Son. Dan baca hasilnya. Kau juga,
Ryan.” Krisna menelan ludah. Bola matanya terlihat pasrah.
Aku dan Soni bersegera membidikkan kompasku ke
pohon pinus yang dimaksud.
“arah barat, angle 271,” ucapku sambil menilik
jarum kompas.
“arah timur, angle 91”, Soni terbelalak
menyaksikan jarum kompasnya. Kedua alisnya tertaut.
“salah satu dari kompas ini pasti ada yang rusak.
Tak mungkin seperti ini,” Soni menggoyang kompasnya kiri kanan. Ia kebingungan.
“kompasmu baik-baik saja, Son. Kompas kita tak ada
masalah,” suara Krisna yang bergetar memantik kekhawatiranku.
“jarum kompasku persis ke arah utara. Angle 0
derajat. Kupinjam kompas Benny, jarumnya menunjuk bearing angle
181 derajat. Semua kompas yang kita miliki menunjuk arah yang berbeda,”
“bagaimana dengan GPS-mu?” sela Soni khawatir
“GPS-ku habis batere, termasuk cadangannya. Kurasa
terserang dingin,” Krisna bergantian memandangi kami.
“kalau boleh kukatakan, kita terperangkap di
tempat ini. Mata kita buta, telinga kita tuli. Yang bisa kita lakukan hanya
berharap keajaiban,”
“anjing ! “ umpat Benny. “tak seharusnya kau
bercakap seperti itu, Kris. Kukira kau pernah mengalami kejadian yang lebih
berat. Kau pernah tersesat berhari-hari di belantara !” paras Benny terlihat
murka.
“iya. Tapi .. tapi .. tapi kondisinya tidak
seperti sekarang, Ben. Waktu itu tak ada badai. Langit cerah sehingga aku bisa
mengetahui posisiku di peta. Tapi lihatlah sekarang. Badai masih mengamuk.
Jarak pandang tak lebih dari 20 meter. Kalau kau memaksa, mayatmu pasti
teronggok di dasar jurang,”
Suasana tiba-tiba hening mendengar kalimat Krisna.
Aku ngeri membayangkannya.
“apa kau punya solusi, Kris ?” tanyaku yang
terpantik gentar. Krisna memandangku.
“begini, Ryan. Ada sesuatu yang tak kumengerti
dengan tempat ini. Kompas kita tak berfungsi, medan magnet tak mengikuti pola
yang seharusnya, sepertinya-”
“Aaahhh !! aku tahu kalau itu,” Soni memotong.
“tapi kau punya solusi atau tidak, itu yang lebih penting !! kita tak boleh
menyerah ! pacarmu dalam kondisi kritis !” Soni meradang mendengar jawaban
Krisna yang bertele-tele.
Krisna seketika terdiam. Lelaki tolol itu
memandangi kami satu persatu seraya tatapannya meminta maaf. Sedangkan Benny,
keparat oportunis itu nampak kesal dengan sikap Krisna.
“yang bisa kita lakukan hanya menunggu badai ini
reda. Seandainya nanti malam langit cerah, kita lakukan orientasi medan
menggunakan tanda-tanda astronomi,”
“tanda-tanda astronomi ?! kau yakin dengan
omonganmu, Kris ?” sahut Benny sembari menatap Krisna tak percaya. Emosinya
mulai labil.
“kalau memang nanti malam langit mendung, tak ada
pilihan lain, kita harus menunggu,”
“apa ?!! menunggu ??!! tidak ! aku tak mau
menunggu cuaca sial ini reda ! kau pikir cadangan makanan cukup ?!!” Benny
mulai kalap.
“ya,cadangan makanan memang tak cukup, Kris” imbuh
Soni sambil mengusap wajah.
“aku tahu, Kawan. Maafkan aku. Tapi setidaknya
berharaplah keajaiban, itu saja.”
“bangsat !!!” Benny membanting keras kompasnya.
Dia memaki murka. Kurasa Benny tak siap dengan kondisi seperti sekarang.
Kondisi kritis, kondisi yang memaksa kami berjuang merangkak dari lubang
kematian.
Di langit, awan hitam mendadak menumpahkan deraian
hujan. Kami berempat seketika beringsut memasuki tenda yang telah porak-poranda
lantaran dihajar badai sejak semalam. Dari dalam tenda hempasan angin terasa
kuat. Bunyi tamparan angin terdengar begitu kencang. Blak-blak-blak ! menampar-nampar
tanpa ampun.
Secara tak sadar aku menangis. Aku takut. Aku
bertingkah seperti pengecut. Terlebih itu aku tak mampu berbuat banyak untuk
Amara yang sedang berjuang melawan hypothermia. Badai terkutuk ! badai bangsat
! bunuhlah aku jika kau mampu !
Aah, pikiranku mulai kacau. Pikiranku
terserak-serak berantakan seperti sampah.
Aku duduk mendekap kaki. Dingin udara
menusuk-nusuk sendi, nyeri bukan main. Meski pakaian yang kukenakan terrangkapi
tiga lapis, tubuhku masih enggan berhenti menggigil.
Soni tertunduk memejam mata. Bibirnya pucatnya
bergerak-gerak melafal sesuatu. Entah doa, atau umpatan. Kurasa fisiknya cukup
lumayan untuk bertahan hari ini, sama seperti fisikku. Tapi jika cuaca tak
membaik, mungkin nasibku dan nasib Soni akan serupa nasib Amara.
Di pojok dalam tenda, Benny, lelaki sialan itu tak
henti-hentinya mengumpat. Meski kata-katanya terkaburkan deru badai, aku bisa
menangkap jelas umpatannya. Ya. Ia menyalahkan masing-masing kami, satu
persatu, yang menurutnya turut andil menciptakan masalah.
“sudah kuduga jalan kita seharusnya ke kiri. Tapi
kau, Kris. Kau memilih ke kanan !” cerocosnya.
“aku yakin belokan yang kita ambil sudah benar,”
Krisna membela diri.
“hah ?!! sudah benar katamu ?!! coba
buktikan isi mulutmu! kita sekarat disini gara-gara kau !”
“sudahlah, Ben. Apa kau tak bisa diam ?” Soni
menengahi.
“kasihan Amara, Ben. Dia butuh ketenangan,”
sambungku kesal
“Amara sudah habis ! kita pasti habis ! mati
sengsara di tengah hutan !!”
“keparaat !! kalau kau tak bisa diam, biar kurobek
mulutmu !!” Soni mendadak nyalang. Tangannya meraba gagang belati di pinggang.
“jangan cuma mulutnya yang kau robek, Son. Kalau
dia mati, dengan senang hati aku akan melemparnya ke jurang. Bangkainya pasti
susah ditemukan. Sejak awal aku muak melihat tingkahnya.” Aku yang habis
kesabaran ikut-ikutan mengeluarkan belati. Kupandangi Benny, dia beringsut.
Krisna malah membeku. Tak bereaksi.
“ayo ! keluarkan lagi ocehan sampahmu ! “
kuacungkan belatiku ke arah Benny. Dia menggigil.
“aku.. aku .. maaff .. maaff kan aku Ryan, Son”
“anjing, kau !”
Soni tersenyum pahit melihat Benny tergagap.
Rupanya badanku yang kekar ditambah ancamanku berhasil mengerdilkan Benny. Aku
lantas meludah ke mukanya. Cih !
Udara kian dingin. Jam menunjuk pukul lima 5 sore.
Kulihat dari jendela tenda, samar-samar di sebelah barat siluet warna merah
terkaburkan kabut tebal. Namun, meskipun mataku menangkap secercah cahaya
senja, hujan berbadai masih tak berhenti menerpa.
Amara sesekali merintih. Nafasnya patah-patah.
Perempuan yang kucintai itu meregang nyawa di depan mataku. Melihat kondisinya
membuat dadaku terasa sesak. Hatiku perih bukan kepalang.
Rasa-rasanya perjalanan yang kami lakukan
perlahan-lahan tergambar secara lengkap, membentuk kesatuan cerita yang saling
terangkai satu sama lain. Empat hari lalu, saat di desa terakhir, kami berlima
bercanda hingga terkesan berlebihan. Kami puas tertawa-tawa melarung kenyamanan
yang segera tergantikan kesenyapan belantara.
Amara, pacar Krisna yang kucintai, memukauku lebih
dari biasanya. Dia berkali-kali memamerkan jaket anti dinginnya yang berwarna
merah. Jaket baru katanya. Cocok dipakai di ketinggian lebih dari 3000 meter di
atas permukaan laut. Dia terlihat anggun. Lesung pipitnya tertakik jelas.
Hatiku terasa dijentik menyaksikan kerling indahnya. Namun, hatiku pun
terpantik cemburu menyaksikan tangan Amara menggelayut manja di pinggang
Krisna. Ah Amara, gadisku. Cintaku kepadanya serupa mutiara yang tenggelam di
palung terdalam. Takkan nampak ke permukaan kecuali keajaiban memberinya sirip
untuk berenang ke permukaan dan kemudian mengarungi luas lautan. Ah,
Saat pertama menapaki jalur pendakian, tak nampak
sedikitpun keoportunisan si Benny. Dia nampak baik-baik saja. Bahkan, Benny
yang baru kukenal terlihat solider. Konon menurut Amara, Benny tertarik
bergabung lantaran diajak Krisna. Benny dan Krisna adalah kawan karib semasa
SMU.
Semasa di kaki gunung perasaan kami terasa sama.
Perasaan aneh, yang kadang tak terjelaskan. Perasaan ini sejenis perasaan egois
yang hanya dimiliki mereka yang gemar bermain-main di garis batas. Para
petualang, penempuh rimba pendaki gunung, penyusur gua, pemanjat tebing, jenis
perasaan yang acapkali meletup-letup mencumbui adrenalin. Perasaan itulah yang
saat itu mencumbui kesadaran kami.
Di musim hujan, ketika langit terlihat cerah
selama tiga hari, aku dan Soni akhirnya memutuskan bergabung mendaki. Gunung
yang lain dari yang lain. Gunung yang membutuhkan insting kuat untuk
menaklukkannya. Di samping tercandui atmosfir tipis puncak pegunungan,
bercengkrama dengan Amara kujadikan alasan implisitku. Ah, aku mungkin
gila. Aku mencintai perempuan yang menjadi kekasih orang lain.
Saat kemudian meninggalkan desa terakhir, kami
berlima beriringan menapaki jalan setapak yang cukup terjal. Jalan itu adalah
jalan yang membelah perladangan dan hutan pinus di kanan-kiri. Amara melangkah
di deretan terdepan sambil bersenandung, Krisna membuntuti di belakangnya.
Sementara di deretan tengah, Benny tak henti-hentinya menceritakan
penjelajahannya yang menantang bahaya. Konon menurut ceritanya, ia pernah
diterkam panthera pardus
alias macan kumbang saat melakukan pendakian solo ke gunung Salak. Namun
berbekal kegesitan beladiri taeguk 9 taekwondo, Benny berhasil membuat binatang
buas itu mengerti artinya salah mangsa. Dengan sebatang dahan sebesar lengan,
Konon ia berhasil memukul hidung karnivor itu hingga lari terkaing-kaing.
Namun, 2 jam kemudian saat dihantam badai, saat melihat fisiknya
pontang-panting menghadapi keterjalan medan pendakian, aku dan Soni merasa
seperti keledai. Ya. Keparat sialan itu berhasil membuali kami berdua. Belum
lagi kemudian beban tas punggungnya dilimpahkannya kepadaku dan Soni. Ah,
bajingan itu fisiknya tak lebih kuat dari Amara. Kalau pun di malam badai ini
fisiknya masih lumayan, itu bukan lantaran kemampuan fisiknya yang luar biasa.
Tetapi semua dikarenakan kemampuan oportunisnya yang membebankan semua beban
beratnya kepada orang lain –menyisakan bahan makanan ringan plus celana
dalamnya saja yang terpanggul di punggungnya.
***
Angin di luar tenda mereda. Dingin sangat mencekat
meski hujan berjatuhan rintik-rintik. Soni yang berada di sampingku memandang
nanar kepadaku. Kurasa dialah diantara kami yang paling tenang menghadapi
keadaan. Sesekali tatap matanya memandang muak ke arah Benny, tetapi Benny
membuang muka. Kurasa mahkluk sialan itu merasa ditelanjangi. Ya. Tatap matanya
tak lagi nyalang. Tatap matanya berubah luruh seperti tatap mata kelinci di
hadapan serigala.
Mendengar deru angin yang mulai melemah, rasa optimisku
perlahan bangkit. Kulihat Krisna, dia duduk memeluk kaki. Kurasa memburuknya
kondisi Amara sangat-sangat memukul jiwanya. Lelaki pendiam itu hilang
kekuatan. Atau, ah, semoga ia sedang memikirkan cara terbaik mengevakuasi
Amara.
Kucoba mengingat saat-saat yang membuat pendakian
kami hilang kendali. Dengan harapan semoga menemukan secercah petunjuk untuk
menghindari ancaman kematian di belantara.
Setelah menapaki jalur pendakian kurang lebih 6
jam, kami tiba di kawasan hutan heterogen yang sangat lebat. Pepohonan cemara
–Casuarina Junghuhnia seolah tegak menunjuk langit. Dahan, ranting dan
dedaunan, bersatu padu mencegah sinar matahari jatuh ke tanah. Hutan yang
sangat gelap. Bahkan di cuaca yang paling terik sekalipun. Kami merasakan hawa
mencekat ketika memasukinya.
Dalam perjalanan memasuki kelebatan hutan, kami
berpapasan dengan sosok kakek tua misterius. Tubuhnya kurus. Pakaiannya serba
hitam. Kurasa kakek itu penangkap burung. Di tangannya tertenteng sangkar
berisi 5 ekor burung jalak.
‘kalian mau kemana ?” tanyanya waktu itu dengan
suara serak. Dia kemudian terkekeh hingga dadanya berguncangan.
Amara yang mendaki paling depan menyahutinya
dengan mengatakan tujuan kami yaitu mendaki hingga ke puncak gunung. Namun,
jawaban Amara membuat wajahnya bermendung.
“kalian jangan ke sana. Cuaca sedang buruk.
Burung-burung saja lebih suka berada di dalam sangkarku daripada beterbangan
kesana kemari. Hehehe “ ujarnya sembari mempertunjukkan isi sangkar. Empat ekor
burung berwarna hitam, sementara seekor lagi berwarna merah. Saat itu
kusaksikan burung berwarna merah tak lagi bisa terbang. Kurasa sayapnya patah.
“kurasa cuaca cukup cerah, Kek” timpal Krisna
sambil melempar pandang ke langit, “kalau cuaca memburuk, kami akan turun
secepatnya,” kata-kata Krisna terdengar lembut. Kami mengiyakan kalimatnya.
“burung-burung itu kau tangkap dimana ?” tiba-tiba
Benny menyeletuk dengan kalimat tegas.
“aku tak pernah menangkapnya. Burung-burung inilah
yang datang sendiri ke sangkarku, he he he”
“tak mungkin” dengus Benny
“burung-burung itu seharusnya dilindungi, tak
boleh ditangkapi. Menangkapi makhluk hidup sama artinya memangkas kebebasan
mereka,” sambung Benny cepat-cepat.
“apalagi kalau tujuanmu hanya kau jual,”
pungkasnya
Krisna dan Soni terkaget. Amara terbelalak. Meski
memilih diam, dalam hati aku mengiyakan kalimat Benny, tapi tidak dengan
caranya.
“mungkin ada benarnya jika burung-burung itu
dilepaskan saja, Kek” ujar Krisna lembut.
“tidak … Sudah kubilang aku tak pernah punya
niatan menangkapi mereka. Burung-burung inilah yang datang sendiri kepadaku,”
“bagaimana dengan burung warna merah itu ? apa
burung yang patah sayap bisa terbang sendirian dan memilih lubang sangkar
milikmu ? sangat tidak mungkin ! mustahil !!” Benny bersungut-sungut.
“hehe .. burung yang merah ini akan kulepaskan ..
si cantik ini sedang sakit .. hehe,”
“aneh !!” potong Benny
“burung sakit jika kau lepaskan sudah pasti mati.
Mengapa bukan yang hitam saja yang kau lepaskan ?! Kau bisa merawat burung yang
merah hingga sembuh, baru dilepaskan” “kalimat Benny keras menyengat. Amara tak
enak hati mendengarnya.
“pokoknya si merah ini akan kulepaskan. Yang hitam
terserah aku .. hehehe” lagi-lagi si Kakek terkekeh sambil memandangi sangkar.
“sudahlah, Ben. Biarkan” Krisna menenangkan. Soni
pun mengangguk.
“baiklah. Tapi semoga dia berubah pikiran,” tukas
Benny bersungut-sungut. Merasa benar sendiri.
“baiklah kalau begitu, aku permisi dulu, hehehe ..
” ujar Kakek sambil melempar senyum kepada kami. Satu-persatu.
Setelah sang Kakek berjalan sepuluh meteran, kami
bersiap melanjutkan pendakian menerobos hutan. Namun Amara sejenak berpaling ke
belakang.
“hati-hati di jalan, Kek !” teriak Amara
kencang-kencang
“hati-hati juga kalian ! sang Gunung
menyimpan murka ! hehehe hehehe” suara balasan Kakek tua itu samar-samar
terkaburkan angin gunung. Namun -
Mendadak Amara yang menengok ke belakang jatuh
terduduk. Ia terperangah.
“kakek itu .. kakek itu ..” Amara
tergagap-gagap. Kami kebingungan mengerubutinya.
“kenapa, Ra?” Krisna memeluk Amara. Hatiku panas.
“kakek itu … kakek itu .. melepas burung warna
merah, Kris. Burung itu terbang. Burung itu sembuh. Burung yang patah
sayap itu terbang ..” Amara menunjuk ke arah lenyapnya sang Kakek.
“Amara berhalusinasi, Kris. Mungkin dia
kelelahan,” sergah Benny.
“tak mungkin dia halusinasi. Fisiknya sedang
bagus.” Soni membantah. Aku dan Soni berpandangan tak mengerti.
Setelah kejadian yang menimpa Amara, masing-masing
kami berupaya menguatkan diri. Kami memilih melanjutkan perjalanan. Hutan
belantara lebat terbelah setapak demi setapak. Tanjakan, curaman, gigiran
lembah dan bukit tertoreh pijakan kami yang ringkih di alam raya. Ketakjuban
kami serasa bermuara menyaksikan keelokan gunung ini. Apalagi di saat cerah,
ketika kami tiba di hamparan padang ilalang yang tak lagi berpohon. Dataran
rendah di ujung jauh terlihat memukau. Areal perladangan penduduk
bergaris-garis membentuk skematik yang eksotik. Rasa-rasanya, saat itu
kesuntukanku luruh mencair. Bagai burung elang yang terbang di udara, sayapku
terbentang selebar-lebarnya menjemput kebebasan. Amara tersenyum manis. Juluran
rambut yang terusik angin sesekali mengganggu wajahnya. Cantik. Hatiku
beresonansi melihatnya. Krisna yang memang cool
pura-pura memendam ekspresi. Dibiarkannya tangan Amara menggelayut manja di
pinggangnya. Ah, sial. Aku menelan bara cemburu. Bara panas yang hanya
melukai batinku, tapi tidak dengan perempuan yang kucintai.
Di padang rumput kami beristirahat sejenak.
Menikmati pemandangan indah sembari mengenang pendakian-pendakian yang telah
kami lakukan sebelumnya. Ah, lengkap sudah pendakian kami. Udara sejuk. Cuaca
cerah benderah. Matahari yang menuruni langit barat mengemilaukan bayang-bayang
bebukitan di sekitarnya. Sore itu yang tak menyepakati keriangan kami hanyalah
segerombol awan comulus di ujung jauh. Tapi aku tak melihatnya sebagai bahaya,
Krisna pun demikian. Pendeknya semua orang tak punya kekhawatiran dengan awan
itu. Kami lantas melanjutkan perjalanan membelah padang rumput yang kurasa
adalah savana terindah yang pernah kusaksikan.
***
Tiga puluh menit setelah melanjutkan perjalanan,
mendadak kabut tebal turun hingga mengganggu jarak pandang. Bebukitan di
kejauhan tak nampak lagi, semuanya lenyap. Perlahan-lahan kami menghadapi
situasi yang mengkhawatirkan. Terpapar di padang rumput tak berpelindung.
Apalagi kemudian, kulitku merasakan sentuhan kondensasi kabut yang dingin
mencekat.
Situasi kemudian berubah drastis. Raut wajah kami
menegang menghadapi jarak pandang yang kian pendek. Sinar matahari tak mampu
menembus. Angin gunung mulai mengamuk. Wajah Amara memucat, paras Benny panik.
Namun Krisna meyakinkan kami agar tetap solid dan bersegera mungkin tiba di shelter selanjutnya.
Mendadak tiupan angin kian kencang.
Menampar-nampar. Membuat kami harus berjuang keras menopang keseimbangan tubuh.
Topi rimba yang dikenakan Soni lenyap terlempar angin. Matanya terpicing-picing
mengatasi deru angin.
“aku mencium bau air !!” teriak Soni
kencang-kencang. Suaranya nyaris lenyap dilarikan angin.
“semoga tak terjadi badai, Son ! kita pasti
berantakan menghadapinya ! disini tak ada shelter
alam !” sahutku panik. “ tenda kita tak mungkin mampu bertahan di tempat ini !
dilempar angin !” lanjutku sekuatnya.
Baru saja aku selesai berkata-kata, tiba-tiba
guntur meledak seratus meter di sisi kananku. Bibirku gemetar ketakutan. Amara
menjerit kencang.
Saat itu, terpapar tepat di tengah padang rumput,
tak berarti lagi keputusan terus melangkah maju ataukah mundur. Yang penting
secepatnya kami harus menemukan perlindungan. Dan perlindungan itu kutahu
berada di depan kami, kelebatan rimba belantara yang akan melindungi kami dari
hajaran badai secara langsung.
Beban berat membuat langkah tertatih-tatih. Namun,
belumlah reda angin, hujan deras datang menggemuruh. Arah hujan seakan
menyamping, serupa ratusan anak panah yang menghajar bertubi-tubi tak kenal
ampun.
Suhu udara turun drastis secekat-cekatnya. Tubuh
basah kuyup, tak punya perlindungan. Yang kutahu adalah, hujan, angin, dan
dingin –merupakan pembunuh para pendaki ketika masing masing unsur perpadu. Windchill. Sejenis kata
menakutkan yang para pendaki terhebatpun tak ingin merasakan sentuhan
kematiannya.
Tubuhku menggigil tak karuan. Serasa terendam di
cairan es. Kulihat Amara, perempuan yang kucintai itu porak poranda. Benny
mengumpat-ngumpat. Ia jatuh bangun mengatasi keseimbangan. Soni menggigil.
Geraham Krisna menegang melawan gigitan dingin.
Terkenang peristiwa di padang rumput seperti
membayangkan berada di neraka. Tersiksa tanpa ampun. Tercerai berai hingga
menolong diri sendiri pun serasa tak sanggup. Karena hajaran angin itulah Amara
kemudian terserang hypothermia.
Setiba di pintu hutan yang memisahkan padang rumput dan belantara lebat, tubuh
Amara jatuh tersungkur. Setelah itu menyusul Benny yang mengeluh kelelahan
hingga memintaku dan Soni membawakan isi tas punggungnya. Amara tak sadarkan
diri. Untunglah Benny masih bertahan meski fisiknya berantakan terhajar badai.
Hujan terus deras tertumpah. Angin kian mengamuk.
Krisna meminta kami lebih jauh menerobos hutan hingga efek badai tak lagi
memapar tubuh kami. Kurasa disitulah kesalahan Krisna, keputusannya yang kurasa
tak tepat memicu tersesatnya rombongan kami di rimba belantara.
Aku dan Krisna memapah Amara jauh menerobos hutan.
Soni di belakang kami, sedangkan Benny –meski dengan beban seringan kapuk, dia
mati-matian mengerahkan kemampuan fisiknya mengikuti ritme pendakian yang kami
lakukan.
Hingga setiba di tempat yang dirasanya pas, Krisna
memintaku berhenti. Dirasanya kami sudah cukup jauh menerobos hutan. Dan
memang, meski langit gelap gulita mempertunjukkan keganasan badai, efek
tamparan angin tak sekuat seperti sebelumnya.
“Son ! secepatnya kau buka tenda !!” teriakku
sambil mendudukkan Amara. Soni mengangguk. Krisna kemudian memandangku.
“bukalah baju Amara,” katanya
“bajunya ?!” aku tertegun. Linglung
“ya. Cepat kau buka bajunya. Biar kucari
pakaiannya yang kering. Cepat, Ryan” dalam kebingungan aku mengangguk.
Kupandangi perempuan yang kucintai di depanku. Hatiku terasa hancur.
Kududukkan Amara di depanku. Kubuka bajunya, pakaian
dalamnya, kupandangi tubuh telanjangnya ketika kulepas pakaian basahnya satu
persatu. Ya Tuhan, aku menangis, namun tangisanku tersamarkan titik hujan yang
jatuh di pipiku.
“tenda sudah siap, Son ?” teriakku sambil jemari
menyeka air mata
“ya, kau bawa Amara kemari,” Soni mengangguk
sambil membuang wajah. Kurasa dia terlalu sedih melihat kondisi Amara.
“bantu aku, Son. Cepat” ujarku mengiba
Aku dan Soni lantas mengangkat Amara ke dalam
tenda. Soni cepat-cepat meninggalkan aku dan Amara setelah permintaanku
selesai.
Lagi-lagi aku menangis. Kupandangi tubuh Amara
yang porak-poranda. Parasnya yang cantik seakan tersembunyikan.
“Ryan. Kenakan ke tubuhnya. Cepat !” tiba-tiba
Krisna memasuki tenda dan mengulurkan pakaian Amara.
Krisna kemudian melepas celana Amara. Seluruh
pakaian bawahnya terlucuti. Kubantu Krisna mengenakan celana Amara.
“biarlah Amara memakai sleeping bag-ku. Kurasa
punyaku lebih hangat dari miliknya,” kuucap kata-kata itu spontan. Aku tak
peduli lagi. Krisna pun mengangguk. Tatapannya kosong.
“setelah ini tolong kau panaskan air, Ryan. Kita
harus menghangatkan Amara,” kata-kata Krisna terdengar letih. Ia lantas
berbaring di samping Amara, memeluknya, menciumnya, aku keluar dari tenda
dengan perasaan terluka.
***
Pukul 20.00, hari ini.
Kondisi Amara kian memburuk. Suhu tubuhnya turun
drastis. Gerakan bibirnya terus meracau. Upaya yang kami lakukan untuk
membuatnya hangat seolah tak berhasil. Dalam situasi menunggu seperti sekarang,
yang bisa kulakukan hanyalah berharap keajaiban.
Angin badai tak lagi terdengar. Hujan baru
berhenti. Malam dingin mencekat, kesunyian merajalela. Tak terdengar secericit
pun binatang hutan di tempat ini. Aneh. Semua seolah membisu. Kami semua
terpekur terkalahkan. Antara gentar, takut, nyali yang tersisa tinggal seujung
kuku. Kulihat samar-samar dari jendela tenda cemerat cahaya rembulan yang
menerobos kelebatan.
Kusodok Soni yang menunduk menggunakan sikutku,
“Son. Badai sudah berhenti,”
“ap.. apa ? apa ? kenapa ?” badai berhenti ?”
gagapnya cepat. Ia setengah sadar.
“ya. Badai berhenti. Sepertinya langit tak lagi
mendung. Kalau memungkinkan, kita lakukan orientasi malam ini menggunakan rasi
bintang, besok pagi aku khawatir badai mengamuk lagi,” jelasku. Soni mengangguk
“Kris, badai berhenti. Langit sepertinya cerah,”
Soni kemudian menggoyang punggung Krisna.
“kenapa ?! kenapa ? langit cerah ? kita harus
bergerak malam ini,” Krisna berbicara seperti tergopoh. Ia lantas mengajak aku
dan Soni keluar tenda, meninggalkan Benny yang tengah meringkuk di pojok tenda.
Kulihat langit sangatlah cerah. Bintang-bintang
yang terselip di sela dedaunan berkedip-kerlip. Tapi sayang, kami masih buta
dengan situasi sekitar.
“bagaimana rencanamu ?” tanyaku kepada Krisna.
“begini, kompas kita kehilangan fungsi di tempat
ini. GPS kita juga habis batere. Tapi kita masih punya 2 altimeter dan 2
salinan peta kontur, semoga dengan ini kita bisa mencari posisi kita,” Krisna
memandangi kami bergantian. Penuh harap.
“carilah rasi bintang crux si sisi selatan, kemudian plot lah elevasi
yang tertera di altimeter. Kita bisa memprediksi posisi dengan kemampuan
bernavigasi ke sisi selatan sambil menebak rupa kontur,”
“apa tidak lebih baik kita bagi menjadi dua tim ?”
usul Soni yang memandang Krisna.
“ya, maksudku memang demikian. Aku menuju ke sana,
dan kalian menuju kesana,” Krisna menunjuk dua arah yang saling berlawanan.
“carilah tempat yang terhalang, kalau memungkinkan
di titik tertinggi,”
“bagaimana dengan Amara ? apa Benny mampu
menjaganya,” tanyaku ragu dengan keseriusan Benny menjaga Amara.
“Benny biarlah disini menjaga Amara, kalau perlu
-”
“tidak, Kris !! tidak !! aku tak mau tinggal
disini ! aku ikut kau !” tiba-tiba dari dalam tenda Benny berteriak.
“aku tak mau menjaga orang sekarat, Amara tak
mungkin selamat,” ujarnya enteng. Entah setan apa yang merasukinya
Aku terbelalak. Soni pun demikian. Ingin
cepat-cepat kutarik belatiku dan kutancapkan di mulutnya.
Krisna tak bereaksi. Inilah yang kusayangkan
darinya. Krisna tak membela habis-habisan Amara yang nyata-nyata kekasihnya.
Krisna malah nampak dungu serupa monyet menelan karbit.
“ baiklah, kau ikut aku, Ben” ujar Krisna. Aku
terbelalak.
“Kris !! apa-apaan kau !!! Amara tak mungkin
sendirian !!!” potongku kalap. Mual rasanya mendengar kata-katanya.
“Amara sudah tak mungkin selamat. Kondisinya terus
memburuk. Kemungkinan bertahan hidupnya sangat tipis, Ryan. Saat ini yang
penting kita ambil keputusan berdasar skala prioritas. Kita selamatkan yang
masih punya harapan. Maafkan aku,”
Darahku menggelegak mendengar kata-kata Krisna.
Emosiku mendidih. Kutarik belatiku namun tangan Soni secepatnya mencegahku.
“tahanlah, Ryan. Tahan. Kita semua dalam kondisi
labil. Kumohon, jangan memperburuk dengan emosi,” Soni berkata selembut
mungkin.
“aku hanya tak habis pikir dengan isi otak
monyet-monyet ini, Son. Mereka menganggap rendah kehidupan Amara. Anjing !!”
suaraku bergetaran melontar emosi. Dadaku terasa sesak. Kini kutahu watak asli
Krisna.
“sekali lagi maafkan aku, Ryan. Hanya saja,
di situasi seperti sekarang, kewarasan otak harus menjadi prioritas. Bukannya
perasaan,”
“cukup, Kris !! simpan sampah mulutmu daripada
kusumpal dengan belati !!” tanganku reflek meraba pegangan belatiku.
“kumohon, Ryan. Tahan emosimu, sekali lagi kumohon
..” lagi-lagi tangan Soni mencegahku mencabut belati. Kali ini pegangannya
lebih kuat.
“secepatnya kita lakukan tugas kita, Ryan. Amara
biarlah sendirian barang sejenak. Aku yakin ia pasti baik-baik saja. Percayalah
padaku,” Soni membisikiku dengan lembut. Tatapannya mengiba.
Mendengar kalimat Soni, emosiku perlahan turun.
Secepatnya kualihkan tatap mataku daripada menyaksikan dua makhluk pengecut
mempertunjukkan ketololannya di hadapanku. Aku sungguh-sungguh muak.
“baiklah, aku dan Benny berangkat,” ujar Krisna
kepada Soni. Mereka mengambil jalan dan segera lenyap menerobos hutan.
“mau pergi ke neraka pun aku tak peduli,” umpatku
menyahuti.
“sudahlah, Ryan. Mari berangkat.” tangan Soni
memegang pundakku
“Kau berangkatlah dulu, Son. Tapi jangan
jauh-jauh. Kupastikan dulu Amara tak apa-apa,” ujarku meminta pengertiannya.
“baiklah. Aku berangkat lebih dulu. Pastikan
jarakku dan jarakmu tak terpaut jauh. Kau ikuti sinar senterku,”
Aku mengangguk mengiyakan Soni.
Soni kemudian bergegas meninggalkanku. Ia
mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang diambil Krisna dan Benny.
Malam ini, meski badai telah reda, tak kurasakan
ketenangan menyelimuti batinku. Malahan kurasa badai yang sepanjang hari
mengamuk menghantamiku telah pindah ke dadaku.
Untuk sekejap kutengadahkan kepalaku, aku memejam
mata. Kuharap cahaya lembut rembulan yang menerobos sela dedaunan mengantar
doaku menuju langit. Agar Amara terselamatkan. Agar sesegera mungkin kulewati
segala kegilaan ini.
Kulangkahkan kakiku memasuki tenda yang tak lagi
tegak. Kelopak mataku seketika berair. Betapa malang Amara malam ini, betapa
tak berdayanya perempuan yang kucintai dicampakkan. Apakah tak berati lagi
kata-kata lembutnya di mata Krisna ? ah, kekasih hatiku, Amara-ku yang
kucintai, betapa malang dirimu malam ini, Sayang. Aku yang tak berdaya
menangisimu memohon maaf.
Kubelai paras pucat Amara dengan tanganku, ia
bereaksi. Kubelai lagi, kubelai berkali-kali, kusibak rambutnya dengan lembut,
selembut yang kubisa.
“ Amara, maafkan aku yang mencintaimu dan tak
mampu berbuat apa-apa,” kudekatkan bibirku ke telinganya. Aku berbisik
selembut mungkin.
“aku bersumpah akan menjagamu, apapun yang
terjadi. Janganlah kau takut, Ra. Biar semua beban takutmu akulah yang
menanggungnya. Kita akan keluar dari tempat ini secepat mungkin,” jiwaku
luruh mengisak tangis. Dadaku sesak bercampur perih.
Kukecup lembut kening Amara. Kubelai wajahnya
sekali lagi. Aku kemudian meninggalkannya dengan lelehan air mata.
Kukejar Soni secepat mungkin. Ayunan langkahku
menerobos sela rapat pepohonan. Menyeruak, menyibak-nyibak. Kutahu dari
kelebatan sinar senter di depanku, Soni tak seberapa jauh dari posisiku.
“Son ! Soni !!” teriakku yang mencabut belati.
Kubabat batang-batang perdu dengan niatan meninggalkan jejak.
“Ryan ! terus saja lurus !” sahut Soni dengan
suara tinggi.
“sudahkah kau temukan posisi bagus ?” teriakku
lagi
“masih belum nampak ! kita harus lebih tinggi
mendaki !” sahutnya menimpaliku
Hingga tak kurang dari tiga menit, kujumpai Soni
tengah bersandar di pohon pinus tinggi besar. Nafasnya terengah-engah.
“kurasa hampir mustahil menemukan tempat orientasi
yang bagus,” ujarnya kepadaku sambil mengatur nafas.
“kau yakin tak ada tempat terbuka ?” tanyaku
memastikan
“kurasa tak jauh lagi pastilah ada, cuman,
posisinya merapat jurang, kau pasti merasakan udara lebih dingin di seberang
sana. Disitu pasti bibir jurang. Orientasi di tempat itu sama artinya
mempertaruhkan nyawamu,”
“apa kau ingin kembali, Son ?”tanyaku menawarkan
“tidak, Ryan. Aku tak ingin bertaruh
setengah-setengah. Kita selesaikan saja semua ini,” katanya optimis. Semangatku
terinduksi kata-katanya.
Soni kemudian membimbingku menuju tempat yang
memiliki hawa lebih dingin. Tempat semacam itu pastilah punggungan lembah
atau gigiran jurang yang angin tak terhalangi rapatnya pepohonan. Kami
melangkah berhati-hati. Soni sesekali memberiku peringatan adanya rintangan
ranting di atas tanah. Hingga hawa kian dingin, kurasa wajahku merasakan
hembusan angin yang mulai kencang. Bunyi dedaunan cemara-pinus yang terusik
angin terdengar magis.
“kita hampir mendekati bibir jurang,” ujar Soni
yang waspada. Dan memang, kurang dari semenit dari kata-katanya, kami akhirnya
tiba di bibir jurang.
“posisinya cukup bagus,” kata Soni yang tersenyum
kepadaku. Pandangannya menelisik sekeliling.
“semoga Benny dan Krisna menemukan hal sama,”
sambungnya lagi.
Soni lantas melakukan orientasi medan.
Dikeluarkannya peta topografi beserta altimeter dari sakunya.
“coba kau bidik kompasmu ke arah crux, yang itu,
Ryan” Soni menunjuk rasi salib selatan.
“bukannya kompas kita kehilangan arah ?” aku ingin
konfirmasi.
“Iya. Aku tahu. Kita gunakan sebagai data
sekunder,” jawabnya singkat sambil menandai prediksi lokasi di peta.
“berapa bearing-mu?” tanyanya kemudian
“178 derajat,” jawabku.
“arah selatan ! syukurlah ! berarti di tempat ini
kompas kita normal !” kata-katanya membuat batinku melonjak.
“sudah kau plot posisinya, Son ?” tanyaku
memastikan
“sudah .. sudah .. sudah fix” jawabnya. “sebentar,
Ryan. Aku kencing dulu ..” ujarnya yang menyingkir menjauh.
“posisi yang kita dapatkan sedikit kasar. Semoga
dengan hasil orientasi Krisna bisa lebih meyakinkan,” katanya dengan suara
mengejan.
“kuharap tim SAR sudah bergerak menyisir jejak
kita,” sambungnya.
Tak kusahuti kata-kata Soni. Aku tengah asyik
mengagumi gambaran langit di atasku. Rembulan sabit menguasai langit tengah. Di
sekelilingnya terserak jutaan bintang yang terengkuh galaksi yang tak tercerna
lagi jangkauannya. Namun tiba-tiba,
BRRRLLLL GGRRROOAAKK !!! JLEGGHH !!
BRAAAGGHH BRRDDLLL ..!!
“longsoooorrrr !!! lariii, Ryaaann !! lariiii !!!”
Brgggh .. jleggg .. SRRRRRAAAAAKKKK !!!
Aku tersentak tak karuan. Berlari. Serupa rusa
paling pengecut yang mendengar ledak senapan. Kakiku berlari tak berarah.
Menerjang-nerjang. Menyelamatkan diri sendiri yang tak tahu kejadian
sebenarnya. Benakku berfirasat jika gemuruh dahsyat yang membuatku
pontang-panting adalah patahan tebing batu–bercampur tumbangan pohon yang
meluncur ke dasar jurang ratusan meter.
Aku terus berlari sekencangnya. Menghambur
sebisa-bisanya. Beruntunglah akhirnya kutemukan jejak perdu yang sebelumnya tertebas
belatiku. Aku berhenti. Aku terjatuh. Jantungku serasa pecah. Hingga –
“Soni !! Soni !!” teriakku dengan nafas tersengal.
Aku berteriak sekencangnya namun tak ada sahutan.
Dadaku bergetaran dikuasai khawatir. Aku bangkit.
Kembali ke awal ke bibir jurang.
“Soni !! Soni !! dimana kau !!” perasaanku kian
tak enak. Kelopak mataku menghangat.
Hingga setibaku di bibir jurang, aku jatuh
terduduk, lemas tak bertenaga. Tempat dimana Soni kulihat terakhir kali tak
tersisa lagi.
“Soni .. dimana kau, Son” Aku merintih mengisak
tangis. Suaraku seraya tertelan kesenyapan belantara beserta dasar jurang di
bawahku. Aku menangis sejadi-jadinya. Meratapi Soni yang tak mungkin lagi
menyahuti teriakanku.
Kukumpulkan puing-puing jiwaku setelah terhempas
sehancur-hancurnya. Aku bangkit berdiri. Amara. Ya, di pikiranku hanya tersisa
Amara.
Kuusap lelehan air mata, aku melangkah menuju
tenda. Sepanjang jalan nampaklah jelas jejak pelarianku ketika meninggalkan
Soni. Aku terlingkup penyesalan. Namun setelah melihat tenda nan ringkih di
depanku, setitik harapanku tumbuh kembali. Kulangkahkan kaki memasuki tenda,
dan –
“Amara !! Amara !! dimana kau ?”
“ ya Tuhaaannn .. apa lagi ini !!” aku menangis.
Aku meradang. Aku kehilangan kesegalaan.
Tak kutemukan Amara di dalam tenda. Amara lenyap
entah kemana.
Bangil –Surabaya, Juli 2010
“dalam tragedi pendakian gunung di bulan Desember
itu, tercatat 3 pendaki gunung menjadi korban. Krisna tewas terjatuh ke dasar
jurang ratusan meter. Jasadnya ditemukan tersangkut di atas pohon di dasar
jurang. Sedangkan Benny dan Soni, kedua pendaki tersebut dinyatakan hilang
setelah upaya pencarian tim SAR tak membuahkan hasil.
Amara berhasil selamat. Konon menurut penduduk
desa yang terlibat upaya pencarian, Amara ditemukan oleh sesosok kakek tua misterius
yang kemudian membawanya turun gunung menuju desa terakhir.
Sedangkan Ryan, tim SAR berhasil menyelamatkannya.
Tetapi guncangan yang hebat membuatnya harus dirawat berbulan-bulan di rumah
sakit gangguan mental,”
[cerpen JEJAK
TERAKHIR, “mengenang para pendaki yang tak pernah menemukan
jalan pulang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar